Sorot mata tajam Sherly mengarah pada lelaki beruban yang mengamatinya tanpa ada rasa takut. Jikalau tidak ada dinding pembatas kaca di depannya, mungkin Sherly sudah melempar tamparan telak dan pukulan ke arah wajah berkeriput itu.
Dia tak gamang akan dosa karena menghajar orang tua atau tidak bersikap sopan pada petinggi perusahaan PT. Asa Sehat yang sudah menjadi tahanan kota. Sayang, kenangan mendadak menerjang kepala Sherly lalu memutar sebuah kilasan bahwa Gatot pernah bersikap bak seorang ayah.
Sherly yang sudah tak punya sosok ayah sejak kelas satu SD pun teramat bahagia dengan kehadiran Gatot saat itu. Sosok ramah, murah senyum, dan suka membawakan buah tangan kepadanya menjadi nilai tersendiri di hati Sherly.
Apalagi ketika kenaikan kelas, tak sungkan-sungkan Gatot memberikan hadiah seperti sepeda atau sepatu baru. Dia merasa seperti memiliki keluarga utuh apalagi ibunya juga tak perlu susah payah kerja membanting tulang sampai malam hanya untuk membelikannya keperluan sekolah.
Ah ... kenapa jadi ingat lagi, batin Sherly kesal.
Kenangan indah yang sempat menghangatkan hatinya berganti dengan potongan kejadian di mana Sarah dipermalukan di depan umum yang berakhir dengan pemutusan hubungan kerja. Walau sebatas sebagai pegawai karaoke, Sherly tahu tidak mudah mendapatkan pekerjaan apalgi dengan status janda Sarah.
Alhasil, setelah hubungan gelap ibunya dengan Gatot terbongkar, Sarah sempat kesulitan mencari pekerjaan baru. Seakan semua tempat di Jakarta melarang wanita perebut suami orang bergabung dengan mereka.
Di dalam ruang besuk seperti ini, harusnya udara masih bisa keluar-masuk untuk menjernihkan pikiran kalut Sherly. Namun, pada kenyataannya tidak, di sini atmosfernya makin lama makin nipis, menyisakan rasa sesak bercampur amarah yang sudah dipendam selama bertahun-tahun.
Orang di depannya tak akan pernah tahu bahwa kehidupan Sherly setelah Eveline mengamuk hari itu, dia harus berjuang seorang diri di Surabaya sebagai bentuk kemurkaannnya pada Sarah, mengutuk ibunya sendiri kenapa mau saja menjadi simpanan pengusaha dengan alasan agar kehidupan mereka bisa lebih baik. Meskipun Barra sudah mendamaikan Sherly dan Sarah tetap saja hubungan ibu-anak itu tak sedekat di masa lalu.
Dia mengumpat pelan, memaki diri sendiri kenapa harus memikirkan memori masa lalunya yang cukup suram. Sherly menarik napas sejenak memenuhi relung dadanya yang terasa kosong. Ah, rasanya sebanyak apa pun oksigen yang masuk tak akan bisa melegakan apa yang dirasakan Sherly saat ini. Seraya melipat tangan di dada dan menyandarkan punggung ke kursi dia berkata,
"Om kan yang mengirim mata-mata buat mencelakai saya?"
Mulut Gatot terbuka lebar, tak mengira kalau tiba-tiba dituduh seperti itu oleh anak ingusan seperti Sherly. Dia tergelak sambil geleng-geleng kepala merasa sia-sia sudah meluangkan waktu untuk menemui mantan kekasih Eric. Lantas, Gatot menirukan gaya duduk gadis itu, menaikkan sebelah alis tebalnya. "Untuk apa saya kirim mata-mata?"
"Untuk apalagi kalau bukan karena ... Eric?" Sherly hampir keceplosan kalau dia salah satu pengacara yang melindungi whistleblower.
"Eric? Kenapa harus Eric? Memangnya saya pernah melarang kamu berhubungan dengan anak saya? Sekali pun saya tahu apa saja yang kalian lakukan di luar sana, Sherly," terang Gatot. "Kalau memang hal yang kamu bicarakan tidak cukup penting, lebih baik pulanglah, Nak. Mamamu pasti menunggu."
Ketika Gatot hendak beranjak, Sherly berseru, "Gita Malam! Dia sudah mulai mencari kebenaran, Om!"
Lelaki itu kembali mendudukkan diri sambil menghela napas panjang, bersandar pada kursi berbarengan dengan seorang penjaga tahanan menginterupsi bahwa pembicaraan mereka akan berakhir sepuluh menit kemudian.
Sherly mendengus kesal seraya melirik tajam membuat penjaga tahanan berperawakan kerempeng itu salah tingkah. Setelah pintu tertutup barulah Gatot kembali berucap, "Lalu? Kalau dia tahu kebenarannya lantas kamu mau apa? Menuntut saya?"
"Jangan berbelit-belit deh! Kenapa Om dan Tante Eveline tidak jujur kalau mau menghancurkan keluarga saya lagi?" Sherly tersulut emosi hingga tarikan napasnya semakin cepat. Urat nadinya tercetak jelas dengan mata memerah menahan air mata. Detik berikutnya, kristal bening yang sudah bergumul di pelupuk mata meluncur deras membanjiri pipi.
"Salah kami apa sih Om! Saya enggak pernah tuh minta uang sama Eric meski dia bisa memberikan apa yang saya inginkan. Mama juga enggak pernah tuh memeras harta Om sekali pun mau dijadikan istri simpanan! Mama juga enggak marah sama Om walaupun sudah dipermalukan oleh Tante Eveline di Gita Malam! Kami diam! Kami memilih menghilang dari kehidupan kalian! Apa belum puas?"
Sherly mendobrak meja hingga dinding kaca itu bergetar kala rasa murka yang membelenggu berhasil meledakkan diri. Ruangan ini tiba-tiba terasa makin sempit dan mengimpit dada Sherly sampai suara napasnya ngik-ngik. Sorot mata berkontak lensa itu makin nyalang sementara Gatot memandang balik dengan ekspresi yang tak dapat dibaca.
Tak sempat menimpali ucapannya, Sherly berlalu begitu saja tanpa sebuah kata perpisahan dan menyisakan jejak wewangian yang sudah dihafal Gatot sejak anak Sarah itu remaja. Gatot menghela napas, membuang semua beban yang datang bertubi-tubi, berharap kalau masalah ini segera melayang menuju angkasa tanpa batas. Dia justru berpikir keras kenapa Eveline tidak marah sekaligus menceraikan dirinya setelah tahu Gatot bermain belakang dengan ibu kekasih anak mereka.
"Menarik," gumam Gatot dengan mata berkilat dan sudut bibir terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hard Desire (END)
عاطفية#Project Lawyer Series Mengira hubungannya benar-benar berakhir, Sherly Rosalie bertemu Eric Prasaja dalam setiap persidangan. Perdebatan panas di ruang peradilan akhirnya membawa kisah cinta yang dulu padam kini berkobar. Sayang, cinta yang berkob...