Sakusa membiarkan Atsumu yang kini terbaring diatas sofa. Menimbang untuk memindahkan tubuh sang pujaan ke atas kasur setelah dirinya mandi. Sungguh ia tak keberatan untuk tidur berdampingan dengan tubuh kotor Atsumu. Ia tak pernah keberatan sejak pertama kali bertemu.
Hanya saja, ia selalu ingin membuat kebiasaan kekasihnya itu berubah. Akan lebih baik jika bukan hanya dirinya yang berusaha beradaptasi dengan Atsumu, tetapi juga kekasih emasnya itu harus mulai beradaptasi dengan dirinya.
Ia sadar jika dirinya aneh sejak lama. Menyakiti perasaan orang lain tanpa ia sadari. Dan menjadi favorit sekaligus the most hated player karena kebiasaannya diluar lapangan yang dianggap tidak sesuai dengan standar kehidupan atlet di Jepang.
Susah menjelaskan alasan mengapa dirinya lebih senang diam dibandingkan merecoki obrolan antara Atsumu dan Hoshiumi Kourai—si burung camar kecil yang bersanding dengan Ushijima Wakatoshi—tunggu, kenapa nama itu kembali muncul dalam angan-angannya saat ini.
Ushijima Wakatoshi seharusnya sudah mati dan terkubur dalam kenangan Sakusa. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupannya yang sekarang. Pun tidak ada sangkut pautnya dengan hidupnya sama sekali, dari awal tidak.
Bohong jika Sakusa tidak pernah berpikir untuk kembali memuja dan mengejar Ushijima. Jika Atsumu dan Ushijima adalah diibratkan sebagai dewa maka Sakusa lebih senang mengibaratkan Atsumu sebagai Poseidon dan Ushijima sebagai Zeus. Dan perlu digaris bawahi jika Zeus lebih kuat dan lebih berpengaruh dalam cerita dibandingkan Poseidon. Dan Sakusa adalah cerita itu sendiri.
"Hei, tunggu sebentar, aku tidak akan lama," kalimat terakhir merujuk pada kegiatan mandinya. Sakusa beranjak dari posisi dan berjalan sedikit terburu memasuki kamar mandi. Berharap air bisa mengguyur dan melarutkan semua ingatannya tentang bagaimana dulu Sakusa begitu memuja Ushijima Wakatoshi.
Sebuah dusta jika Sakusa tidak berkata tidak pernah mengajak sang ace Adlers itu untuk sekedar makan malam. Namun ditolak dengan sebuah kalimat paling menyakitkan yang pernah di dengar oleh Sakusa, maaf-tapi-aku-tidak-bisa-berhentilah-berharap-padaku-aku-tidak-bodoh-kau-menyukaiku.
Ah, jika boleh diulangi lagi kalimat itu lengkapnya terdengar seperti ini, "maaf, tapi aku tidak bisa menerima ajakanmu lagi. Berhentilah mengajakku dan berhentilah berharap. Aku cukup mengerti apa yang kau rasakan. Kau menyukaiku. Aku yakin kalau tebakanku tidak salah. Satori—Tendou Satori yang mengatakannya padaku. Dan sebagai informasi tambahan, aku lebih menyukainya dibandingkan dirimu."
Kalimat terakhir adalah pukulan telak bagi Sakusa. Ia tidak tahu apakah Ushijima merangkai kata itu sendiri atau si Tendou Satori yang memberi naskah pada Ushijima sehari sebelumnya. Namun sungguh, kalimat terakhir tidak terucap pun Sakusa mengerti bahwa dirinya tak pernah bisa bersanding dengan Ushijima.
Ia benci ini. Sangat membenci ini semua. Ketika pikiran tentang masa lalunya berlarian berputar dalam kepala, satu-satunya kenangan yang bisa membuat semua ini berhenti adalah sebuah kenangan tentang Atsumu yang menelengkan kepalanya ke kiri—tanda heran—tersenyum tipis dengan pijaran mata kecoklatan manis yang bisa membuat siapa saja tergoda untuk memilikinya.
Satu suara yang terdengar begitu renyah dalam kenangan membosankan Sakusa. "Tentu, mari kita coba." Itu adalah kalimat jawaban dari ajakan Sakusa untuk membawa hubungan tak terarah antara dirinya dan Atsumu ke sebuah jalan setapak yang seharusnya indah.
Dua tahun dan masih terus bergulir, mereka menapaki jalanan itu. Tapi tak kunjung sekuntum bunga pun yang mereka temukan. Hanya padang gersang yang ditumbuhi rerumputan pendek semata kaki terlihat sepanjang perjalanan. Atsumu terlihat tidak mempermasalahkan kehidupan asmara mereka. Namun Sakusa sedikit kecewa.
Ia berharap dengan adanya Atsumu dalam hidupnya, rasa sakit atas penolakan kejam Ushijima akan terhapus perlahan—atau selamanya. Namun yang ia sadari setelahnya adalah, Atsumu hanyalah pengalih perhatian saja. Ketika Sakusa menengok kebelakang ia bisa melihat hamparan bunga indah berwarna-warni.
Jika saja ia berbalik dan meninggalkan Atsumu yang akan terus berjalan menyusuri padang rumput gersang ini, apakah ia bisa menemukan sosok lain yang benar-benar bisa menutupi kemuramannya akibat Ushijima? Ataukah ia hanya akan menemukan dirinya berlari seperti orang gila yang meninggalkan hartanya sendiri di ujung sana.
"Haah," kepulan asap tipis keluar dari mulutnya. Hari ini benar-benar sungguh sial. Well, meskipun ia bisa membantu para jakal menang melawan para elang.
Ia sudahi acara mandinya. Teringat akan Atsumu yang mungkin saja menunggunya. Memegang janji Sakusa yang berkata tidak akan berlama-lama untuk mandi.
Namun sosok itu kini berdiri di depan pintu kamar mandi. Meringsek masuk dengan mata yang tak memperdulikan tubuh polos Sakusa. Menghamburkan tubuhnya yang masih terbungkus pakaian berbau keringat pada kulit Sakusa.
Menarik kepala sang kekasih agar menempel pada keningnya. Kemudian si emas itu mengerjai si gelombang dengan cara mengecup sudut bibirnya. Lalu dengan gerakan menghentak, si emas menghempaskan tubuh si gelombang agar menjauh dari dirinya.
"Kau sudah selesai mandi? Sekarang giliranku. Keluar," titah Atsumu. Tajam dan kental dengan perintah dari seorang yang egois.
Sakusa yang hampir terpeleset karena tubuhnya yang dihempaskan begitu saja oleh Atsumu hanya bisa menghela nafasnya pelan. Ia melupakan fakta bahwa baru saja Atsumu mengecup sudut bibirnya. Ia lebih memilih terfokus pada sikap Atsumu yang kasar hari ini. Tidak mengerti kenapa, tapi sungguh Atsumu menjadi lebih brengsek dari hari sebelumnya.
Ada keinginan untuk bertanya, ada apa dengan Atsumu hari ini. Namun segera ia batalkan mengingat kini tubuh keduanya polos tanpa apapun yang menutupi dan mereka berada di kamar mandi. Sungguh, Sakusa takut jika pertengkaran ini akan berujung pada hal lain yang bisa saja membuatnya mati kelelahan esok pagi.
Mengambil botol parfum Noir Extreme keluaran Tom Ford, Sakusa sedikit membanting pintu kamar mandi. Mengabaikan Atsumu yang kelihatan kecewa karena kejahilannya tidak berefek pada kekasihnya malam ini.
Ah, kembali teringat, parfum itu adalah hadiah pertama yang Atsumu berikan padanya. Dua—tidak, tiga tahun lalu, ketika mereka masih bersekolah di universitas dan tak sengaja bertemu ketika mereka sama-sama menghadiri acara dari salah satu tim kenamaan. MSBY Black Jackals. Dan berakhir dengan mereka menjadi rekan tim yang berbasis di Osaka tersebut.
Parfum itu tidak terlalu Sakusa sukai. Ia bukan penggemar aroma maskulin yang mencolok dengan bau balsamic woody yang terlalu dominan. Dirinya adalah penggemar bau lembut namun masih terkesan dominan. Karena ketidaksukaannya lah yang membuat parfum ini bertahan sampai tiga tahun lamanya.
Namun mengingat rona merah di wajah Atsumu ketika memberikan parfum ini, Sakusa yang ikut tersipu—meskipun terlalu gengsi untuk mengakuinya—memilih memakai parfum ini untuk sekedar membujuk Atsumu yang tengah merajuk. Seperti sekarang. Yah, atau ketika ia ingin lebih egois dari Atsumu untuk beberapa saat.
Malam ini mungkin bukan malam yang baik untuk dirinya bersikap egois pada si egois yang sesungguhnya—Atsumu—tapi izinkan Sakusa bersikap lebih dominan sekaligus balas merajuk kekasihnya yang sudah keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe.
Seperti perawan saja, pikir Sakusa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Story Of A Rift (Sakuatsu Haikyuu Fanfic)
Fiksi PenggemarMereka saling mencintai. Tapi saling membenci. Hidup bersama seperti tak ada hari esok. Pun bertengkar seolah hari ini adalah hari kematian mereka. Mereka sadar bahwa kisah mereka bisa berakhir hanya dengan jentikkan jari, tapi mereka berharap bis...