Bab 2 : Dugaan

258 76 2
                                    

Aku membaca biodata yang diberikan Andi kepadaku, Andi adalah asistenku. Aku menyuruh dia mencari tahu tentang keluarga yang telah menolongku. Hebatnya Andi sampai tahu foto Amira sewaktu dia masih kecil. Karena foto dia ketika sudah dewasa sudah memakai cadar. Jadi, gadis itu sudah lama memakai cadar. Foto yang diberikan Andi ketika Masih TK dan ketika masih SD. Dari foto Amira masih kecil foto Amira terlihat gadis yang lucu dan menggemaskan. Setidaknya aku punya gambaran tentang wajah gadis itu.

"Kamu beneran mau menikahi gadis itu?" Tanya Andi kesekian kalinya. Dia bertanya sambil membetulkan kacamatanya.

"Iya kenapa? Apa dia sudah punya pacar?" Tanyaku seraya menutup map yang cukup tebal karena map tersebut tidak hanya berisi biodata Amira tapi juga biodata ibu dan ayahnya dan juga adik laki-lakinya yang masih SMP.

"Tidak. Dia mau kuliah S2 di luar Negeri. Tepatnya di Cairo, Mesir. Itu adalah salah satu kampus Islam terbaik di dunia." Kata Andi dengan nada bicara nya yang santai. Dia sudah seperti sahabat bagiku. Bahkan dia sering menghabiskan waktunya denganku karena dia tidak punya pacar.

"Hah?" Jawabku kaget. "Kenapa kamu tidak tulis disini." Protes ku. Secara mental aku sudah merasa baikan tapi fisik ku masih ada sedikit rasa nyeri ketika bergerak. Kata dokter aku masih boleh keluar lusa.

Andi membuka kacamatanya dan menatapku kesal. "Apa kau tidak berpikir bahwa mereka akan menolak lamaran mu?"

Ku tanya balik dia. "Hal apa yang membuat mereka menolak lamaran ku?" Kataku dengan percaya diri. Dari segi fisik aku memiliki wajah yang rupawan. Memiliki tinggi badan 175 cm dan yang paling penting aku mapan.

"Pertama, kamu masih berstatus tunangan orang lain. Setidaknya, kamu harus membatalkan pertunangan mu dulu. Kedua, kamu orang asing bagi mereka. Kamu hanya orang yang tidak sengaja di tolong oleh mereka. Kenal pun tidak. Yang ketiga keluarga mereka keluarga yang agamis. Mereka akan mencari calon suami untuk anak gadis mereka seorang laki-laki yang pintar agama. Apalagi dia akan berkuliah di cairo. Sedangkan kau?" Andi menjeda kalimatnya dan menghela napasnya berat. Melihatku dari atas sampai bawah. "Sholat saja. Aku tidak pernah lihat." Sindirnya langsung.

Aku mengangkat tanganku menyuruh Andi untuk berhenti bicara. Dia memang pandai sekali menilai keburukan ku.

"Dengar, aku ini memang tidak ada bagus-bagusnya di matamu." Kataku tak ambil pusing ucapannya.

"Hari ini juga aku akan bicara sama Tari." Putusku cepat. Kalau perlu besok aku sudah bisa pulang dari rumah sakit dan sorenya pergi ke rumah Amira.

Hatiku tidak tenang jika tidak segera menyampaikan kan nazarku kepada keluarga Amira.

Baru selesai mengucapkan kalimat itu Tari datang dengan membawa buah-buahan. Andi yang mengerti pamit undur diri.

Tari tersenyum padaku dan memberikan sebuah kecupan di pipi kanan dan kiriku. "Bagaimana sudah merasa baikan?" Tanyanya dengan menarik kursi dan duduk di dekatku.

"Ya, lumayan. Masih nyeri sedikit." Kataku tersenyum tipis.

"Tari ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Dan sebelumnya, aku akan minta maaf terlebih dahulu."

Ini sudah tidak bisa di tunda lagi. Aku harus segera bicara dengan Tari. Meskipun waktunya kurang tepat.

Aku menatap mata Tari dengan penuh keyakinan. Setelah siap dengan apa yang akan aku katakan dan sudah siap mendengar respon Tari aku dengan jelas mengatakan bahwa. "Maaf, aku tidak bisa melanjutkan pertunangan kita. Aku tidak bisa menikahi mu."

Tari terdiam untuk beberapa saat. Suara jam dinding menemani keheningan kami berdua. "Kamu becanda kan?" Tanyanya dengan tertawa yang di paksakan.

Aku menggeleng tegas dan mengatakan. "Aku serius dengan ucapanku."

Nazar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang