Deru suara mesin, halus terdengar memasuki pekarangan sebuah rumah yang terletak cukup jauh dari pemukiman lainnya di komplek perumahan ini. Sedan berwarna putih susu itu terparkir apik disamping mobil SUV yang kentara perbedaannya.
Setelah lampu sorot padam, dari kursi pengemudi keluar seorang pria dengan wajah lelahnya. Mengusap rambut hitam bergelombangnya dengan asal ke belakang kepala. Berjalan perlahan menuju kursi penumpang dan membukakan pintu untuk seorang pria lain yang nampak sama lelahnya.
Pria dengan surai hitam itu kembali berjalan menuju bagasi dan mengeluarkan dua tas olahraga berwarna hitam dengan lambang tim yang menyerupai jakal. Memberikan satu tas berat itu pada pria yang memiliki surai dengan kemilau kuning keemasan yang hampir pudar.
"Aku akan mandi duluan," ujar pria dengan gelombang di rambutnya. Berjalan malas mendahului pria satunya yang masih sibuk dengan kesalnya sedaritadi.
Satu kata yang akan terlintas di pikiran orang lain saat memasuki rumah dari dua pria itu. Temaram. Tidak terang, tidak pula gelap. Pencahayaan disini sengaja dipasang sedikit lebih redup dari rumah kebanyakan. Hasil permintaan dari si pria keemasan yang telah melempar tas olahraganya dengan asal menuju sofa.
Kakinya di selonjorkan dan tubuhnya disandarkan pada sofa yang entah sejak kapan terasa begitu nikmat. Matanya terpejam, mulutnya terbuka sedikit. Nafasnya bercampur dengan udara dalam ruangan. Kemudian dengan perlahan—seperti dalam film romantis yang kemarin ia tonton untuk ke tiga kalinya—iris kecoklatan miliknya terbuka.
Objek pertama yang iris itu lihat adalah sosok sang kekasih yang menatapnya dari atas. Sang kekasih yang sedari tadi diam seribu bahasa dan satu-satunya kalimat yang terucap adalah aku akan mandi duluan.
"Apa?" netra itu berkilat tajam. Coklat manis dari matanya berubah menjadi coklat kelam. Entah efek dari cahaya rumah ini yang temaram atau karena selubung amarah yang memenuhi hati dan pikirannya.
Sakusa Kiyoomi adalah seorang yang memiliki masalah serius dengan kuman dan segala hal yang kotor. Keringat salah satunya. Namun, jika itu menyangkut pria yang dipujanya selama dua tahun tanpa henti, terkadang rasa jijik itu menghilang begitu saja. Ditambah dengan sikap dingin dari pria emasnya ini, ia tak tahan melihat kilatan mata itu terlalu lama.
Bibir itu mengecup singkat bibir lain. Hanya sebuah kecupan singkat tanpa gerakan lain. Berusaha membujuk pria emasnya agar tidak terlalu lama memandangnya dengan mata yang menusuk tepat ke hatinya itu. Namun gagal.
Bahkan mulut yang sedari tadi terbuka itu tidak menyahut ketika bibir lain datang dan menyapanya basa-basi. Ia hanya terdiam dan terus membuka matanya. Menatap penuh penilaian dan juga umpatan.
"Kau menciumku seperti seorang anak berusia lima tahun membujuk sang ibu untuk memaafkannya karena telah memecahkan vas bunga," suara penuh dengan nada penghakiman keluar dari si pria emas.
Miya Atsumu masih terduduk dalam posisi yang sama. Tak peduli jika kini Sakusa sudah berlalu menuju kamar mandi dengan handuk yang tersampir di pundaknya.
Tak ada lagi efek kejutan dari segala hal yang dilakukan kekasihnya itu. Tak ada lagi ratusan atau ribuan kupu-kupu menari dalam perutnya oleh afeksi dari si wavy hair. Tidak ada lagi degup jantung yang berpacu seolah kehilangan kendali normal.
"Aku bahkan tidak pernah mencium ibuku," sahut Sakusa menghentikan langkahnya. Berbalik dan menatap sang pujaan yang balas menatapnya. Dengan iris tajam yang masih sama. Ia benar-benar tidak menyukai mata itu.
Jika boleh memilih, ia lebih senang menyelam dalam netra coklat manis yang selalu Atsumu berikan pada rekan satu timnya. Dibandingkan harus bersimborok dengan mata tajam penuh penghakiman seperti ini. Ia memilih untuk menghujam ratusan pedang ke dadanya daripada harus menatap mata menyakitkan itu selama lima detik.
