Aku ingin waktu berjalan dengan cepat, berharap semua sakit dan luka juga bisa meluap termakan waktu. Tapi ada fase di mana aku ingin waktu juga berhenti, berhenti berdenting, berhenti merangkak, berhenti bergulir. Semuanya berhenti. Tapi apa boleh buat, kita bukan pemilik semua itu.
Sore itu langit terlihat cantik dibaluti rona jingga, angin gemerisik membuai rambutku dengan lembut. Aku masih asik duduk di lorong kelas. Senyum simpul terbit dari bibir ku, tatkala melihat teman-temanku dengan wajah suka cita berhambur untuk pulang. Dari jutaan siswa di dunia mungkin aku termasuk kedalam orang yang tidak mau pulang, bukan karena aku rajin belajar, bukan. Tapi untuk apa pulang jika aku menemukan kenyamanan di tempat yang sedang aku pijak sekarang. Aku tidak ingin setiap kali pulang wajah masam, nada ketus, dan keributan, yang selalu menyambutku, biarkan aku sejenak untuk tenang. Setiap sore sudut lorong kelas, denting jarum jam, dan seragam yang aku kenakan menjadi temanku untuk mengikis waktu.
Sore itu berbeda, tiba-tiba seseorang duduk di sampingku. Aku mengenalnya, dia teman sekelasku. Jarang sekali kami bertegur sapa, karena dia termasuk anak yang sibuk ikut organisasi, sehingga jarang di kelas.
"Kenapa belum pulang?" suaranya menyadarkanku. Pandanganku tetap fokus ke langit yang cantik.
"Bagi sebagian orang, pulang mungkin adalah hal yang menyenangkan. Tapi bagiku tidak, aku suka duduk lebih lama di sini setidaknya membuatku lebih aman."
Dia tidak langsung menjawab kalimatku. Hening menyelimuti kami, teriakan dari lapangan yang sedang bermain basket menggema di langit-langit lorong. Angin kembali meniup dengan lembut. Pandangan ku alihkan melihat orang di sampingku. Rupanya dia juga sedang menatapku.
"Aku paham," suara beratnya mengikis keheningan, "aku paham apa yang kamu rasakan. Sekarang aku menemukan orang yang sama denganku."
Aku mengerenyitkan dahi tak mengerti, apa maksud kalimat terakhir nya.
Dia tersenyum, "rumah tidak sepenuhnya menjadi tempat untuk pulang. Definisi pulang untukku bukan rumah, bukan bangunan yang setiap kali kita melangkah masuk disuguhi teriakan, barang terbang tak beraturan, wajah sangar dan amukan, bahkan sebuah tangan yang melayang. Definisi pulang untukku adalah aku merasa aman di tempat itu, dihargai, dan dianggap keberadaanku. Tapi sejauh ini aku benar-benar belum menemukan tempat untuk pulang."
Aku masih menatap lekat wajah orang di sampingku, sorot mata kegigihan dan keyakinan yang selalu dia perlihatkan saat berbicara di depan banyak siswa berubah derastis saat kalimat tadi keluar dari mulutnya. Sorot mata yang ditunjukan saat ini adalah kekosongan, luka dan hampa. Sekarang aku paham, apa maksud dia. Ya! Kita memiliki kesaamaan perkara rumah bukan tempat pulang, dan rumah yang tak ramah.
"Aku juga paham ," ujarku pelan. "Aku paham bagaimana rasanya. Takut itu menyelimuti saat langkah kita akan memasuki bingkai pintu, hati terasa tersayat tapi kita gak bisa melakukan apa-apa, ingin marah, berteriak, meluapkan semua emosi, tapi lagi-lagi kita hanya bisa menelan dengan sesak semua itu. Kita hanya bisa diam di sudut ruangan dengan linang dan bungkaman. Kadang aku ingin waktu berhenti saat aku duduk di sini. Biarkan waktu berhenti saat aku merasa aman dan nyaman, supaya aku tidak mengalamai dan menghadapi lagi hari atau waktu yang mencekam dan menakutkan."
Dia menatapku, seulas senyum terbit, aku melihat sudut matanya berair.
"Kenapa tuhan percaya kepada kita untuk melewati hidup seperti ini?" Pertanyaan yang diringi kekehan serta nada keputusasan.
Aku mengedikan bahu, "mungkin kita orang pilihan," jawabku ragu.
"Aku berharap Tuhan membayar semua pilu ini dengan hal luar biasa di masa depan."
Aku mengangguk, "walaupun tidak bisa dipungkiri, saat ini tuhan sedang mendesain jiwa dan mental kita untuk tangguh dan tabah, walaupun rapuh dan pilu itu tidak akan mudah sembuh."
Kami saling pandang, lalu tersenyum, senyum lega.
"Kamu mau jadi tempat aku pulang?" Suara beratnya bertanya padaku.
Aku mengangguk, "mari kita ciptakan tempat pulang yang ramah, membuat kita aman, dan tempat untuk berbagi. Karena tidak ada yang lebih bahagia saat kita bertemu dengan orang yang merasakan apa yang kita alami. Kita Saling berbagi tanpa dihakimi dan dibanding-bandingkan, saling berbagi dan saling memahami."
Sejak sore itu, aku bukan hanya ditemani langit jingga, atau denting jarum jam saja, tapi di sudut lorong kelas itu aku sudah menemukan tempat pulang, tempat saling berbagi dan menguatkan. Dia yang rapuh, sama sepertiku. Kami sudah menemukan tempat pulang.
-END-
Jakarta, 26-Agu-2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Random Story (CERPEN)
NezařaditelnéKUMPULAN CERPEN Yu cek siapa tau mengembalikan mood dan menghibur kalian! Pure semua ide hasil pemikiran saya!