☆ 17 ☆

19.8K 1.5K 39
                                    

🍬 Happy reading 🍬

.

.

Hachi!

  Ali sontak menoleh, menatap salah satu temannya yang sedang mengusap hidung hingga memerah menggunakan lutut, kendati kedua tangan mereka di ikat ke belakang tubuh.

"Debu, ya?"

Yoga mengangguk, merapatkan tubuhnya agar menempel dengan pemuda yang biasanya selalu memakai topi di kepala, ia rebahkan setengah badan menyender di bahu Ali dan di susul kepala Ali di atasnya.

"Maaf, harusnya kalian gak ngalamin ini .."

Gumaman kecil yang terdengar lirih itu sampai di telinga ketiganya karena ruangan yang mereka tempati hanya sepetak kosong yang gelap, berdebu, dan hanya ada jendela setinggi dua meter lebih di dinding.

Langit mendengus. "Gue lebih ikhlas kalo Ravan ikut."

"Anjir, beruntung banget tuh anak pas kita ngumpul di gerbang malah ke kamar mandi."

"Huum, tapi gapapa juga sii seenggaknya Angkasa gak kenapa napa."

"Ini puncak pertemanan Lan."

Allan mendongak, bertatapan langsung dengan kedua manik yang terpancar lembut di sertai senyum manis.

Ali membuang muka.

Salah satu di antara mereka memejamkan mata, menyenderkan kepala ke arah dinding di belakang tubuh sambil menghela nafas lelah. "Kira kira, bakal ada yang nolong?"

Pertanyaan gamblang yang mengudara sontak membuat Allan mengangguk yakin, mata setajam elang itu menyorot serius. "ini penculikan gue yang ketiga kali, Daddy pasti nolongin kita!"

Memang hidup sebagai anak bungsu yang di kenal publik membuatnya terbiasa dengan hal hal berbahaya yang mengancam keluarga, Allan bersyukur adiknya tak pernah di kenal oleh para pembisnis dan orang lain yang berniat menjatuhkan Arthur.

Penculikan seperti ini pernah ia alami saat usianya baru menginjak 10 tahun, dan 13 tahun, lalu sekarang. Bedanya ia tak lagi sendirian dan kesepian, di lihat dari pengalaman ia hanya akan di beri makan saat menjelang malam lalu air minum di pagi hari.

Esoknya Arthur pasti akan tiba tiba mendobrak pintu dan menjanjikan sebuah 'popularitas' atau sekedar menanam setengah saham di perusahaan mereka.




Brak!





"Makan."

Ke empat pasang mata menatap empat piring yang tersaji di hadapan mereka dengan miris, makanan sisa yang terlihat menjijikan bahkan Yoga sampai mual tak ingin melihat.

Ali menggeram kesal. "Heh gendut! Lu pikir kita hewan? Gue aduin nih ke bokap gue."

Pria gempal berbaju gitam ketat itu melengos pergi, tidak terlalu mempedulikan ocehan tawanan bosnya, mereka hanya sekedar lalat kecil dan tak penting di ladeni.

Pintu besi gelap itu kembali tertutup.

Ruangan kembali hening, langit mulai menggelap, di ruangan ini tak ada satupun cahaya kecuali dari arah jendela kecil.

Allan menyeret tubuhnya, kaki mereka memang tak di ikat tapi ikatan di tangan terlihat seperti simpul mati.

Tak ada benda tajam, ponsel mereka pun sudah di banting hancur berkeping keping.

Pemuda manis di tengah tengah mereka tersentak saat Allan menjatuhkan kepala di pundaknya, langit membelit kaki berotot miliknya dengan kaki Yoga.

Ali pun semakin menempel dengan tubuh paling kecil di antara mereka yang sudah tercium bau badannya, seperti bayi yang tidak mandi seharian.

Tau kan?

Kurva tipis itu bergetar. "Hiks .. mau pulang."

Allan semakin menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Yoga, pemuda itu terus bergumam 'maaf' berkali kali atas penderitaan yang mereka alami.

"Laper, mau pulang .. hiks."

Keempatnya semakin mendekatkan diri, seolah mencati kehangatan dan memberi ketenangan di penghujung hari.

🍬🍬🍬

Ravan menginjak pedal gas dengan kuat, mengendarai mobil dengan tidak sabaran bersama Aaron di kursi penumpang sampingnya.

Arthur dengan kedua pria berbadan kekar di kursi belakang, ia di jaga dengan dua algojo bersenjata lengkap, mengintai jalan yang mereka lewati.

Tiga mobil hitam mengikuti dari arah belakang, semua kendaran serentak menyingkir mencari aman dan membiarkan keempat mobil yang menjadi sorotan publik berjalan lebih dulu.

"Dapet lokasinya, bang?"

"Hm, Daddy .. are you okay?"

Arthur mengangguk, mata mereka bertubrukan lewat cermin di dalam mobil yang menampilkan wajah khawatir Aaron walau tak begitu kentara.

Keadaan di dalam mobil kembali hening, emosi ketiganya kembali menguar tak terbendung.

Jalanan di sekitar mereka mulai sepi dan becek.

Arthur menatap rumah kumuh yang menjadi tujuannya, hanya sebesar dua petak yang terlihat kotor dan jelek.

"Disini? Kotor sekali."

Satu persatu dari mereka mulai keluar dengan senjata siap tempur di badan dan tangan masing masing, Arthur di kelilingi lima pengawal berbadan besar juga gagah yang sudah profesional.

Di susul Aaron, anak sulung itu sekarang sangat protektif pada Daddynya karena kejadian beberapa hari lalu.




Prok!

Prok!

Prok!




Seorang pria terlihat berwibawa muncul dengan para bawahan di belakang dari balik rumah reot di depan mereka, beberapa bawahannya menodongkan senjata.

Arthur mengeraskan rahangnya, kedua tangan penuh urat itu mengepal erat melihat siapa yang berani mencuri anaknya.

Hei, dia seorang 'ayah' sudah di pastikan tak ada yang boleh menyentuh satupun dari ketiga anaknya.

Ravan mengangkat satu alisnya, merasa bingung dengan senyuman sombong yang di berikan pria tua brewok gagah yang memimpin pasukan.

"Kauuu!?"

Sang pemimpin maju dengan langkah tegas, seringai kejam tercetak di wajah pongahnya lengkap bersama pandangan remeh.




"Menerima undanganku ... kawan?"

Tbc

.

.

Angkasa ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang