Bab 8 : Aku Tahu Itu

165 44 7
                                    

Aku tidur di shofa dan melihat Tari yang sedang tidur juga. Jam menunjukan jam empat lewat dua puluh menit. Sepertinya sudah subuh. Badanku rasanya capek sekali. Aku akan datang telat ke kantor hari ini. Aku dengan cepat mengirimkan pesan kepada Andi dan memberi tahu kalau aku akan telat ke kantor dan memberi tahu alasannya kenapa aku akan datang telat.

Waktu itu juga pesanku sudah dibaca oleh Andi. Sudah bangun ternyata dia. Aku tidak perlu menunggu balasan Andi yang penting aku sudah memberi kabar padanya.

Aku mengamati wajah Tari yang sedang tidur. Kasihan sekali dia sedang sakit, semoga saja teman-temannya nanti ada yang menjenguknya supaya dia tidak kesepian. Aku meninggalkan secarik kertas kecil dan menuliskan bahwa aku pulang. Kalau ada waktu aku akan jenguk lagi dan semoga lekas sembuh. Kira-kira kalimat seperti itulah yang aku tulis.

Aku meminta Pak Yanto supir rumah untuk datang ke rumah sakit. Pak Yanto sudah datang dan menunggu di parkiran. Aku akan menemui Pak Yanto setelah sholat subuh. Aku yakin pak Yanto akan melakukan hal yang sama. Dia orang yang tidak lupa untuk sholat. Aku berjalan dengan jas yang aku letakan di atas pundak. Kancing kemeja bagian leherku terbuka.

Angin subuh menerpa dadaku. Aku mencari mushalla terdekat dan rasa dingin semakin membuatku menggigil tatkala aku bersentuhan dengan air untuk berwudhu. Selesai menjalankan perintah sholat dua rakaat aku segera menemui pak Yanto.

Setibanya di parkiran Pak Yanto menyambut ku dengan tersenyum. Dia sopir rumah ku semenjak aku SMA. Langsung saja kuberikan kunci mobilnya. Di perjalanan niat hati ingin tidur lagi tapi mata tak kunjung terpejam. Jadi aku urungkan untuk menikmati suasana di pagi hari ini. Melihat pemandangan jalan raya yang masih sepi dan hangatnya mentari di pagi hari. Membuatku sedikit tersenyum.

Melihat pasangan kekasih yang sedang berjalan di pagi hari dan membawa bayi mereka yang di letakan di kereta bayi. Membuatku berkhayal bisa melakukan kegiatan seperti itu nanti ketika aku sudah punya istri dan anak.

"Seneng yaa Mas lihat pasangan suami istri seperti itu." Ujar pak Yanto yang tahu kemana arah mataku melihat.

"Ah pak Yanto ini, penasaran saja sama urusan anak muda." Kataku dengan nada berguru. Karena Pak Yanto sudah lama bekerja di rumahku jadi sudah akrab dengan beliau.

"Ditambah perempuan yang Mas lihat tadi pakai kerudung sama dengan Tunangan Mas yang sekarang mbak Amira. Tapi mbak Amira di tambah pakai cadar. Wah kayak adem gitu lihatnya. Plus gak nyangka saja Mas Rendi bisa dapat perempuan seperti mbak Amira." Katanya yang tersenyum senang.

"Sepertinya pak Yanto senang ya saya bisa tunangan gadis berjilbab seperti Amira." Kataku sambil melirik seorang pria yang hanya selisih berapa tahun dengan papaku.

"Ya kaget dan bersyukur banget Mas Rendi bisa dapat calon istri seperti itu. Insyallah Mbak Amira gadis yang sholehah."

"Aamiin" Jawabku cepat.

Pak Yanto adalah salah satu orang yang mengenalkan ku akan ilmu agama. Dulu bahkan sampai sekarang aku melihatnya mengaji di waktu Maghrib dan kebiasaan itu dia lakukan sampai sekarang. Dan katanya anaknya yang masih SMP sekarang dimasukan di pesantren yang khusus untuk bisa menghafal Al-Quran.

Sampai tiba di rumah mentari sudah terlihat jelas. Di ruang makan sudah ramai dengan keluargaku. Aku langsung duduk di kursi ku.
Melihat wajah dan tubuhku yang sepertinya tidak enak di pandang membuat Rena menutup hidungnya.

"Abang Bau. Mandi dulu sana." Katanya yang heboh sendiri. Aku mengabaikannya dan meneguk segelas air putih.

"Ingat Rendi, kamu sudah tunangan sama Amira. Jangan keseringan ketemu sama Tari." Kata papaku yang memperhatikanku yang sedang minum.

Nazar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang