5

52.1K 6K 203
                                    

Rumah biasanya dikaitkan dengan ikatan emosional yang romantis. Menurut kutipan-kutipan di Instagram yang pernah Dru baca, rumah tidak hanya bangunan dengan tiang yang berdiri kokoh, rumah merupakan tempat di mana hatimu berada. Rumah adalah tempatmu pulang ketika lelah. Rumah adalah tujuan akhirmu ketika kau puas berkelana.

Wow, puitis sekali, ya.

Bagi Dru, rumah hanyalah tempat singgah sementara. Dia lebih suka mengikuti jejak nenek moyang yang tinggal nomaden, tidak perlu terikat dengan suatu tempat tinggal tertentu. Tumbuh di rumah bercat putih yang sscara garis besar bergaya eropa klasik dan berdinding tinggi ini tidak membuat Dru mengingat kenangan indah ataupun berniat nostalgia. Tidak ada hal yang seperti komitmen, segala hal di dunia ini hanya sementara.

Tadi, Papa mengajaknya makan malam bersama. Sudah Dru hadiri dengan senang hati. Anggap ini bentuk permintaan maaf darinya karena terlambat menghadiri RUPS yang mengangkatnya sebagai direktur. Setelah makan malam selesai, Dru tidak langsung pulang ke apartemen. Dia menyempatkan mengobrol dengan Pak Ody--supir yang sudah bekerja dengan Papa sejak Dru masih TK-- di taman belakang rumah dengan pemandangan kolam renang. Kalau dulu Dru bingung kenapa Pak Ody suka sekali meminum cairan pekat pahit yang tidak ada enak-enaknya sama sekali disertai menghirup ujung tabung berukuran lebih kecil dari jari manisnya, menjadi dewasa membuatnya tidak bisa hidup dari dua hal itu.

Sudah banyak yang berubah ternyata.

Keterangan three new messages tertera di layar ponselnya membuat Dru menjeda perbincangan dengan Pak Ody.

Darel

Where r u?

Buru kesini, lagi rame

Ada yang bening juga, nanyain lo terus nih daritadi

Chat dari Darel yang mengajaknya menongkrong itu membuat Dru melihat ke arah jam tangannya, seketika berpamitan dengan Pak Ody, mematikan rokoknya kemudian berjalan masuk ke rumah lewat pintu belakang. Dari sana, Dru mulai mendengar suara bising, makin langkahnya melaju, suara kumpulan kemarahan itu makin jelas menggema di telinga.

Dru bukan orang gampang tertarik dengan sesuatu yang bukan urusannya. Dia hanya perlu lewat dan pura-pura tidak tahu ketika menangkap enam orang asisten rumah ini sedang duduk di karpet dengan mata yang sepenuhnya fokus ke layar televisi. Beberapa dari mereka mengepalkan tangan kuat. Beberapa mengomel dengan bahasa yang tidak Dru pahami artinya.

"Cekek aja tuh si Saras!"

"Matiin ayo matiin aja! Kesel banget liat mukanya!"

"Saras sundaaal... Gila ini manusia satu. Bener-bener sinting!"

Bahkan salah satu dari mereka ada yang maju sambil memukul televisi dengan gregetan.

"Dah habis sabar aku!l"

"Rasanya kepengen aku masuk ke TV terus nyekek si Saras! Mau ngejambak!"

"Awas aja ya kalau sampe ketemu!"

"Daripada ketemu Saras, mending ketemu Kanaya."

Dan masih banyak lagi caci maki lainnya yang bikin pria itu tak sadar kalau sudah berdiri di sana lumayan lama, ikutan memfokuskan pandangan ke televisi yang cukup besar terletak di belakang dapur. Seumur-umur, ini adalah kali pertama dalam hidup seorang Andaru menyaksikan siaran televisi lokal, meskipun keluarganya sempat mengakuisisi perusahaan televisi lokal. Ternyata seru juga, ya. Dia malah ikutan penasaran dan ingin tahu kelanjutannya lebih lama.

"Yah sialan! Malah iklan!" Pria itu tak sengaja mencibir.

Itu juga yang menyebabkan enam orang yang duduk rapi sekitar 2 meter di depannya kompak menengok ke belakang. Melihat Dru menyender di buffet lemari dengan tangan bersedekap di dada, mereka kompak memberikan reaksi kikuk dan terdiam, sikut-sikutan.

"Eh... ada Pak Andaru."

Pria tinggi itu memberikan senyum tipisnya sebagai sapaan ramah. Well, mereka tahu namanya, walau tidak satupun dari mereka yang Dru tahu namanya. Kayaknya belum pernah kenalan, atau mereka masuk ketika pria itu menetap di New York.

"Bisa dicepetin kok, Pak." Perempuan yang memegang remot itu berucap, kemudian layaknya sihir... layar televisi kembali memperlihatkan judul sinetron kemudian muncul scene berikutnya. Bukan scene perempuan tadi yang bikin naik darah. "Ini TOD."

"Pak Andaru suka nonton Rahasia Kanaya juga?" pertanyaan canggung dengan kesan girang itu kembali dilayangkan padanya.

"Saya kebetulan lewat dan.. tertarik," jawabnya kurang yakin. Apakah tertarik adalah kata yang pas? "Mbak, bisa cepetin ke lanjutan scene yang sebelumnya? Yang perempuan hampir dicekek itu?" Dru malah request yang untungnya keinginnya segera dituruti.

Melihat muka perempuan itu di layar, mbak-mbak yang masih duduk di depannya mulai menunjukan reaksi gregetan, layaknya mereka ada dendam pribadi betulan.

Dru juga gregetan... Sampai akhirnya dia sadar kenapa bersedia diam bermenit-menit hanya untuk menonton sinetron sampai mengabaikan Darel dan ajakannya.

Gadis psikopat yang terlihat di layar televisi itu, yang bikin enam mbak-mbak di hadapannya kesal dan mengeluarkan serapahan... Bukankah dia penculik Kim Jong Un? Perempuan dingin yang mengakuinya sebagai pacar secara sepihak kemudian meninggalkan begitu saja tanpa keterangan apa-apa?

Tapi sebentar, kenapa suaranya berbeda ya? Suara perempuan di layar televisi ini tipikal high pitch menyebalkan, sedangkan yang Dru dengar di cafe kemarin itu merdu dan calon-calon bikin betah kalau diajak telponan.

Gaya make-up, tatapan, gerak-geriknya juga berbeda...

Semakin penasaran, Dru membuka Safari pada handphonenya untuk memastikan sesuatu. Kalau gadis itu pernah muncul di televisi, seharusnya informasi mengani dirinya di mesin pencarian internet tidak sedikit.

"Mbak, nama perempuan ini siapa?"

"Saras, Pak."

"Saras apa?" tanya Dru sambil mengetik kata Saras pada handphone-nya. Ada banyak sekali nama Saras di dunia ini, kan?

"Oh, kalau nama aslinya Ruby Armila."

Pria itu mengetik ulang nama yang disebutkan salah satu perempuan di depannya... Dalam sepersekian detik, beberapa informasi beserta foto Ruby Armila terlihat di layar handphone, menambah keyakinan Dru kalau perempuan di balik layar televisi itu adalah perempuan yang sama yang ditemuinya tempo hari.

Oh, namanya Ruby Armila, pemain sinetron. Pantasan bening.

Dru seketika tersenyum miring. Senyum yang bikin beberapa orang yang menengok ke arahnya itu terpana.

Dia berdecak mendapatkan artikel gossip yang membawa nama perempuan itu. Well, lumayan terkenal juga ternyata.

Punya sugar daddy lah, gold digger lah, hanya mau pacaran dan dekat dengan cowok kaya lah.

Beberapa foto laki-laki yang disandingkan dengan foto Ruby Armila membuat Dru teringat dengan satu dari beberapa orang yang juga sempat ada di cafe.

Interesting...

"Screw you!" Teriakan itu membuat Dru mengangkat kepala. "You told me you love me but look at you, how could you try to kill me?"

Itu dialog penuh emosi dari layar televisi yang bikin Dru menjeda fokus sebentar dari beberapa informasi google mengenai Ruby Armila.

Dahi pria itu berkerut.
Lah, itu bisa Bahasa Inggris?! Mana pengucapannya juga fasih!

Jangan bilang... dia sengaja mengaku tidak paham Bahasa Inggris karena tidak mau mengobrol lebih lanjut dengan Dru? Wah, sialan! Dru merasa dihina.

Seorang Andaru ditolak mentah-mentah, sesuatu dalam dirinya jelas merasa tidak terima.

***

Sampai ketemu di next chapter ya. Buat chapter di KK (Chapter 17) I'll post it as soon as possible.
Jangan lupa vote atau komen kalau mau update di sininya lancar 😭😭

Love For Rent (Antagonist Love Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang