Sepertinya, Abid mulai curiga. Dan ini membuat Salma kembali harus terpenjara. Oke, baiklah, terpenjara memang hiperbola. Tapi, memang rasanya seperti itu, kok. Ia kembali kehilangan kebebasan selapis demi selapis.
Dimulai malam itu, saat hari-hari terakhir ujian. Abid tiba-tiba menghampirinya di lantai dua. Bukan hanya menengok sekilas, bahkan ia ikut tidur di sana dengan alasan kangen dan tak ingin Salma kesepian. Yang benar saja. Sok romantis. Padahal, sudah jelas dia belum benar-benar mampu melupakan Husna, kan?
Selanjutnya, sebab ujian telah usai, Salma harus kembali tidur di kamar. Seranjang lagi dengan lelaki yang membuatnya muak. Tapi untungnya, kali ini sudah tidak ada pemaksaan lagi. Alasan nyeri dan tak nyaman ternyata cukup ampuh. Selain itu ... sepertinya memang penghentian konsumsi jamu pemberian Bu Nyai Saudah juga ikut andil besar.
Ujian usai, tak ada kewajiban belajar lagi. Dan yang perlu disyukuri adalah, usainya ujian kelulusan berarti dimulainya ujian santri non kelas akhir. Artinya, Abid harus disibukkan dengan kegiatan mengawasi para santri dan mengoreksi hasil ujian.
Seperti malam ini, saat Abid harus melaksanakan kewajibannya, Salma bisa mencuri waktu bersama ponselnya.
Di ranjang, Salma duduk bersandar dengan bantal di pangkuan. Di sebelahnya, buku fiksi hadiah Ishak yang tadi ia baca saat Abid masih di kamar. Buku-buku itu adalah penolong. Selagi ada Abid, Salma berusaha tampak sibuk membaca. Ini mampu engurangi kecurigaan secara signifikan. Tapi, segera setelah suaminya keluar, ia menghubungi Ishak. Sayangnya, mereka hanya bisa mengobrol sebentar. Sebab, Ishak harus menghadiri rapat panitia acara pameran buku.
"Ya, udah, Kak. Sukses terus, ya?" ujar Salma lirih. Jujur saja, ia tak rela obrolan itu berakhir.
"Kamu baik-baik, ya, Salma?"
Salma hanya mengangguk. Dia tak mampu menjawab. Bahkan untuk mengakhiri obrolan via telepon pun sebegitu beratnya.
Salma mendesah setelah panggilan diakhiri. Ia meletakkan ponsel pada bantal lain di sebelahnya. Lalu, meraih buku fiksi hadiah dari Ishak. Seharusnya, beberapa puluh menit sebelum Abid datang, bisa ia gunakan untuk mengobrol dengan sahabat terbaiknya.
Untuk beberapa menit, Salma tenggelam dalam kisah yang ia baca. Kisah cinta manis yang menghangatkan jiwa. Hingga, dengungan ponsel menyentakkannya. Ia lekas-lekas menutup buku dan meraih ponselnya.
Ah, panggilan telepon dari seorang kawan baru yang ia kenal melalui perantara Ishak. Meskipun sempat kecewa karena bukan Ishak, tapi Jeni—kawan barunya—merupakan kawan yang asyik.
Salma langsung menjawab panggilan itu. Mereka mengobrol seputar rencana bisnis. Sebab, Jeni merupakan supplier tangan pertama berbagai produk perawatan wajah dan tubuh. Ya, Salma ingin kembali aktif berbisnis.
Jeni itu orangnya supel dan asyik. Tak sampai dua minggu mengenal saja, Salma sudah merasa nyaman berlama-lama mengobrol dengannya. Percakapan yang awalnya hanya seputar pekerjaan perihal rencana peluncuran produk perawatan wajah, kini berubah perlahan, membahas hal yang lebih pribadi. Tanpa sadar Salma mencurahkan isi hatinya perihal bagaimana tertekannya ia selama ini. Harus menjadi istri lelaki yang sama sekali tak dicintainya.
"Ya ampun Salma .... Kasian kamu, Beib. Pasti stres banget. Kalau aku, pasti udah gila kali, ya?"
Salma mendesah berat. "Risiko jadi anak kiai, Sis. Ya, gini, ini. Capek. Nggak bisa jadi diri sendiri. Apa-apa harus ngikut. Beda dikit dianggep ngebantah."
"Pantesan si Ishak mohon-mohon banget biar aku bisa bantuin kamu. Untung kamu punya temen kayak dia."
Salma hanya menjawab denga helaan napas dalam dan embusan cepat.
