Sixth Stage

162 17 0
                                    

Sakusa terus menatap nanar pada kekasihnya itu. Melihat jemari kebanggaannya membuka satu per satu kaleng bir yang disimpan oleh Sakusa sebagai persediaan, jaga-jaga jika dirinya tengah gila oleh sesuatu dan Atsumu tidak ada di dekatnya. Kini minuman keras itu hampir habis tak bersisa ditangan Atsumu yang terus mengacungkan jarinya tiap kali Sakusa berusaha mendekatinya.

Meskipun itu artinya Sakusa harus menahan tangannya agar tidak terjulur kedepan dan mencoba memeluk tubuh prianya yang nampak lebih terluka daripada sesaat sebelumnya. Pertanyaan bodoh muncul dari pikirannya yang malam ini tidak bekerja semestinya, bagaimana bisa ia kembali membuat perasaan kekasihnya berubah menjadi buruk satu menit setelah prianya itu meminta maaf padanya.

"Damn you, Sakusa!" kini Atsumu benar-benar berteriak frustasi dan penuh kekesalan. Sang Rubah tidak paham kenapa dirinya—yang sudah hilang rasa pada Sakusa—kini harus menangisi pria itu ketika sebuah pesan muncul di ponselnya.

Sang Rubah sudah mempersiapkan dirinya untuk malam ini—meskipun begitu prematur dan baru ia susun selama beberapa menit lalu. Malam terakhir dimana dirinya menjadi rubah dalam sangkar. Karena setelah malam ini, ia yakin, dirinya akan dibuang begitu saja dan kembali menjadi rubah merah liar yang mengais-ngais pada orang lain hanya untuk di belai atau dicium.

"Aku sudah mempersiapkan ini," isakan terdengar dari mulut Atsumu. "Aku sudah mempersiapkan semua ini!" ulanginya lagi kini berteriak. Sebuah bilah tajam seolah keluar bersamaan dengan teriakan frustasinya. Bilah itu terlempar sembarang, tapi arah sembarang itu malah tepat melukai hati Sakusa.

Pria dengan rambut bergelombang yang kini tersisir rapi ke belakang kepala, menunjukkan dengan jelas dahi dan juga dua titik yang awalnya Atsumu puji dengan sebutan lucu. Berdiri dengan jarak yang tak berkurang. Ia tetap pada posisi awalnya dan berharap bahwa teriakan menyakitkan itu tidak lagi terdengar olehnya.

Kini kaleng bir terakhir yang semula digenggam kuat oleh Atsumu jatuh berkelontang diatas lantai. Sakusa menahan dirinya untuk tidak berlari ke lemari penyimpanan alat kebersihan dan membereskan kekacauan yang membuatnya tidak nyaman. Ia kini memilih menggosok-gosokkan jarinya agar rasa tidak nyaman itu teralihkan.

Atsumu di satu sisi berjalan dengan satu tangan bertumpu pada counter dapur. Menahan berat badannya yang kini terasa sangat membebaninya. Berjalan tanpa terpincang—karena nampaknya kadar alkohol terlalu tinggi dalam darahnya, sehingga ia lupa bahwa kakinya terluka sekarang—mendekati Sakusa.

Air mata sudah turun entah sejak kapan. Kini yang nampak adalah garis jalur air mata yang berasal dari sudut matanya, turun melalui pipi Atsumu yang nampak terlalu tirus—efek persiapan pertandingan—dan berakhir di rahang tegas pria yang berasal dari Hyogo tersebut.

Bau alkohol sangat menyengat keluar dari mulut Atsumu. Bisa Sakusa lihat mata si Rubah kini kesulitan terfokus. Mata itu terus menerus berkeliaran kesana-kemari. Meskipun dalam hati, Atsumu ingin berfokus pada sosok kekasihnya dan dua titik di dahinya.

"Ah, lucu sekali," tiba-tiba ia berteriak girang. Membuat Sakusa harus menahan nafasnya karena bau menyengat dari alkohol dan juga gerakan refleks manusia ketika seseorang dengan tiba-tiba berteriak di depan mukanya dan menarik kepalanya secara kasar.

Atsumu menciumi dua tahi lalat di dahi Sakusa. Menciuminya dengan penuh rasa kagum dan sedikit rasa memuja. Sesekali ia terkekeh tanpa alasan jelas. Lalu kembali mengecup seluruh sudut wajah Sakusa singkat dan meninggalkan bekas bau alkohol menyengkat di beberapa sudut.

Saat Sakusa ikut terlarut dengan gerakan manis dan juga kekehan—beserta bau alkohol—yang kekasihnya berikan. Tangan yang awalnya menangkup kepalanya agar sedikit tertunduk, kini menghilang. Sesungguhnya ia enggan untuk membuka matanya, takut jika yang dia lihat adalah pemandangan menyakitkan yang diberikan oleh Atsumu.

Dan benar. Saat matanya beradapatasi dengan lampu temaram di rumahnya. Kilauan air mata yang mengalir berjeda menjadi objek pertama yang dilihatnya. Atsumu menangis. Rubahnya menangis. Si emas kesayangannya menangis, dan ia malah berdiri diam di hadapannya.

Otaknya benar-benar berhenti bergerak. Logiknya berhenti berputar disaat yang tidak tepat. Untuk pertama kalinya, Sakusa Kiyoomi bingung harus melakukan apa untuk membuat Atsumu—kekasihnya—itu menghentikan tangisnya. 

Ia hanya tidak ingin Atsumu kembali terluka hanya dengan gerakan kecil dari tangannya. Ia tidak sebaik itu. Kini dirinya tak lebih dari seorang pria yang tidak bisa memilih antara dua pilihan. Meskipun jelas perbedaan keduanya. Satu pihak memiliki hati lain untuk dijaga, sedangkan pihak lain sudah menjaga hatinya sejak dua tahun lalu dan masih berjalan hingga sekarang. Namun Sakusa buntu untuk beberapa saat. Hingga suara sok kuat dari Atsumu terdengar.

"Aku—tak pernah berpikir untuk mengatakan ini padamu, tapi—" kalimat Atsumu menggantung di udara. Matanya berlari kesana kemari mencari pelarian, seolah menatap Sakusa bukanlah pilihan baik. Setelah menemukan kembali suaranya, Atsumu melanjutkan, "tapi aku tidak bisa terus bersamamu. Aku hanya tidak ingin egois terhadapmu."

Segelas air dingin tandas ditenggak oleh Atsumu. Berusaha mengembalikan akal sehatnya setelah sadar ia hampir menghabiskan brendi mahal dan juga lima botol kaleng bir simpanan sang kekasih. Rasa mual di perutnya begitu kuat, tetapi rasa sakit di hatinya lebih mendominasi. 

Dibandingkan harus berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya, Atsumu memilih untuk bersandar pada counter dapur dan menahan berat tubuhnya dengan satu tangan. Sedangkan tangan lainnya menutupi wajahnya yang mungkin akan terlihat jelek—karena kini ia terisak cukup kencang.

Ia tak suka mengatakan suatu kebohongan seperti aku melepasmu atau aku akan bahagia jika kau bahagia. Ia ingin berkata aku tidak akan pernah melepasmu atau aku hanya ingin kau bahagia denganku. Namun kini ia sadar bahwa sikap egoisnya tidak akan menolong kemalangan yang terus menerus datang pada dirinya.

Hadirnya Adlers sangat berpengaruh pada dirinya. Ushijima Wakatoshi, sang opposite hitter merangkap ace tim, ditambah dengan fakta bahwa hanya dengan mendengar namanya saja sudah membuat mata Sakusa berkilau terang. Kageyama Tobio, setter yang seolah menantang dirinya untuk membuat Hinata Shouyou berguna. Lalu beberapa jam kemudian ia merasa ditelanjangi di depan rekan se timnya karena sang pelatih berkata dengan nada penuh canda,

"Miya! Jika permainanmu terus memburuk aku akan mengontrak Kageyama, semahal apapun itu."

Tawa dari para staff membuatnya mau tak mau ikut tertawa meskipun terkesan dipaksakan dan juga garing. Para pemain lain diam dan memilih untuk menyesap minuman mereka dalam-dalam karena mereka hafal betul guyonan itu terdengar lebih menyeramkan ketika hari itu kau bermain tidak maksimal.

Ia sebenarnya tidak mempermasalahkan itu. Toh banyak tim diluar sana yang mengantri untuk menanda-tangani kontrak dengan Miya Atsumu. Bukan hanya Black Jakals. Banyak yang memberikan tawaran dengan harga selangit, bermain diluar negeri, atau bahkan berjanji untuk membuat nama Miya Atsumu lebih terang dibandingkan sorotan yang ia terima sekarang.

Namun tim lain tidak memiliki sesuatu yang membuat Miya Atsumu menetap dalam sebuah tim meskipun ia sering menjadi bayangan dibalik pada hitter brilian di timnya. Tim lain tidak memiliki Sakusa Kiyoomi. 

Terlepas dari kemampuan memukau Sakusa Kiyoomi, rasa cintanya pada pria yang selalu ia ganggu itu semakin bertambah setiap harinya. Sampai ketika ia tersadar jika rasa itu tak lagi tumbuh. Seolah stuck di satu posisi tanpa bisa maju lagi. Rasanya terperangkap. Ia tak lagi menemukan dirinya yang bangun dengan senyum sumringah ketika melihat wajah damai Sakusa disampingnya.

"Aku pergi."

*** 


A Story Of A Rift (Sakuatsu Haikyuu Fanfic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang