Nama : Choi Beomgyu
Usia : 17 tahun
Status : Pelajar
Kelas : 2 - Sosial
Sekolah : SMA TojoKamar : 43
Kamar 43 terlihat sangat kosong. Penghuni yang baru saja pindah sepertinya tidak terlalu ingin menata perkakas. Beberapa tumpuk kardus berisi barang pindahan masih diabaikan di sudut ruangan. Rak dapur masih rapi, meja masih bersih, dan hanya ada satu buah sikat gigi beserta odol di toilet—yang lantainya masih sangat kering.
Desain kamar asrama isolasi ini memang cukup simpel tetapi tidak terlalu sempit agar penghuninya tidak mudah jenuh. Ruangan dengan luas 3x4 meter persegi itu mampu menampung toilet, dapur kecil, kasur, ruang tengah, serta bonus balkon.
Pihak asrama juga menyediakan beberapa alat kesehatan di setiap kamar yang berupa timbangan badan, termometer, tensimeter, inhaler, hand sanitizer merk Q Life, hingga tabung oksigen. Namun, semua fasilitas itu masih terbungkus rapat di dalam kardus, sang penghuni belum menyentuhnya sama sekali. Ia sedang tidur nyenyak di atas kasur.
Namanya adalah Choi Beomgyu, seorang murid kelas 2 SMA yang sedang merayakan libur musim panasnya dengan tidur sepanjang hari. Di hari Minggu ini, ia tidur tepat pukul 8 pagi dan belum sempat sarapan. Tentunya, ia juga tidak mengetahui apa saja yang terjadi di sepanjang hari Minggu ini, karena ia baru terbangun pukul 6 sore.
Satu jam terbuang untuk menyatukan nyawanya—yang sepertinya sungguh lepas dari raga setelah tertidur selama 10 jam. Jadi, Beomgyu secara resmi turun dari kasurnya tepat pukul 7 malam. Ia mengambil ponsel yang baterainya sudah kritis untuk segera di charge, sambil menengok sekilas beberapa notifikasi yang masuk ke ponselnya.
Ada enam panggilan tak terjawab dari kontak bernama YJ dan satu pesan masuk dari seorang teman yang mengirimkan sebuah foto di area rumah duka sambil bertanya. "Kau tidak datang? Kenapa aku tidak melihatmu di rumah duka?"
Setelah meneguk segelas air, ia duduk di lantai dan bersandar di kabinet dapur. Ia menangis, tetapi berusaha sebisa mungkin untuk tidak bersuara, namun itu semakin membuatnya sesak.
Kemarin, ia baru saja mendengar kabar bahwa sahabatnya—yang telah bersama sejak sekolah dasar—Lee Heeseung meninggal karena wabah COVID-24. Hal itu membuatnya sangat terpukul sehingga tidak memiliki energi yang cukup untuk beraktivitas. Makan sekali sehari agar tidak mati, dan mandi belum pernah dilakukan semenjak tinggal di asrama tiga hari yang lalu karena tertular oleh sang kakak.
Semenjak mendengar kabar menyakitkan itu, Beomgyu juga sering melewatkan jadwal minum obat dan ia merasa penyakitnya semakin lama semakin menyiksa secara fisik. Rasanya seperti mengetahui bahwa inilah rasa sakit yang dirasakan oleh Heeseung sebelum ia meninggal.
Tangisan Beomgyu semakin menjadi ketika penghuni dari kamar atas memutar musik rock dengan volume tinggi hingga suaranya menembus kamar Beomgyu—lagu rock dengan lirik yang sangat sedih.
***
Setengah jam terbuang lagi untuk menangis. Beomgyu akhirnya mulai merasakan lapar. Namun, sebelum mencari makanan, ia mendekati setumpuk alat kesehatan yang masih terbungkus kardus. Ia mengambil sebuah timbangan badan dan mulai menggunakannya. Tatapannya kosong dan sangat hilang harapan ketika melihat keterangan 47 kg terpampang disana.
Setelah itu, ia mulai mengambil ponsel dan menghubungi kakaknya.
Suara Yeonjun yang menggelegar langsung terdengar. "Hei! Jam berapa ini! Jam berapa! Bisa-bisanya bangun jam segini."
"Ini pagi atau malam?"
"Makanya jangan tidur terus! Cepat makan! Aku sudah meletakkan sebungkus nasi goreng di balkonmu!"
"Di balkon?"
"Ya. Ah, jadi begini. Aku sempat berkenalan dengan penghuni kamar 51 dan katanya dia seorang atlet. Aku minta tolong padanya untuk mengantarkan nasi goreng ke balkonmu."
"Hah?" Beomgyu bingung. Namun, karena ia sungguh mendapati sebungkus nasi goreng yang sudah dingin di balkon, ia tidak peduli lagi soal bagaimana makanan itu mendarat disana.
"Jaga dirimu baik-baik ya."
Beomgyu dengan tidak sopannya lagi memutus panggilan dan mulai menghangatkan makanannya dengan alat penanak nasi. Sembari menunggu nasi gorengnya hangat, ia merebahkan diri lagi di kasur sambil bermain sebuah game yang cukup viral belakangan ini—Among Us.
Saking asyiknya bermain, nasi gorengnya sampai lupa dimakan hingga tak sadar jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Akhirnya ia baru mau menyantap makanan setelah perutnya dibiarkan kosong selama seharian penuh.
Ketika sedang menyantap makan malamnya, suara dentuman yang cukup besar terdengar dari kamar sebelah dan membuat dindingnya bergetar. Namun kali ini, dentuman itu terdengar berulang kali sehingga membuat Beomgyu hampir mengiranya gempa.
Beomgyu bukan tipe orang yang mudah panik dan langsung menghubungi orang terdekat untuk mencari solusi. Ia mencoba untuk tetap tenang, sambil menempelkan telinga ke dinding agar bisa mendengar lebih jelas—walaupun getaran dindingnya lebih sering membuat kepalanya pusing.
Tak lama kemudian, setelah suara dentuman berhenti. Beomgyu mendengar suara hantaman benda logam dari balkon kamar. Ketika ia mengeceknya, ia mendapati sebuah ujung tali—sabuk pengaman yang telah terkait dengan railing balkonnya.
Kemudian seorang anak lelaki tampak melompat entah darimana, namun mendarat tepat di balkon kamar 42. Sementara agak jauh ke belakang, terlihat seseorang dari balkon kamar 41 bersorak. "Wohoo! Taehyun keren!"
Beomgyu bertatapan dengan lelaki yang baru saja melepas sabuk-sabuk pengaman dari tubuhnya. Lelaki itu tersenyum dan menyapa. "Halo."
Yang di balkon kamar 41 berteriak lagi. "Hei, Beomgyu! Perkenalkan anak keren ini, namanya Kang Taehyun!"
KAMU SEDANG MEMBACA
QUARANTINE | txt
FanficKelima remaja laki-laki positif COVID-24 menguak sebuah misteri di asrama isolasi ketika menyadari hanya tersisa mereka disana. ! short story