"Tunggu! Jangan-jangan ... kamu dan Ishak itu ...?"
Salma kembali mendesah dan tertawa miris. "Seperti yang kamu duga."
"Oh, ya ampun .... Ortu kamu kenapa gitu banget, sih? Kurang apa si Ishak coba?"
"Nggak tahu. Capek mikirnya. Aku stres banget. Udah nikah tiga bulan, dan semakin hari yang ada semakin tertekan."
***
Salma tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia yang tadinya duduk, seketika beranjak dari bibir ranjang, menatap sang suami tak percaya. Bagaimana mungkin bisa mempromosikan produknya tanpa mengunggah foto diri pada media sosial? Abid keterlaluan.
"Tapi, foto sendiri itu lebih meyakinkan, Mas." Salma mengernyit menatap Abid. Lelaki ini semakin membuat Salma muak.
Abid masih bergeming dan duduk pada kursi kayu di sebelah ranjang. Ia membalas tatapan Salma tak kalah tajam seraya menggeleng pelan. "Sekalinya sampean mengunggah foto di media sosial, lalu ada yang memuji, saya jamin, pasti akan ketagihan, Ning."
"Saya foto bukan iseng, Mas. Ini kepentingan bisnis. Bukan pamer kecantikan yang nggak ada gunanya." Hampir, Salma hampir memekik sebab kesal.
"Berbisnis nggak harus tabarruj, kan?" Pertanyaan retoris yang disampaikan dengan sikap tenang itu membuat Salma semakin kesal.
"Tabarruj? Ya ampun ... bisa-bisanya sampean menuduh saya yang bukan-bukan." Salma bersedekap. Ia berdecak dan membuah muka. Napasnya memburu, menahan amarah yang semakin membuncah.
"Bagaimanapun juga, sampean adalah istri saya. Amanah. Sebagai suami, sebisa mungkin saya akan menasihati jika ada yang melenceng."
Salma tak mampu menerima secuil pun alasan Abid. Semua rasanya terlalu mengada-ada dan dibesar-besarkan.
"Saya bukan lelaki dayyuts, Ning. Saya harus cemburu jika sampean sampai begitu." Abid beranjak perlahan dari kursi.
Salma tersentak. Lagi-lagi Abid mengada-ada. "Cemburu?!" Salma menatap Abid seraya tersenyum miring, "Jangan mengada-ada, deh. Saya ini nggak bodoh. Di antara kita masih belum ada perasaan cinta sama sekali, kan? Udah, deh, ngaku aja."
"Apa perasaan romantisme semacam itu lebih penting daripada rasa tanggung jawab dan penghambaan kepada Allah?"
Salma kembali tersentak. Ia berdecak lantas kembali berpaling. Penghambaan katanya? Pengabdian macam apa dengan jalan menyakiti istri? Bukankah Islam mengajarkan agar suami bersikap lembut dan kasih sayang? Sementara Abid sangat kasar dan mengekang.
Abid mendesah cepat. Ia mendaratkan tangan pada pundak Salma. Tapi, seketika Salma menepisnya. "Ya sudah. Sampean sedang kesal. Pikiran dan pandangan kita sedang nggak sejalan. Lebih baik kita sudahi saja perselisihan ini. Kita ngobrol lagi kalau sudah nggak emosi."
Salma tak menjawab, ia masih bersedekap dan memalingkan muka.
Dua tepukan pelan pada pundak Salma, lantas Abid berlalu keluar kamar.
Seketika, Salma menjatuhkan diri pada ranjang. Ia membenamkan wajah dan memekik sebab kesal.
Menyebalkan sekali. Lelaki kolot sok alim. Hidup Salma memang sudah benar-benar tamat.
Untuk beberapa puluh menit, Salma tenggelam dalam kekesalan dan amarah. Ia menangis sambil meringkuk di ranjang. Rambutnya pun acak-acakan. Scrunchie yang tadi dipakai, terlepas entah ke mana.
Dosa apa yang telah membuat Salma mengalami hidup menyiksa macam ini? Andai ia bisa melarikan dan terbebas dari kungkungan yang sangat menekannya, sungguh tak terhingga bahagianya.
Tapi, cara apa yang bisa ia perbuat untuk lepas dari semua? Terutama, lepas dari jeratan pernikahan bodoh ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Balik
RomanceSelama ini, Abid hanya ingin menjadi santri patuh dan berbakti pada sang Kiai. Karenanya, ia bisa melakukan apa saja demi pengabdiannya kepada gurunya itu, termasuk mengorbankan perasaan dan mengabaikan pemikirannya sendiri. Namun, apakah kepatuhann...