ABP 1

397 25 5
                                    

"Si bos ngadat." Keluh Levi.

"Ya lu, udah tau usaha ini mau ditutup nekat malah rekrut kasir baru."

"Kan ditutupnya juga bulan depan, karena kita masih hutang kerjaan ke customer. Lagian gue berasa berat. Ya kalau yang lain mungkin bisa aja direkrut si bos ke usaha barunya. Tapi kita? Skill kita cuma ngedesign doang."

"Iya sih, usaha si bos yang ono kan nggak perlu design-design ya."

"Iya itu."

"Permisi." Ucap seseorang di ambang pintu masuk ruko yang disulap menjadi kantor digital printing itu.

"Ehh, Ra. Ayo sini." Levi melambaikan tangan saat mengetahui Tiara, orang baru yang ia rekrut sebagai kasir, yang datang.

"Iya, Kang." Angguk Tiara.

"Kenalin, ini Tiara, kasir baru kita." Levi memperkenalkan Tiara pada Fardan. Satu-satunya teman kerja Levi yang masih bertahan. Sedang yang lain, sudah mundur cantik dan ganteng sejak beberapa bulan yang lalu. Termasuk kasir yang kini posisinya akan diisi Tiara.

"Tiara." Tiara mengulurkan tangannya.

"Fardan." Sambut Fardan.

"Sesuai seperti yang udah dijelasin kemarin. Kita di sini lagi krisis orang. Jadi cuma kita berdua nih. Sama satu orang lagi di bagian cetak, namanya Anto. Tapi hari ini izin masuk siang. Nah kamu, tolong bantu ya buat di kasir."

"Iya, Kang."

Tiara memandang sekitar. Ada sisa kejayaan di kantor tersebut. Terlihat dari jejak-jejak order customer di sana. Tapi menurut Levi, usaha ini kini tengah di ujung tanduk. Siap-siap gulung tikar. Dan Tiara hanya akan bekerja untuk satu bulan saja. Tiara tidak keberatan, ia bersyukur bisa bekerja meski hanya satu bulan. Daripada diam tanpa menghasilkan.

Tiara baru saja kembali ke kota Sukabumi. Setelah sebelumnya ia hijrah beberapa tahun di Bogor. Selepas wisuda waktu itu, ia diajak pindah ke Bogor oleh ibunya. Dan setelah ibunya meninggal, Tiara memutuskan kembali ke Sukabumi. Tempat kelahirannya.

"Si bos."

"Ra, langsung ke meja kamu aja. Kerja. " Titah Levi  "Rapi-rapi, nyalain komputer. Pokoknya kerjain apa yang bisa kamu kerjain aja." Tambahnya.

"Iya, Kang." Angguk Tiara yang langsung menyibukkan diri. Terlebih kebetulan meja kasir memang agak berantakan.

"Pagi, Ko."

"Pagi." Sahutnya dingin. "Anak baru udah datang?"

"Udah, itu." Tunjuk Levi pada Tiara yang sedang berjongkok memungut beberapa kertas resi di bawah meja.

"Ntar-ntar koordinasi sama saya. Jangan main putusin." Keki Ryan, sang bos yang tampak sudah sangat tidak semangat.

"Iya, maaf. Ko."

"Dia udah tahu kerja cuma buat satu bulan aja?"

"Tahu, ko." Sahut Levi. Ryan menelisik perempuan yang tengah rapi-rapi meja dari ceceran kertas resi. Ryan pun berlalu ke ruangannya begitu saja.

Di ruang kerjanya Ryan menarik nafas panjang. Harusnya dia senang saat tahu Anita hamil. Tapi entah mengapa ia malah sebaliknya. Malah mengutuki dirinya sendiri bisa khilaf malam itu. Khilaf? Khilaf atau memang kewajiban? Batinnya.

Ryan kembali beranjak. Ia paling tidak betah di kantor ini. Menurutnya usaha inilah yang menyebabkan dirinya dan Anita harus bertemu. Andai aku nggak buka usaha ini, aku pasti nggak harus menikahi Anita.

Ryan bergegas menuruni anak tangga saat hendak memanggil Levi, tatapnya bertemu dengan tatap yang selama ini ia cari, yang selama ini ia rindu.

"Tiara?" Tiara yang menyadari sosok itu ada di hadapannya hanya bisa membulatkan mata dan membisu. "Tiara?!" Ulangnya seolah memastikan dirinya sedang tidak berhalusinasi.

"Ka-k Ry-an?!" Terbata Tiara mengeja nama laki-laki itu. Ryan yang mengetahui Tiara di hadapannya memang nyata dan masih ingat dirinya itu pun tersenyum lebar.

"Kok kamu bisa ada di sini?"

"Ko, ini Tiara. Kasir baru kita." Ujar Levi yang baru saja kembali dari warung kopi sebelah kantor Ry Digital Printing, dan kini berdiri tepat di belakang Ryan. Ryan menoleh ke arah Levi, Levi mengangguk.

"Ke ruangan saya sebentar." Pinta Ryan pada Tiara. Refleks Tiara menggeleng. Levi yang mengetahui itu spontan membulatkan mata dan memberi kode agar Tiara patuh pada Ryan.

Mimpi apa gue semalam, baru dua hari di Sukabumi lagi, langsung ketemu dia.

Ryan menaiki anak tangga dengan semangat. Tidak seperti tadi, mendadak wajahnya kini ceria.

"Hey, ayo." Ajak Ryan saat melihat Tiara ragu masuk ke ruangan bosnya itu.

"Iya, Pak." Lirih Tiara serba salah.

"Pak? Sejak kapan saya jadi bapak kamu? Biasanya juga panggil kak."

"Iya." Cicit Tiara.

"Masuk." Ryan membukakan pintu ruangannya lebar-lebar.

"Iya."

"Ra.... Kamu ke mana aja?" Tanya Ryan to the point saat kini mereka tengah berada di ruangan Ryan.

"Nggak ke mana-mana."

"Saya kan udah bilang, tunggu saya. Kamu kok malah ngilang."

"Maaf, saya dipanggil ke sini untuk masalah kerjaan atau...."

"Kamu baik-baik aja kan pasca malam itu?" Potong Ryan. Tiara gelagapan.

"Ba-ik. Maaf saya sepertinya harus kembali bekerja."

"Di mana rumah kamu, saya mau ketemu orang tua kamu."

"Nggak usah, Ko." Akhirnya Tiara memanggil Ryan memakai sapaan itu. Sama seperti Levi dan Fardan. "Nggak usah." Tegas Tiara terlebih saat menyadari ada cincin nikah di jari Ryan. "Maaf, Ko. Boleh saya lanjutkan pekerjaan saya dulu?!"

"Yakin kamu nggak apa-apa pasca malam itu?" Tekan Ryan. Bagaimana aku nggak yakin, Anita saja sekali dibuahi langsung hamil. Bisa jadi hal serupa pun terjadi pada Tiara bukan? Batin Ryan. "Jawab."

"Nggak, Ko. Permisi." Cepat-cepat Tiara meninggalkan ruangan Ryan. Hatinya berdebar terlebih kilatan malam itu terlintas. Sama seperti Tiara, Ryan pun secara jelas masih ingat betul kejadian malam itu.

Aku Bukan Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang