Aku membuka mataku perlahan. Silau lampu membuatku mengeluh dan spontan menutup mataku. Ini dimana?
"Rendi, akhirnya kamu sadar nak." Kata sebuah suara di sampingku seperti suara mamaku.
"Mama?" Tanyaku memastikan.
"Iya, ini mama." Jawabnya. Aku menoleh ke arah kananku dan melihat mamaku yang tersenyum lega melihatku.
"Jadi, aku masih hidup mu? Gak mati?" Tanyaku memastikan. Ini bukan di surga kan? Atau mamaku juga ikut mati karena anak kesayangannya mati jadi mama ikutan mati juga.
"Iya syukur kamu masih hidup Rendi. Kamu itu gak bangun sudah tiga hari." Kata mamaku dengan menyeka air matanya.
Pintu ruangan kamarku terbuka menampilkan papa dan adik perempuanku.
Mereka menghampiriku dengan haru biru. Papa tidak mengatakan apapun dia hanya tersenyum dan menyentuh kepalaku."Huu abang, Rena kira abang bakalan mati." Kata adikku seraya menangis layaknya anak kecil. Padahal dia sudah SMA kelas dua. Mama yang mendengar itu langsung mencubit lengan Rena.
"Kamu ini, kalau ngomong." Seru mama gemas.
"Kan iya, kalau tidak di tolong..." Ucapan Rena terhenti dan perhatian kami tertuju pada pintu yang terbuka lagi. Kali ini seorang perempuan muda dengan dress selututnya.
Ah, iya aku sampai lupa kalau aku sudah bertunangan.
Papa dan Rena memberi ruangan kepada Tari, nama tunangan ku.
"Rendi, syukurlah kamu sudah sadar." Katanya dengan menggenggam tanganku dan mencium keningku. Aku berjengit kaget. Kenapa dia begitu luasanya mencium keningku di depan keluargaku. Aku melirik pada keluargaku sebentar. Orang tuaku tersenyum tapi Rena malah memalingkan mukanya. Mungkin dia pikir bahwa itu pemandangan yang seharusnya tidak dia lihat. Meskipun sebenarnya dia sudah berumur tujuh belas tahun dan suka menonton drama korea. Hal seperti itu pasti dia sudah lihat ribuan kali.
"Tari." Panggilku padanya dan dia tersenyum dengan sebuah anggukan. Sebenarnya aku menyebut namanya hanya untuk mengetes bahwa apa benar namanya Tari atau bukan.
Kenapa aku jadi lupa begini. Apa aku lupa ingatan atau bagaimana?
"Kata dokter aku bagaimana Ma?" Tanyaku yang penasaran tentang kesehatanku.
"Lukamu cukup parah dan kamu banyak kehilangan darah untungnya kamu segera dibawa ke rumah sakit." Penjelasan mama mampu membuatku mengingatkanku kembali pada kejadian naas itu.
Aku terlalu capek dan mengendarai mobil dalam keadaan mengantuk dan sudah sangat lelah. Aku memaksakan diri untuk pulang dari rumah temanku malam itu juga.
Wajah perempuan bercadar hadir dalam ingatan ku membuatku tersentak kaget. Bagaimana samar-samar aku mengingat wajah perempuan bercadar itu dan ayah dari gadis tersebut. Aku hendak bangun dan duduk dengan bersandar.
"Amira mana Ma?" Tanyaku langsung pada mama. Aku mengingat jelas nama gadis itu.
"Abang kenal sama yang nolong sama abang?" Kata Rena dengan senyuman merekahnya.
"Nggak. Cuma dengar dari ayahnya waktu dia manggil namanya." Kataku dengan gelengan. Aku memijit keningku yang sedikit pusing.
"Sudah jangan diingat dulu. Kamu istirahat saja dulu." Kata mama yamg membantu memijat kepalaku.
"Iya Rendi. Tante dan Om sudah berterima kasih kepada mereka. Om dan tante juga sudah mau memberi tanda terima kasih karena sudah nolong kamu." Kata Tari yang tidak melepas tangannya dari tanganku.
"Iya tapi mereka menolak." Sambar Rena cepat.
"Mereka orang yang baik sekali, Rendi. Mereka berdua nunggu kedatangan kita untuk memastikan bahwa orang yang ditolong mereka sudah ada yang menjaganya." Kata papa bercerita dan mendapat anggukan dari mama dan Rena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nazar Cinta
RomantizmRendi Aditama adalah seorang CEO muda yang sukses dan cemerlang. Selain memiliki otak pintar dia juga di anugerahi wajah tampan. Laki-laki yang semua kriteria perempuan inginkan ada pada Rendi semua. Laki-laki yang memiliki keluarga harmonis dan jug...