"Berhenti menatapku seperti itu," akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Sakusa. "Mau mandi— bersama?" ajakan itu terdengar sangat pelan. Hampir berbisik. Egonya masih terlalu tinggi untuk sekedar menggoda kekasihnya itu.
Respon Atsumu yang biasanya ia tunjukkan adalah mengerling menggoda lalu setelahnya ia akan berlari menghamburkan dirinya pada Sakusa. Berteriak tertahan dan sesekali mengecupi dagu sampai dahi prianya. Namun kini ia malah mendengus dan mengalihkan pandangannya pada objek lain. Sebuah tanaman hias yang disimpan di pojok ruangan dekat dengan rak buku koleksi sang kekasih.
Kepala Atsumu terasa berat saat ini. Ia menyesal sudah menenggak dua gelas bir yang diberikan cuma-cuma oleh Bokuto Koutarou. Sebuah perayaan kecil setelah para jakal membuat para elang aristokrat itu tunduk dan terjatuh ke tanah. Pertandingan sahabat, katanya, tapi bagi Atsumu itu nampak seperti pertandingan untuk memperebutkan seseorang.
Hinata Shouyou.
Pada awalnya ia tak mempermasalahkan hal itu. Namun, ketegangan bermula saat sebelum pertandingan, sang anak bungsu bertemu dengan rekan satu timnya dulu di sekolah menengah atas. Ia tidak suka. Ia tidak suka jika barang kepemilikkannya disentuh oleh orang lain.
Hinata adalah miliknya—milik Black Jackals lebih tepatnya—dan ia tak menyukai cara Kageyama Tobio bertindak seolah Hinata masihlah miliknya. Ditambah runyam ketika seorang Ushijima Wakatoshi bergabung dalam permbicaraan mereka, memancing keluarnya sang kekasih yang terkenal dengan ke-anti-sosialannya.
Terpukul sudah dirinya dengan sebuah fakta. Ushijima adalah orang yang pernah dekat dan dikagumi oleh sang kekasih sejak dulu. Bahkan sebelum nama Miya Atsumu singgah di telinga sang kekasih, Ushijima Wakatoshi lebih dulu dipuja oleh pria dengan gelombang sebagai mahkotanya.
"Semua ini bukan salahmu," suara berat dan dalam milik Sakusa terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Sebuah usapan pelan singgah di surai emas Atsumu.
Mata coklat itu kembali terbuka. Akses bagi Sakusa untuk kembali memuja keindahan yang bisa Atsumu tawarkan hanya dengan dua bola matanya. Tidak lebih. Hanya mata.
"Dan apa maksudmu?" suaranya sama tajamnya dengan tatapannya. Atsumu sedikit menggeser kepalanya agar tangan besar sang kekasih bisa terlepas dari puncak kepalanya. Meskipun, jujur, Atsumu selalu akan bisa luluh dan terbuai dengan sentuhan sekecil apapun di kepalanya.
"Kau merajuk karena kau bermain tidak maksimal hari ini, 'kan?" tebakan Sakusa meleset jauh. Dan karena meleset itu, sumber rasa sakit Atsumu kembali bertambah.
Ia sadar betul hari ini ia bermain dengan kepala berkabut dan akal sehat yang diambang batas kewarasan. Ia hampir gila hari ini hanya karena sebuah ucapan Ushijima Wakatoshi bisa membuat Sakusa Kiyoomi keluar dari sarangnya dan membalas gurauan tidak lucu dari Wakatoshi.
Pun karena banyak hal yang terjadi antara dirinya dengan Sakusa.
Miya beringsut mengganti posisinya. Memilih untuk tertidur diatas sofa tanpa mau menjawab pertanyaan sang kekasih. Berusaha terfokus pada sakit badannya daripada sakit hatinya. Ia lelah sekali—fisik dan perasaannya sangat lelah. Jika boleh dikatakan, ia lebih ke terluka di bagian perasaan.
Keputusan untuk bersama dengan pria yang bahkan baru beberapa kali ia temui seperti Sakusa Kiyoomi ternyata sebuah kesalahan yang salah. Meskipun bertahan sampai dua tahun dan masih terus menghitung, hubungan ini telah menemukan titik akhir. Setidaknya itulah menurut si Miya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Story Of A Rift (Sakuatsu Haikyuu Fanfic)
FanfictionMereka saling mencintai. Tapi saling membenci. Hidup bersama seperti tak ada hari esok. Pun bertengkar seolah hari ini adalah hari kematian mereka. Mereka sadar bahwa kisah mereka bisa berakhir hanya dengan jentikkan jari, tapi mereka berharap bis...