Dua Puluh

210 34 4
                                    

Rudapaksa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rudapaksa. Abid telah melakukan rudapaksa. Ia berdalih semua itu merupakan hak sebagai suami.

Bukankah Salma telah meminta agar semua dijalani perlahan? Tapi, mengapa Abid seegois itu? Jahat.

Salma menggosok-gosokkan shower puff dengan kasar pada kulit. Busa memenuhi tubuhnya. Sangat, sangat banyak cairan sabun yang ia tuang tadi. Bahkan, mungkin terlampau banyak. Hampir sepertiga kemasan.

Air hangat mengucur dari kran shower. Menimbulkan suara gemericik. Hari masih sangat dini. Hanya terdengar suara pujian lirih dari toa masjid.

Tadi, ia masuk kamar mandi segera setelah bangun dari tidurnya. Tanpa disadari, ternyata ia terlelap cukup nyenyak.  Pasalnya, saat ia bangun tadi, Abid sudah tak di kamar. Sepertinya, ia telah berangkat ke masjid.

Untuk beberapa saat, Salma masih sibuk dengan shower puff yang mulai berkurang busanya sebab guyuran air. Lantas, ia terduduk pada lantai kamar mandi, di bawah kucuran air hangat dengan air mata berderai dan hati yang kembali remuk.

Rasanya, Salma telah menjadi pengkhianat. Ia telah mengkhianati Ishak.

Tahu, Salma sangat tahu bahwa Abidlah suaminya. Menurut aturan agama pun dia memang berhak. Tapi, dengan cara memaksa seperti semalam, apakah merupakan adab yang baik? Bukankah suami itu seharusnya bersikap lembut terhadap istri? Bukannya egois dan pemaksa. Bagaimana bisa jatuh cinta jika yang Salma rasakan adalah kekasaran dan keegoisan?

Semalam, Salma tak mampu menolak. Meskipun rasanya sangat tak nyaman, tapi Abid tetap memaksa. "Saya adalah suami sampean, Ning. Saya berhak atas hal ini. Dan sepertinya, saya nggak perlu menerangkan kembali bagaimana aturannya. Sebab pasti sampean sudah tahu jelas."

Salma masih bisa ingat dengan jelas bagaimana bringasnya Abid semalam. Bagaimana deru napasnya yang menerpa wajah Salma. Bahkan rasanya, tatapannya tak seperti Abid yang biasa. Pandangan tajam yang seketika menyapu seluruh tubuh. Membuatnya bergidik ngeri. Apakah setiap lelaki yang terbakar hasrat akan berubah menjijikkan semacam itu?

Tidak, Ishak tak mungkin seperti itu. Ishak itu lembut dan penyayang. Dia pasti melakukannya dengan perlahan agar Salma nyaman.

Andai ... yang semalam bukan Abid, tapi Ishak.

Salma masih tenggelam dalam tangisnya ketika terdengar ketukan pada pintu kamar mandi.

"Belum selesai, Ning? Sudah Subuh."

Itu suara Abid. Mengapa suara itu sekarang terdengar ramah dan lembut?

Salma kembali teringat sesaat setelah mereka usai bercinta semalam. Ya, Abid memang bersikap lembut kala Salma meringkuk di ranjang sebab menahan perihnya hati. Abid merapikan rambutnya, memasangkan selimut, bahkan menawarkan bantuan untuk membenahi baju. Dan sikap lembut itu, alih-alih membuatnya bersimpati, malah semakin memperjelas rasa bersalah dan kerinduan pada Ishak.

Salma mematikan kran shower. "Iya, sudah. Sampean berangkat saja ke masjid," jawabnya dengan volume yang sedikit ditinggikan, tapi dengan intonasi suara normal. Ia berusaha membuat suaranya terkesan biasa.

Jangan sampai Abid tahu kemarahannya. Sebab, izin memakai ponsel belum didapat. Ia harus berhasil membuat Abid mengembalikan ponselnya.

"Oh, oke kalau gitu. Soalnya saya langsung ngisi sorogan bakda ngaji Subuh. Jadi nanti pulangnya pas udah terang."

"Iya. Berangkat aja." Salma beranjak. Ia kembali menyalakan kran shower setelah terdengar ucapan pamit dari suaminya.

Cepat-cepat Salma menyelesaikan mandinya. Ia berencana mengikuti salat berjemaah di musalla perempuan. Semua harus tampak normal. Salma harus tampak sebagaimana pengantin baru biasanya. Agar, tak kembali dicurigai.

***

Mentari sudah muncul kala Salma turun dari musalla. Untuk menuju ndalem, ia harus melewati pintu belakang yang tersambung dengan dapur mini tempat tinggal mereka.

Tampak Bu Nyai Saudah tengah menjerang air dan memanaskan penggorengan.

"Salma," panggil Bu Nyai Saudah kala putrinya melewati pintu dapur. Membuat Salma seketika menghentikan langkah dan menjawab panggilan itu, "... kamu nggak mau bikinin kopi buat suamimu?"

"Oh, Mas Abid masih ngisi sorogan pagi."

"Oh, ya, sudah. Kamu taruh dulu mukenahnya. Habis ini bantuin Umma nyiapin kudapan pagi dan kopinya Abuya. Sekalian kamu nyiapin buat Nak Mas."

"Inggih," jawab Salma seraya meneruskan langkah ke kamarnya.

Huft ... menyiapkan kudapan pagi? Merepotkan sekali. Tapi, andai persiapan ini untuk Ishak, pasti akan terasa sangat manis.

Rasanya, Salma tak akan tahan terus seperti ini andai bukan karena janji Abid tempo hari, "Saya belum bisa mengambil keputusan sendiri, Ning. Tapi, saya bisa membujuk Abah Yai agar memberi izin. Untuk sementara ini, sampean bisa pakai HP saya."

Terlalu penurut. Abid itu terlalu penurut sampai-sampai tak punya pemikiran sendiri.

Beberapa menit kemudian, setelah usai merapikan mukenah, Salma kembali ke dapur seperti pesan sang ibu.

Di dapur, ia membantu Bu Nyai Saudah. Pagi begini, masih belum ada mbak ndalem yang turun membantu. Mereka biasanya baru datang setelah sorogan pagi, sekitar jam setengah tujuh.

Sambil sibuk menggoreng dan menyiapkan kopi, mereka bercakap-cakap santai. Membahas masalah-masalah ringan. Hingga, tanpa terasa bahasan sampai pada sakitnya Husna.

"... jadi, ya, kalau ndak sembuh-sembuh, terpaksa Husna harus boyongan." Bu Nyai menata pisang goreng pada piring

"Duh, masak separah itu, Umma?" Salma cemas mendengar ucapan ibunya. Ia yang bertugas menjaga pisang di penggorengan.

"Sakit asam lambung itu memang kayak sepele. Tapi, banyak orang meninggal gara-gara penyakit ini. Apalagi, Husna sekarang harus benar-benar jaga makan."

"Tapi, apa mboten eman? Sisa 4 bulan lagi mau wisuda alfiyah, loh." Pisang pada wajan sudah kecokelatan. Salma meniriskannya satu per satu.

"Ya, ndak apa-apa. Dia bisa nyusul kapan-kapan," Bu Nyai Saudah berbalik menghadap Salma. Dia menghentikan kegiatannya.

Hadir selaksa cemas di hati Salma mengingat adik sepupunya. Dia masih sangat merasa bersalah pada Husna. Terlebih lagi jika mengingat semalam ... Ah, rasanya ini tak benar. Tapi, faktanya memang semacam ini.

Bu Nyai kembali meneruskan kegiatannya. Kini dia mengambil cangkir dari lemari dapur yang menempel pada tembok. Lantas, menatanya pada meja beton dapur. "Oh, ya, ujian kelulusan kamu sisa ndak sampai dua bulan lagi, kan?"

"Inggih," ujar Salma seraya kembali memasukkan pisang ke wajan.

"Syukurlah. Artinya, sekitar tiga bulan lagi wisuda, ya?" Bu Nyai Saudah kini kembali menghadap Salma dan menghentikan kegiatannya kembali.

Salma mengangguk. "Inggih. Alhamdulillah."

"Nanti, kamu bicarakan sama Nak Mas Abid urusan meneruskan kuliah. Umma dan Abuya manut saja pada keputusan kalian berdua." Bu Nyai berbalik dan meneruskan kembali kegiatannya menata pisang goreng pada piring.

Salma tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Hadir ragu dalam hatinya. Akankah Abid memperbolehkannya meneruskan pendidikan? Pasalnya, kampus impian Salma adalah kampus di mana Ishak kini tengah belajar. Salma ingin menekuni ilmu lain. Selama ini, ia hampir melulu belajar ilmu agama saja. Lagipula ... dia bisa kembali bertemu Ishak. Mungkin, mereka bisa menjadi teman diskusi yang baik. Hanya teman. Tentu saja.

Titik BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang