"Sabine, lihat kemari!" suara nenek membuatku sadar kalau sejak tadi aku sibuk berurusan dengan Rimo.
Aku menyikut lengan pamanku, mendorongnya sebisa mungkin agar ia bergeser sedikit turun ke tanah. Well, sejak tadi aku berusaha agar dapat berpijak di atas batu besar. Maksud hati, aku ingin terlihat lebih tinggi ketika nenek mengambil gambarku dan Rimo. Tapi, sepertinya agak sulit menyingkirkan tubuh besar pamanku. Tenagaku habis tanpa hasil.
"Oom, geser!" sungutku kesal.
Sementara Rimo hanya bergeming dengan memasang wajah dinginnya. Ia tidak berkata apapun, tidak juga bergerak sedikitpun. Raut wajahnya dilipat dalam-dalam. Sedikit membuatku takut pada awalnya, tetapi aku sudah mulai terbiasa dengan sikap dinginnya akhir-akhir ini.
"Rimo, turun dan mengalah saja," nenek membelaku.
"Oma, aku ingin berdiri di atas batu! Aku ingin terlihat lebih tinggi saat Oma mengambil fotoku," aku merajuk, memberengutkan wajah berharap nenek terus membelaku.
"Rimo, ayo—" belum selesai nenek berujar, Rimo bergeser dan turun dari atas batu. Sontak aku memekik kegirangan dan segera naik ke atas batu. Siap bergaya memberikan ekspresi terbaikku ketika nenek mengambil foto kami.
Tapi, tidak dengan Rimo. Ia justru menundukkan kepalanya menatap ujung jemari kakinya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Masih dengan ekspresi mendungnya.
"Baiklah, aku akan mengambil gambar kalian kalau begitu," ujar nenek bersiap-siap meletakkan kameranya di depan wajah.
"Tunggu, Oma!" kataku menyela. Seketika nenek menurunkan kameranya hingga dada. Menatapku keheranan. "Kurasa kita bisa berbagi pijakan, Oom. Bagaimana? Apa kamu merasa lebih baik sekarang?" ujarku memberi penawaran pada Rimo.
Aku turun dan menghampiri Rimo, menarik lengannya agar mau mengikutiku naik ke atas batu. Sementara ia yang masih terdiam hanya mengekoriku tanpa perlawanan.
"Baiklah, Oma. Kami sudah siap!" aku setengah berteriak ketika kami berdua sudah berpijak pada batu besar.
Meski awalnya aku ingin menguasai batu itu. Berdiri di atasnya agar terlihat lebih tinggi. Namun, ekspresi Rimo yang sepertinya sedih itu membuatku berpikir ulang. Sehingga di sinilah kami berdua, berdiri di atas batu saling memunggungi.
"Baik. Kalau begitu, lihat ke mari dan tersenyumlah," nenek memberi kami perintah sambil kembali meletakkan kameranya di depan wajah.
Aku sempat mengerlingkan pandang, menatap Rimo yang masih saja murung. Menyikutnya, memberi sinyal untuk tersenyum bersama. Tapi, ia tak kunjung melakukan itu.
Yah, memang membuat Rimo riang seperti dulu bukanlah hal yang mudah.
Pamanku ini, sekarang cenderung pendiam. Pemurung dan kadang pemarah. Tak jarang aku segan untuk dekat-dekat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REWIND; SPRING IN AMSTERDAM ☑️
RomanceKala musim berganti, matahari menyapa hangat. Hingar bingar raungan suara mesin kendaraan, dendang-dendang celoteh dan dering bel sepeda bercampur padu menyemarakkan minggu pagi di kawasan Dam Square. Rana yang terbuka menandai awal perjumpaannya de...