Kala musim berganti, matahari menyapa hangat. Hingar bingar raungan suara mesin kendaraan, dendang-dendang celoteh dan dering bel sepeda bercampur padu menyemarakkan minggu pagi di kawasan Dam Square.
Rana yang terbuka menandai awal perjumpaannya de...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rimo tak menampik, karena ucapan Sabine benar adanya. Meski ia coba untuk menutupi luka lamanya. Meski ia telah membuat dinding pertahanan yang begitu hebatnya. Namun, sosok Lorra bagaikan bola penghancur yang dengan mudah meruntuhkannya. Segalanya seakan tak berguna ketika sosok itu kembali.
Kedua tangannya menggenggam erat sebuah bingkai foto berukuran 5R. Fotonya bersama Lorra, yang diam-diam masih Rimo simpan.
Senyumnya mengembang. Senyum kehancuran.
Matanya berkaca-kaca, tak sanggup menahan perih yang telah ditorehkan oleh perempuan itu.
"Kamu kembali di saat yang tidak tepat Lorra," gumamnya.
Setelah waktu berjalan belasan tahun. Dan, setelah Rimo dapat kembali menjalani hidupnya. Tuhan kembali mengirim perempuan itu di hadapannya.
Lalu, apakah semua ini sudah dirancang oleh tangan-Nya? Saat bukan saja Lorra yang dikirim kembali ke kehidupannya, tetapi juga kemunculan 'mantan' sahabatnya di waktu yang sama.
***
Aro melangkah keluar dari kamar, dan mendapati Arkeen telah duduk di atas sofa sambil memegangi kameranya. Rupanya, laki-laki itu sedang memasang rol film pada kamera SLR-nya.
Masih dengan mata yang setengah mengantuk, ia menuju pantry. Mengambil sesuatu untuk mengisi perutnya yang keroncongan.
Tanpa mengoleskan selai terlebih dahulu, Aro melahap rotinya dan duduk di sebelah Arkeen. Satu kakinya disilangkan. Ia duduk sembari merebahkan tubuhnya.
Suasana hening. Masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri.
Tiba-tiba dering ponsel Aro mengeyahkan keheningan di antara mereka.
Cepat-cepat Aro segera merogoh saku celananya, dan membaca pesan yang baru saja masuk.
Sebelah alisnya terangkat.
"Sabine?" Aro terkesiap.
"Ada apa?" Arkeen yang sedari tadi diam kini angkat bicara.
"Dia sedang dalam perjalanan kemari," Aro bergumam di sela-sela mulutnya yang masih sibuk mengunyah roti. "Aku berjanji akan menemaninya ke perpustakaan kampus."
Tanpa aba-aba Aro bangkit dan melepar asal ponselnya ke atas sofa. Ia kembali ke dapur dan mengambil sebotol air mineral dari dalam lemari pendingin.
"Sampai kapan kamu akan terus menggantung perasaannya?" baru saja Arkeen selesai memasang end cap di lensa barunya.
Napasnya tercekat. Air yang baru saja meluncur ke tenggorokkan Aro tiba-tiba saja terhalang oleh sesuatu. Sehingga mengharuskannya keluar sebelum mencapai tujuan akhir.
"Jangan membuatnya berharap terlalu banyak," lanjut Arkeen.
"Siapa yang kamu maksud?" kali ini Aro tak ingin menyimpulkan ucapan Arkeen terlalu dini.