Sungguh tak habis pikirannya, saat ia dapat dengan mudah mengatakan hal yang sebenarnya masih menggantung. Saat mengucapkan kalimat itu, Aro gamang. Benarkah saat ini, ia dan Tisha masih memiliki hubungan? Masihkah kedekatan yang kian hari kian merenggang itu, pantas mendapat pengakuan?
Dua tahun berjalan dengan dipisahkan oleh jarak. Ia tak memungkiri, tak ada lagi gairah yang membuncah seperti saat pertama menjalin kasih. Kesibukan masing-masing yang semakin memperkeruh suasana, dan hati yang mulai goyah.
Janji setia itu mulai luntur seiring dengan berjalannya waktu. Aro memantik api yang lain, sementara bara api Tisha belum juga padam.
Aro tak bisa membohongi hatinya. Diam-diam ia mengagumi sosok Sabine, juga menaruh hati padanya. Sedangkan komunikasi di antara dirinya dan Tisha sudah tak terjalin lagi. Ia pun semakin merasa nyaman dengan kehadiran Sabine di sampingnya.
Lalu, tanpa tedeng aling-aling Tisha kembali muncul. Entah dengan tujuan apa perempuan itu kembali memasuki kehidupannya. Aro yang mengira jika hubungan mereka telah berakhir, terpaksa membuang jauh-jauh pikirannya itu. Ternyata, ini belum berakhir.
Baru saja Sabine keluar dari pintu apartemennya dengan mata yang berair. Langkahnya terlihat gontai, seperti kehilangan kendali.
Aro tercenung. Ia menekan bibirnya, dan mengepalkan bogemnya. Ada sebagian dari dirinya yang tersayat saat mengakui yang sesungguhnya pada Sabine.
Ponsel yang menjadi sebab terbongkarnya rahasia yang Aro simpan selama dua tahun terakhir, tergeletak di atas sofa. Layarnya kembali berkedip.
Dengan hati bergetar, ia meraihnya. Sekilas sebuah deretan nomor tertera di sana.
Aro terpaku. Ia pun bergegas menjawab panggilan telepon dengan kode (+62), yang merupakan kode telepon negara Indonesia tersebut.
Itu dia, suara kakak perempuannya. Menangis tersedu-sedu di balik sambungan teleponnya. Kini mendadak perasaannya menjadi kalut.
"Kak Iren, ada apa?"
Aro menahan napas. Entah mengapa dadanya terasa sakit. Detak jantungnya menjadi tak keruan. Pun sebagian dari tubuhnya tak dapat digerakkan.
Papa. Mendengar satu kata itu, membuat jantung Aro kapan saja dapat berhenti tiba-tiba. Juga paru-parunya mengempis seketika.
"Operasi?"
Mengingat penyakit batu ginjal yang diderita papanya semakin parah, keluarga memutuskan untuk melakukan operasi transplantasi.
"Bagaimana dengan pendonornya?"
Percaya tidak percaya, jika hari sial dalam hidup itu memang ada. Bukan soal sugesti semata. Dan kali ini kesialan itu menimpa Aro. Seperti pepatah mengatakan : sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Dobel sialan! Aro mengumpat.
Di seberang sana dengan suara paraunya, Iren menjelaskan kronologi yang sedang menimpa papa mereka. Sedang Aro masih tak bergerak dari tempatnya. Ia menggigit bibirnya, menahan rasa kalutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REWIND; SPRING IN AMSTERDAM ☑️
RomanceKala musim berganti, matahari menyapa hangat. Hingar bingar raungan suara mesin kendaraan, dendang-dendang celoteh dan dering bel sepeda bercampur padu menyemarakkan minggu pagi di kawasan Dam Square. Rana yang terbuka menandai awal perjumpaannya de...