1

3K 181 16
                                    

Prolog

Apakah kalian pernah mendengar atau melihat secara langsung, orang-orang yang sudah kaya sejak lahir, nama keluarga mereka begitu tersohor, warisan kekayaan mereka sudah diturunkan ke beberapa generasi. Mereka dijuluki dengan istilah

'Old Money'

Mereka bukan orang yang kaya baru satu dua generasi, mereka bukan hanya sekedar pengusaha dengan omset tinggi, bukan hanya pemilik restoran terkemuka yang banyak pelanggannya, atau seorang dokter di sebuah rumah sakit yang gajinya terjamin.

Para old money adalah orang yang sudah kaya dari 'nenek moyangnya.' Keturunan mereka hanya perlu melanjutkan usaha dan nama besar yang telah terbangun.

Mereka sudah terbiasa dengan kemewahan, sudah terbiasa dengan gaya hidup sosialita, dan segala pernak pernik gelimang dunia lainnya. Oleh karena itu kerap kali mereka muncul dengan terlihat sederhana.

Tidak seperti para orang kaya baru yang berlomba-lomba menunjukan aset dan kekayaan dalam pakaian, perhiasaan, ataupun kendaraan, old money biasanya hanya akan berpenampilan apa adanya dan membiarkan aura mereka yang memancar dengan sendirinya.

Tapi apa kalian pernah mendengar juga kalimat 'orang kaya itu gila?'

Cara mereka bersenang-senang terkadang di luar nalar bagi kita yang hidupnya biasa-biasa saja. Dari yang konyol sampai mengerikan, uang mereka siap menyelesaikan segala permasalahan dan memenuhi hasrat aneh mereka.

Alternate title: 50 shade of Sakusa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alternate title: 50 shade of Sakusa

***

"Permisi, aku ingin menukar sepatu. Aku membelinya semalam dan ternyata ada yang cacat dari sepatu ini."

Seorang pria tinggi semampai mendatangi pegawai salah satu toko brand terkenal. Raut wajahnya terlihat was-was. Sesekali bola mata birunya akan melirik ke kanan dan kiri, membuat sang pegawai jadi curiga.

"Baik tuan, bisa saya lihat terlebih dahulu."

Kageyama Tobio, pemuda yang complain menyerahkan box sepatu sambil mengangguk-angguk. Usai menerima kotak di tangannya, sang pegawai pun segera mengeluarkan sepasang sepatu kulit dan mengamati kondisinya dengan teliti.

"Ah anda benar tuan, ada kerusakan di samping. Kalau begitu boleh saya minta notanya untuk bisa claim garansi?"

Tobio seakan sudah tak kaget dengan pertanyaan itu, namun wajahnya tetap berubah kikuk dan pelan-pelan menunduk. "Anō.. Sumimasen nota nya hilang.." Ia menggaruk belakang tengkuk.

"Kalau begitu maaf tuan, kami tidak bisa memberikan garansi—"

Grep

"Kumohon bantu aku! Aku sudah bekerja paruh waktu selama kurang lebih satu tahun untuk bisa membeli sepatu itu. Aku tidak bohong, aku benar-benar membelinya kemarin di sinii.. Kumohon itu untuk hadiah sepupuku.."

Sang pegawai terhenyak dan tak tahu harus bereaksi seperti apa. Bibirnya terbuka dan matanya melebar melihat ke kanan dan kiri. "Emm maaf tuan—"

"Kumohon kumohon kumohonn.." Tobio menggoyang-goyangkan tangan sang pegawai antara gelisah dan panik. Takut menjadi pusat perhatian di hari pertamanya bekerja, sang pegawai pun berinisiatif. "T-tunggu biar saya panggilkan manajer, anda bisa bicara sendiri dengannya."

Setengah memaksa, akhirnya Tobio melepaskan cengkraman, membiarkan sang pegawai berjalan masuk ke belakang.

Tobio menggigit ujung kuku, menanti beberapa saat sampai sebuah dehaman membuatnya berbalik.

"??" Mata Tobio melebar dan kepalanya reflek mendongak. Apa-apaan dengan pria ikal berbadan kekar di hadapannya ini, menatapnya dari balik masker dengan sinis.

"Ada yang bisa kubantu? Aku manajer."

Entah mengapa tekanannya berbeda, membuat Tobio menelan ludah dan menjadi ciut. Manajer mana yang setampan dan seseram ini batinnya.

"I-itu, aku mau menukar sepatu.." cicit Tobio.

"Berikan notanya." intonasi datar namun berat.

Tobio menggigit bibir dan matanya turun ke bawah. "Notanya.. hilang.." netranya naik ke atas lagi, kali ini mengunci langsung dengan obsidian tajam yang lebih tinggi.

Sadar atau tidak tatapan melas Tobio terlihat begitu seduktif. Membuat mata si pria ikal semakin menyempit dan tangannya yang di dalam kantong mengepal menahan sesuatu. "Oh. Kalau begitu maaf sekali tidak bisa."


Mata Tobio melebar. "Kumohon, aku tidak berbohong aku sungguh membelinya di sini kemarin, aku tinggal sendiri di Tokyo, aku mengambil kerja paruh waktu setelah pekerjaan utamaku hanya untuk memberikan hadiah pada sepupuku, kumohon tolong aku—"

"Dengar, aku tidak bisa membantumu. Kau tidak punya nota, bagaimana aku tahu kalau kau benar-benar jujur? Bisa jadi ini adalah sepatu curian, dan kau pikir dunia hanya berisi orang-orang baik yang cukup dengan memohon maka keinginanmu akan diwujudkan?"

Untuk sesaat bibir Tobio terbuka dan tak dapat berkata-kata karena keterkejutan. Ia sungguh tak berbohong, entah bagaimana caranya meyakinkan orang di depannya agar mau membantu.

"Kumohon.. Harga sepatu itu sangat mahal buatku, aku tidak mampu membelinya untuk kedua kali. Aku hanya melakukan ini karena benar-benar butuh."

Yang lebih tinggi menghela napas kemudian memijit batang hidungnya. "Kau tau kau tidak mampu, lalu untuk apa memaksakan diri?"

"Kumohon tolong aku sekali ini saja.. Semua uang dan waktuku ada di sepatu itu—"

"Enough."

Tobio terdiam seketika. Matanya tertuju pada telapak tangan yang teracung, isyarat baginya untuk diam. Pria besar bermata hitam dihadapannya melepas masker, makin-makin membuat Tobio tercengang karena wajah tampan yang di luar nalar coy.

"If you blow me after this shift. I'll give you the shoes. How 'bout that?"









Old Money Sh#t (Sakukage)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang