LIMA

73 9 0
                                    

Dua orang yang ada di dalam foto tersebut tersenyum pada Sabine

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua orang yang ada di dalam foto tersebut tersenyum pada Sabine. Senyum yang hangat, senyum yang belasan tahun ia rindukan. Ayah dan ibu. Mengapa mereka pergi begitu cepat? Batinnya.

"Ayah, Ibu, aku kangen," butir air mata kerinduan pun jatuh dari pelupuk matanya. Ia tak menyangka akan ditinggal pergi selamanya oleh ayah dan ibu, satu hari setelah mereka tiba dan menginjakkan kaki di Amsterdam.

Usianya masih 8 tahun, saat itu.

Sebelumnya menetap di Surabaya, bersama kedua orang tuanya. Ayahnya, bekerja di salah satu perusahaan asing. Sedangkan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga biasa.

Sabine terlahir sebagai anak tunggal. Ia tak memiliki siapa-siapa kecuali kedua orang tuanya. Pun sanak saudara dekat, yang tinggal berjauhan dengannya. Neneknya tinggal di luar negeri, bersama adik laki-laki ayahnya.

Keluarga mereka bermigrasi sejauh ribuan kilometer, saat ayah Sabine masih berumur 5 tahun. Ketika ayahnya memilih untuk menikahi gadis pribumi, maka beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air dan menetap di kota kelahiran istrinya. Sedangkan ibu dan adik laki-lakinya tetap tinggal di Amsterdam.

Gadis itu ingat, bagaimana rasa bahagianya membuncah ketika sang ayah mengabulkan permintaannya untuk berlibur di rumah nenek. Pasalnya, sejak lahir Sabine tak pernah tahu seperti apa rupa ibu dari ayahnya tersebut. Selama bertahun-tahun mereka hanya bertukar kabar melalui telepon.

Tak pernah terlintas sedikitpun di pikirannya, hal mengerikan itu akan dialaminya. Kebahagiaan saat bertemu dengan keluarga dan saudaranya, ternyata harus di bayar mahal.

Gelak tawa, peluk kerinduan, serta bincang-bincang hangat yang terbayang sebelum keberangkatannya dari Surabaya, kini hanya akan menggantung di depan mata. Semua itu menjadi mimpi buruk bagi Sabine kecil. Kehilangan kedua orang tuanya.

Malam itu, Sabine terbaring di atas ranjang dengan ditemani oleh sang nenek yang membacakan dongeng pengantar tidur untuknya. Belum juga dongeng tersebut selesai dibacakan, telepon rumah berbunyi. Karena tak ada orang di rumah selain mereka berdua, alhasil, neneknya lah yang harus menjawab panggilan tersebut.

"Tunggu sebentar, aku akan kembali," katanya.

Tak lama setelah kepergian nenek, suara jeritan dari lantai satu membuat Sabine mengurungkan niatnya untuk memejamkan mata. Dengan terburu-buru, ia turun dari ranjang dan segera menghampiri nenek. Dan, di sanalah neneknya duduk bersimpuh dengan air mata yang bercucuran. Memanggil-manggil nama ayahnya dengan histeris.

Sabine kecil tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Ia tercenung di depan neneknya tanpa tahu alasan wanita itu menangis.

"Hoi, Sab," sapa suara dari balik pintu kamarnya.

Di sanalah sang paman berdiri dengan senyum khasnya. Masih dengan pakaian formalnya. Dan tanpa permisi, laki-laki itu duduk di samping Sabine.

Segera, Sabine menyeka air matanya dan menyembunyikan bingkai foto tersebut di bawah bantal. Ketika ia menoleh, senyum pun menghiasi wajahnya.

REWIND; SPRING IN AMSTERDAM ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang