Sembilan Belas

190 32 8
                                    

Keadaan Masjid masih tenang. Pembacaan dzikir rutin bakda salat baru saja berakhir. Hanya terdengar dengungan kipas angin dan sesekali suara gemeresak pengeras suara masjid. 

Jamaah Isya baru usai dilaksanakan. Abid tiba di Nurul Iman sekitar jam lima sore tadi. Ia bahkan belum merapikan pakaian dan barang yang ia bawa dari Probolinggo.

Kiai Mahrus beranjak dari tempat imam. Beliau berjalan ke arah pintu samping masjid. Para santri di shaf depan menunduk takzim seraya tetap bersila. Begitu pula Abid yang berada di bagian kiri shaf terdepan, beberapa meter di dekat pintu samping.

Kiai Mahrus menghentikan langkah di depan Abid dan memanggilnya lirih. "... Abuya tunggu di ruang mutholaah."

Ia beranjak, seraya mengiakan ajakan Kiai Mahrus. Lalu, segera mengikuti langkah sang ayah mertua. 

Seperti biasa, Kiai Mahrus mempersilakan anak menantunya duduk. Tapi kali ini, dia kembali keluar, membiarkan Abid sendiri. Lantas, kembali lagi beberapa menit kemudian.

Kiai melepas sorban dari pundak, lalu meletakkannya di sandaran kursi belajarnya. Ia kemudian duduk di kursi kayu single seperti biasa. "Nak Mas, bagaimana Salma?"

Abid merasa heran, apa maksud pertanyaan ayah mertuanya ini? Bukankah dia sudah tahu bahwa Salma baik-baik saja saat datang tadi? "Sae, Kiai. Ning Salma baik-baik saja."

Kiai Mahrus mengangguk-angguk. Dia mengulum senyum. "Iya. Abuya tahu. Tapi, maksud Abuya … hubungan kalian. Lancar?" tanya Kiai Mahrus lagi dengan ekspresi wajah penasaran dan sedikit menggoda. Membuat Abid mulai paham arah pembicaraannya. Tapi, dia tetap berusaha menjaga kesopanan.

"Ehm … sae. Baik-baik saja. Ning Salma juga … Ehm …" sial, Abid kebingungan akan menjawab apa. Pasalnya, belum terjadi apa pun di antara mereka. Acara pengantin berjalan padat dan melelahkan. Bahkan, mengobrol sedikit lebih panjang saja hampir belum pernah. Karena ketika Abid tiba di kamar, biasanya Salma sudah terlelap. 

Lagi, Kiai Mahrus menahan tawa. "Gini, gini, Nak Mas. Abuya ingin kamu tahu keinginan Abuya ini. Ini karena Abuya senang sekali kamu menjadi menantuku."

Kiai menjeda kalimatnya sesaat dan Abid menjawabnya dengan inggih lirih.

"Mungkin ini terkesan terburu-buru, tapi ini baik untuk kehidupan rumah tangga kalian. Abuya harap—" Kalimat Kiai Mahrus terhenti oleh ketukan pintu dan ucapan salam.

Tampak seorang santri putra memasuki ruangan setelah Kiai Mahrus menjawab salam dan menyuruhnya masuk. Santri itu membawa nampan berisi dua gelas berukuran sedang dan kecil. Yang berukuran besar berisi minuman berwarna coklat gelap, sementara yang kecil berwarna cokelat tua.

Pemuda bersarung motif kotak-kotak itu meletakkan nampan pada meja, sesuai instruksi sang kiai.

"Minum dulu, Nak Mas. Ini jamu buatan Ummamu. Acara pernikahan kalian padat. Biar ndak jatuh sakit."

Abid mematuhi titah ayah mertuanya. Ia meminumnya hingga tandas, segelas jamu pahit dan penawarnya yang manis.

Kemudian, santri itu pamit pergi membawa dua gelas kosong, dan Kiai Mahrus meneruskan perkataannya, "... ya seperti yang setiap orangtua inginkan, kami juga berharap kalian segera memberikan kami cucu. Kamu tahu, Nak Mas, Abid dan Salma junior." Ekspresi wajah Kiai Mahrus tampak sangat senang.

Abid mengangguk canggung seraya tersenyum hormat—sekaligus malu. "Inggih. Pendungane. Insyaallah, Kiai."

"Abuya, panggil aku Abuya."

"A-abuya."

Kiai Muhib tergelak senang. "Jadi … bagaimana? Lancar, kan? Lagipula, anak itu perekat cinta antara suami-istri. Menumbuhkan cinta kasih. Hubungan halal suami istri itu mengukuhkan pernikahan. Mempercepat hadirnya mawaddah di antara kalian. Jadilah suami berdaya dan mampu mendidik istri. Dan hubungan itu merupakan salah satu bentuk pendidikan rumah tangga dan kewajiban suami."

Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang