ABP 3

155 20 2
                                    

Ryan merasa yakin, ada buah cinta antara dirinya dan Tiara pasca malam itu. Malam yang seharusnya tidak terjadi. Malam yang seharusnya tidak ada sebelum ijab kabul ia ucapkan atas Tiara. Tapi sungguh tidak bisa ia dustai, malam itu sangat indah. Malam itu ia merasa bisa ungkapkan apa yang ia rasa pada Tiara melalui tindakan.

Sebentar, buah cinta. Benarkah buah cinta? Apa Tiara juga punya cinta sama seperti dirinya saat melakukannya. Bukankah Tiara melakukannya hanya karena.... Ryan menggeleng. Dia ingin ingkari itu. Satu yang ingin ia ingat, Tiara juga menikmatinya. Sudah cukup baginya itu.

Ryan yang biasa malas-malasan ke ruko, kini giat. Bahkan dia memusatkan semua aktivitas pekerjaannya dari sana.

"Tumben Ko Ryan betah di sini? Padahal sejak enam bulan lalu rasanya pengen lenyapin ini usaha." Seloroh Fardan pada Levi sembari menyeruput kopi hitam yang dipesan di warung kopi sebelah kantor Ry Digital Printing.

"Udah dapat hidayah kali."

"Emang kenapa pengen ditutup?" Tiara yang tengah mencocokkan resi akhirnya buka suara, ingin tahu ada apa sebenarnya.

"Nggak tau." Levi angkat bahu.

"Nggak untung?" Tanya Tiara lagi.

"Dulu kita tuh jagonya. Tapi semenjak ada kabar si bos mau nikah, dia mulai ogah-ogahan. Bahkan saat customer pengen kita fasilitasi keperluan promosi dan usaha mereka kayak sablon kemasan atau cup, si bos nolak adain mesinnya. Padahal pangsa pasarnya lagi bagus." Cerita Levi.

"Ada usaha yang lebih menjanjikan kali." Tebak Tiara.

"Emang. Si bos usahanya bukan ini aja." Fardan ikut menjawab. Tiba-tiba ponsel Tiara berdering. Tiara meminta izin untuk mengangkatnya terlebih dahulu.

"Halo." Sapa Tiara.

"Halo, Teh." Sahut penelepon, Risa.

"Kenapa, Ris?"

"Ini.... Siena pengen ke Teteh." Adunya.

"Mana Siena nya?"

"Mommy. Aku mau ke Mommy." Terdengar suara anak kecil di ujung telepon sana.

"Ehh udah pulang sekolahnya? Boleh tapi kita ketemu sore ya, kan kerja dulu."

"Nggak mau."

"Kenapa, uang jajannya abis?" Tanya Tiara.

"Pengen ketemu Mommy titik." Rengeknya. Tiara menelan saliva. Itulah Siena, jika ada mau tidak bisa ditolak.

"Ya udah Mbak Risa nya mana?!" Tanya Tiara. Siena menjauhkan ponsel pengasuhnya, disodorkan pada Risa begitu saja.

"Iya, Teh?"

"Siena kenapa?" Tanya Tiara.

"Nggak tau, Teh."

"Ya udah bawa ke kantor Ry Digital Printing atuh ya. Kalau udah di depan kabarin." Putus Tiara yang hapal betul bagaimana Siena. Jika tidak dituruti tidak akan selesai satu atau dua jam, tapi bisa jadi mood nya baru kembali normal jika hari sudah berganti.

"Iya, Teh."

Tiara kembali mengerjakan tugasnya tapi tiba-tiba ia ingin ke toilet bertepatan dengan Siena sampai di depan Ry Digital Printing. Lama menunggu, Siena tidak sabar. Ia akhirnya mengintip ke dalam. Ryan yang hendak menghampiri Tiara melihat Siena yang tampak celingak celinguk itu.

"Lev, siapa?" Tanya Ryan pada Levi.

"Nggak tau, Ko."

"Mamanya mana?" Tanya Ryan sembari membungkuk.

"Kerja."

"Adek sama siapa di sini?" Tanya Ryan yang khawatir Siena tengah tersesat atau terpisah dari orang tuanya.

"Maaf." Risa yang semenjak tadi sibuk dengan ponselnya untuk menghubungi Tiara baru menyadari Siena mulai beranjak masuk.

"Ohh iya. Dikira sendirian." Ryan tampak lega.

"Mommy." Seru Siena saat melihat Tiara yang baru kembali dari toilet. Ryan segera menoleh dan menatap tajam Tiara. Sedang Levi dan Fardan tampak syok.

"Siena. Kenapa? Bukannya pulang? Uang jajan abis?" Tanya Tiara sembari menghampiri. Ryan membisu tapi tatapannya mengekor gerak gerik Tiara dan gadis kecil itu. Gadis kecil yang ia taksir berusia 4 tahun.

"Bukan."

"Apa atuh?"

"Ini." Siena mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya. Tiara menerima lalu menelan saliva setelah membaca kertas tersebut. Sebuah pengumuman di mana sekolah Siena akan mengadakan karyawisata ke arena bermain. "Siena pengen ikut."

"Iya nanti bilang Papa dulu. Kalau kata Papa boleh, Siena pasti ikut." Mendengar Tiara ucapkan kata Papa. Hati Ryan terluka begitu saja, perih.

"Sama Papa sama Mommy kan?" Siena memastikan.

"Iya." Angguk Tiara.

"Yess."

"Ayo sana pulang. Istirahat jangan lupa makan siang. Nurut sama Mbak Risa ya?!" Titah Tiara. Siena mengangguk. "Mbak..." Tiara memanggil Risa yang masih berdiri di pintu masuk kantornya.

"Iya, Teh."

"Ajak Siena pulang. Hati-hati di jalan."

"Iya, Teh. Siena ayo."

"Tunggu." Cegah Ryan. Ia kemudian berjongkok mensejajarkan diri dengan Siena. "Namanya Siena?" Siena mengangguk. "Itu Mommy Siena?" Tunjuk Ryan pada Tiara, Siena kembali mengangguk. "Boleh Om peluk Siena?" Tanya Ryan dengan suara bergetar. Siena melirik Tiara diikuti Ryan. Tiara salah tingkah. "Sini..." Ryan merentangkan tangan.

"Om siapa?" Tanya Siena.

"Om...."

"Bos nya Mommy. Ayo Siena pulang. Kan Mommy masih kerja." Potong Tiara cepat.

"Siena...." Ryan kembali mengundang Siena. Perlahan Siena masuk dalam pelukan Ryan. Diciuminya Siena penuh kasih, Tiara menelan saliva.

"Siena...." Lirih Tiara.

"Iya, Mommy." Sahut Siena sembari melepaskan diri dari pelukan Ryan.

"Ayo, pamit sama Om bos." Titah Tiara.

"Om, Siena pulang dulu ya?!"

"Iya."

"Daah Mommy." Siena berlalu sembari melambaikan tangan. Tiara balas melambaikan tangan. Ryan menatap tajam Tiara.

"Ikut ke ruangan saya sekarang." Ujarnya dengan tatapan menusuk.

Aku Bukan Pelakor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang