Dua Puluh Dua

195 33 5
                                    

Apakah semua lelaki memang suka sekali berhubungan badan? Bahkan, meskipun tanpa cinta?

Ini malam keempat Abid kembali meminta haknya, seperti biasa. Padahal sebelumnya, dia telah pamit untuk muthalaah ke asrama asatidz bersama beberapa ustadz seangkatan. Tapi, belum satu jam, dia kembali dan memanggil Salma ke kamar. Menyebalkan.

Empat hari berturut-turut selalu seperti itu. Salma merasa jijik jika mengingatnya. Ia tersiksa dengan semua ini. Sedikit pun, tak ada kenikmatan dalam hubungan itu. Bahkan, ia merasa sangat dilecehkan, direndahkan, hanya obyek semata.

Andai ... yang melakukannya Ishak dan bukan Abid, jelas akan terasa berbeda. Tapi, semua sudah tamat. Salma hanya bisa mengenang indahnya cinta di antar dia dan Ishak tanpa boleh kembali berharap. Siapalah Salma sekarang? Dia sudah bukan gadis lagi, jauh jika dibanding Ishak.

"Kutunggu Jandamu" hanyalah lelucon yang tak mungkin terjadi, bukan?

Salma keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambut dengan handuk. Tubuhnya masih berbalut kimono mandi yang talinya diikat sembarangan. Satu demi satu, air menetes dari ujung rambutnya yang belum kering sempurna.

Ia tengah menekan-nekan kaki pada keset diatomite di depan kamar mandi saat mendengar suara handle pintu. Cepat-cepat ia menyampirkan handuk pada dada. Tapi sial, handuknya terjatuh dan ia hanya bisa mematung menatap Abid yang telah membuka pintu.

"Oh, sudah mandi," Abid tersenyum. Ia masih berdiri di ambang pintu dengan tangan kanan yang memegang handle, "ya, sudah kalau begitu, saya ke masjid lagi. Tadi, saya takut sampean belum bangun." Tanpa menunggu jawaban Salma, suaminya langsung menutup pintu dan pergi.

Salma masih mematung sesaat, sebab terkejut sekaligus heran. Seingatnya, semalam ia memakai baju tertutup. Malam-malam sebelumnya juga. Kadang, hanya membuka hijab saja tapi pakaiannya selalu lengkap. Sebab, saat Abid memaksanya untuk berhubungan badan selalu sebelum jam sembilan. Tak terlampau malam, kan? Tapi, mengapa sikapnya berbeda dibanding tadi?

Perlahan, Salma menjatuhkan pandangan ke bawah dan mengamati tubuhnya. Bagian atas piyamanya tak tertutup sempurna, menampilan belahan dada yang belum terbalut pakaian dalam. Anehnya, Abid tak memperhatikannya, ia malah bersikap biasa saja dan langsung pergi.

Jadi, apa sebenarnya yang membuat Abid bisa terbakar hasrat empat hari belakangan? Atau apakah keinginan itu hanya muncul sekali sehari dan akan cukup jika sudah tersalurkan?

Salma berdecak, lalu melangkah ke arah lemari. Lebih baik segera berganti pakaian dan salat berjamaah di musala. Ia pusing dengan pemikirannya sendiri.

***

Salma meminta tolong pada seorang santri agar membuat kopi untuk Abid. Sebab, pagi ini dia ingin segera menyelesaikan urusan ponsel. Ternyata, ponselnya sudah dikembalikan pada pengaturan pabrik, semua data sudah diatur ulang pada mode dasar. Hilang. Bahkan yang tak kalah mengejutkan, kartu sim yang terpasang ternyata bukan lagi nomornya yang dulu. Itu kartu baru dengan nomor berbeda.

Karenanya, Salma ingin memulihkan kembali akun-akun media sosialnya yang sudah tak dibuka hampir sembilan bulan lamanya. Dia bosan dengan kehidupannya belakangan, apalagi sudah tak ada Husna. Semoga rencananya untuk boyongan tak benar-benar terjadi.

Salma berdecak seraya menghempaskan diri pada ranjang. Ia tidur tengkurap dengan dua siku sebagai penyangga. Tak sampai lima belas menit ia telah berhasil mendaftarkan nomor baru tersebut. Lantas, mulai memulihkan email dan mengunduh berbagai aplikasi media sosial yang dibutuhkan.

Belum juga selesai mengunduh, seorang mbak ndalem mengetuk pintu kamar. Membuat Salma beranjak dan membukakan pintu. Kopi dan kudapan pagi untuk Abid. Merepotkan sekali.

Sepeninggal santri itu, Salma kembali sibuk dengan ponselnya. Yang pertama ia pulihkan adalah aplikasi media sosial instagram, di mana dia biasa bermain-main.

Perlu beberapa menit sampai akunnya siap. Benar saja, ratusan  pesan langsung telah masuk ke akunnya dan sebagian besar dari Ishak.

Seketika, Salma beranjak dan duduk bersila di ranjang. Ia merasa dadanya sesak. Tangannya gemetar dengan jantung berdentum-dentum. Perasaannya tak karuan kali ini. Apakah ini senang, cemas, takut, atau apa?

Salma tak mampu membuka pesan-pesan itu. Ia hanya menatap layar ponselnya dalam waktu lama. Setetes bening pun muncul di sudut matanya. Ada resah dan gundah mencengkeram hatinya. Rasanya, ia sangat hina bagi lelaki sebaik Ishak.

Memejam dan menghela napas dalam, Salma berupaya menghalau gundah. Ia harus berani membuka pesan itu. Paling tidak, ia memberi kabar dan mengucap salam perpisahan meskipun ini sudah sangat terlambat.

Perlahan, ia membuka mata. Lantas, dengan ibu jari gemetar, ia membuka pesan itu. Lebih dari seratus pesan dari Ishak. Salma tak bisa membacanya denga jelas. Ia terlampau panik. Hanya beberapa tulisan yang langsung tertangkap penglihatannya, SweetBee, rindu, jawablah, di mana, cinta, selamat. Dan ia menangkap penanda waktu pada pesan. Terakhir kali pesan itu mendarat ... seminggu yang lalu.

Ishak masih mengingatnya bahkan setelah menghilang berbulan-bulan lamanya.

Lagi, Salma memejam, berusaha menenangkan hatinya. Lantas, ia kembali membuka mata perlahan. Pesan terakhir Ishak mampu ia baca jelas, "SweetBe, aku nggak nyalahin kamu. Aku nggak akan pernah bisa membencimu."

Oh, hati Salma rasanya pecah berkeping-keping. Ia tahu Ishak memang sebaik itu. Cintanya pada Salma memang sedalam itu. Ia merasa sangat berdosa pada kekasih hatinya. Bahkan, pengkhianatannya seolah-olah tak akan bisa termaafkan.

Tangan Salma bergetar, air mata jatuh berderai. Ia tak mampu menahan isak tangisnya. Dadanya begitu sesak.

Tapi, di tengah kepedihan yang ia rasa, suara Abid mengejutkannya. Membuat ponselnya jatuh pada ranjang. Cepat-cepat ia menyeka air mata dan memasang senyum palsunya.

Abid melangkah masuk kamar dengan sebuah kitab di tangan. "Sampean ... kenapa, Ning?" tanyanya cemas seraya mempercepat langkah mendekati Salma.

"Ng-nggak, nggak apa-apa." Cepat-cepat Salma menarik ponsel dan menyembunyikannya di bawah pahanya.

"Tapi, sampean ... menangis." Abid sudah duduk di sebelahnya. Ia meletakkan kitab pada nakas.

"Beneran, nggak apa-apa," ujar Salma berusaha meyakinkan, "i-itu kopi sampean. Cepat diminum biar nggak dingin." Salma menunjuk ke arah kopi.

Abid mengangguk. Ia beranjak untuk mengambil kopi setelah sebelumnya kembali menoleh ke arah Salma dengan tatapan cemas.

Semalam, bahkan dini hari tadi, Salma masih memiliki secuil simpati pada Abid. Tapi mengapa sekarang rasanya tak bersisa sama sekali. Yang tersisa hanyalah kebencian dan rasa muak. Ia bahkan ingin berteriak mengusir Abid.

"Pergi, kau! Dasar lelaki egois!"

Tapi tentu saja, ia tak mampu mengutarakannya. Ia hanya mendapati dirinya menatap punggung sang suami dengan tatapan tajam dan napas memburu.

Lelaki di hadapannya inilah penghancur terbesar kehidupannya. Bagaimanapun juga, Salma harus bisa lepas darinya. Baik ia bisa kembali bersama Ishak, atau hanya sendiri.


Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang