Sembilan

179 30 5
                                    

Husna itu mudah ditebak. Ekspresi wajah dan gestur tubuhnya berubah-ubah sesuai perasaannya. Jangankan yang sudah lama kenal, orang baru saja pasti bisa cepat paham. Seperti saat Abid mengobrol dengannya tadi, kentara sekali kegugupannya. Dan itu, membuat Abid malah senang. Rasanya … ingin berlama-lama mengobrol dan membuatnya semakin gugup.

Abid tersenyum sendiri, ia teringat kepanikan Husna barusan saat ia menanyakan Salma. Kalau gadis ekspresif itu tak berpindah sedikit pun dari tempatnya, untuk apa dia panik? Pasti Salma masih di dalam, kan? 

Hanya saja, senyum geli dan senang itu seketika hilang manakala tampak Husna keluar dari area kamar mandi perempuan. Ia berjalan pelan dengan ekspresi cemas. Bagian bawah gamisnya basah hingga sekitar setengah betis. Kaos kakinya pun masih terpasang. Rupanya dia sangat panik hingga tak sempat melepasnya tadi. Kedua tangannya mendekap pakaian dan tas yang … dipakai Salma tadi? Bagaimana mungkin?

Seketika Abid menghampirinya. "Apa …?"

Husna mengangguk lemah. Matanya sudah berkaca-kaca. "Jangan aduin Mbak Ning ke Ammi Yai."

Bagaimana mungkin Husna masih sangat mengkhawatirkan Salma yang telah membuatnya begini? Tapi, dalam benak Abid hanya ada keinginan untuk menenangkan gadis di hadapannya.

"Inggih. Inggih. Jangan cemas, Ning."

Cemas, Husna menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. "Mbak Ning …" Ia menunjukkan pakaian Salma pada Abid seraya menggeleng pelan.

"Njenengan ada HP, kan? Siapa tahu Ning Salma kirim chat seperti waktu itu. Kita turuti saja kemauannya."

Husna kembali menggeleng. "Saya, kan, nggak pegang HP. Yang kemarin itu HP jualannya Mbak Ning."

Ya Allah … bagaimana ini? Abid sendiri pasti telah diblokir sejak tadi.

Lama Abid terdiam sebab cemas. Dia hanya memandangi hamparan paving yang dipijaknya. Sementara pikirannya entah ke mana.

"Kalau dicari, bagaimana?" tanya Abid seraya menatap Husna.

"Cari?"

"Iya. Coba diingat-ingat lagi, kira-kira Ning Salma punya kenalan apa nggak di sekitar sini. Atau, sebelum berangkat, apa pernah menyinggung tempat sekitar sini?"

"Oh …" Husna yang sempat menatap Abid, kini menjatuhkan pandangan ke bawah. Sepertinya dia tengah berpikir. "Gus Ishak …" ujar Husna lirih.

"Gus Ishak?"

"Jangan dilaporin ke Ammi Yai." Seketika Husna mendongak. Ia tampak cemas.

"Nggak, nggak. Saya, kan, sudah janji. Saya nggak akan ingkar janji. Saya hanya ingin menjaga Ning Salma agar nggak terjadi hal fatal yang bisa membuat Abah Yai cemas."

"Itu … pacarnya Mbak Ning," ujar Husna yang membuat Abid terperanjat. Ternyata, kekasih Salma putra seorang kiai. Tapi, siapa pun dia, jika sampai ketahuan Kiai Mahrus, tetap akan menjadi masalah.

"Katanya, dia mondok sambil kuliah di  sini," lanjut Husna. 

"Di kampus Ampel sini?" Abid melebarkan mata.

Husna menggeleng. "Nggak tahu. Yang jelas di kota ini."

Seketika, Abid teringat pada salah satu perguruan tinggi negeri yang memiliki fasilitas pesantren kampus.

Abid memeriksa penunjuk waktu pada ponsel yang dititipkan padanya. Ia memperkirakan, kepergian Salma tak sampai lima belas menit lalu. 

"Oke. Kita cari." Abid memasukkan ponsel ke saku kemeja cokelatnya. 

Baru saja melangkah, ia kembali berbalik dan menatap bagian bawah tubuh Husna yang basah. "Tapi, rok dan kaos njenengan basah."

Husna tampak terkesiap. Ia memeluk baju Salma dengan mimik kagetnya.

"Tunggu di sini." Abid segera berlalu meninggalkan Husna

***

Masih tak mengerti maksud Abid, Husna kini menunduk. Kembali mengamati bagian bawah tubuhnya. Sepasang kaki yang terasa dingin. Ya ampun … urusan kaki lagi.

Sekitar sepuluh menit Husna menunggu, hingga akhirnya Abid datang membawa sebuah kantong plastik putih dan mendekatinya. "Njenengan ganti baju dulu. Biar nggak masuk angin."

Oh Tuhan … lelaki di hadapan Husna ini kembali menimbulkan turbulensi hebat di dadanya. Dia bisa berpikir sejauh itu. "Biar nggak masuk angin", katanya.

Husna menerima kantong plastik itu seraya menunduk. Ia segera berbalik dan melangkah ke kamar mandi. Kini, bukan hanya kupu-kupu terbang di perut saja, tapi kedua pipinya menghangat.

Jujur saja, ingin rasanya Husna menoleh dan kembali mengamati pemuda baik itu. Hanya saja, pasti sangat memalukan kalau sampai Abid tahu ia memperhatikannya.

Dengan jantung masih berdentum-dentum, Husna masuk kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Gamis kaos cokelat, mirip dengan bajunya yang basah. Artinya, Abid memang sengaja membelikan warna yang sama. Mungkin, agar tetap serasi dengan kerudung paris cokelat muda yang dipakainya.

Ia tak berlama-lama dan segera keluar setelah memasukkan pakaiannya dan pakaian Salma ke kantong plastik itu.  Tak ingin Abid menunggunya—atau malah dia yang tak ingin lama-lama berjauhan.

Abid adalah lelaki pertama yang berinteraksi cukup lama dengannya, selain kakaknya dan ayahnya, tentu saja. Berinteraksi dengan selain mahram sangat tabu dan terlarang. Karenanya, Husna tak pernah melakukannya sama sekali. Lagipula, sejak kecil ia tak memiliki teman lelaki. Main medsos pun hanya melihat-lihat saja. Ia sendiri bingung harus mengunggah atau menuliskan apa.

Sejak kecil, ia bersekolah di madrasah ibtidaiyah diniyah di pesantren yang diasuh ayahnya. Setelah lulus, ia pindah ke Darul Mukhtar. Baru empat tahun terakhir ia meneruskan belajar di Nurul Iman. Hidupnya hanya sekitar dunia pesantren. 

Benar saja, Abid masih menunggu. Dia langsung mengajak Husna untuk segera berangkat agar bisa segera menemukan Salma.

Butuh waktu sekitar 30 menit untuk mereka sampai ke universitas negeri yang dimaksud. Selama di mobil, mereka lebih banyak diam. Meskipun banyak pertanyaan yang ingin ia utarakan, termasuk bagaimana Abid bisa tahu dan terpikir universitas ini. Tapi, sungguh berat rasanya melakukannya. Husna terlampau malu.

Abid memarkirkan kendaraan di area parkir kampus.. 

"Kampusnya sepi," gumam Abid pelan seraya melongok ke luar melalui kaca depan, "Kayaknya, karena sekarang Sabtu." 

Mesin mobil masih menyala. Husna menunggu Abid membuka pintu untuk ikut turun. 

Abid melongok ke belakang. "Gus Ishak itu yang pernah bertemu dengan Ning Salma di depan gerai kebab beberapa bulan lalu, kah?" 

Husna terperanjat. Bagaimana Abid bisa tahu? Ia hanya mengangguk pelan.

"Namanya Ishak siapa, Ning? Agar lebih cepat ketemu."

Husna menggeleng. "Saya hanya tahu dia putra Kiai Fauzan."

"Kiai Fauzan Al Munawwir?" tanyanya dengan ekspresi terkejut.

Husna mengangguk pelan. 

"Baiklah, saya akan coba cari meskipun dengan petunjuk yang minim."

Husna masih diam. Dia bertanya-tanya, apakah perlu keluar dan mencari bersama atau menunggu saja di mobil. Pasalnya, barusan Abid mengatakan saya, bukan kami. Terlebih lagi, ia tak mematikan mesin mobil.

Ketika Abid membuka pintu depan, Husna ikut membuka pintu di sampingnya. Seketika, pemuda bersarung tenun itu menoleh. "Njenengan nunggu di sini saja, ya? Kampus ini luas sekali. Nanti capek. Biar saya yang cari. Kalau ketemu, saya segera ke sini lagi."

Husna hanya mengangguk, lalu menutup pintu. Ya Allah … pemuda baik ini sangat perhatian dan bertanggung jawab. Ya, Husna memang berusaha menjaga hati, tapi apakah salah jika mengakui bahwa ia sangat mengagumi Abid.  

Hanya kagum. Janji, tidak akan lebih.

Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang