Bab 4

2.8K 543 10
                                    

Happy reading, semoga suka

Ebook sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa.

Karyakarsa lagi ada diskon, kalian bisa pakai vouchernya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Karyakarsa lagi ada diskon, kalian bisa pakai vouchernya.

Di Karyakarsa, harga udah berubah tampilan jadi koin, tapi kalau kalian buka dari website: www

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di Karyakarsa, harga udah berubah tampilan jadi koin, tapi kalau kalian buka dari website: www.karyakarsa.com - kalian cuman perlu klik koinnya dan lanjut pembayaran seperti biasa. Tapi kalau kalian via aplikasi, untuk pengisian koin akan lebih mahal karena ada pajak dari Google, so saran saya lebih baik kalian buka dari website saja, mau top up koin juga dari website saja, baru dipakai nanti di aplikasi kalau memang mau dibacanya lewat aplikasi.

Luv, Carmen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Luv,
Carmen

__________________________________________

Charlotte terbangun dari tidurnya beberapa jam kemudian, ketika suara sang kapten pilot terdengar berkumandang dari pengeras suara.

“Ladies and gentlemen, jika Anda melihat di bagian kiri pesawat, maka kalian melihat California, negara bagian yang cantik dan hangat dengan…”

“California,” ujar Charlotte dengan senyum pahit di wajah. Wonderful.

Di bawah sana, di salah satu kota di California, di situlah pria itu berada. Benjamin, pria yang pernah dicintai Charlotte sepenuh hati. Setelah perpisahan mereka yang menyakitkan, ia tahu Benjamin tidak menunggu lama untuk kembali ke San Fransisco.

Mereka adalah kekasih semasa kuliah, sejak Charlotte berusia 21 tahun. Selama tiga tahun, hubungan mereka berjalan sempurna, pria itu adalah kekasih terbaik yang pernah Charlotte miliki dan melupakan pria itu setelahnya adalah salah satu hal paling sulit yang harus Charlotte lakukan. Setelah Benjamin pergi, Charlotte mencoba membuka hatinya untuk pria lain tapi tetap saja, tidak ada yang bisa dibandingkan dengan Benjamin.

Charlotte tidak tahu kapan tepatnya hubungan mereka memburuk.

Benjamin adalah pria yang baik, dan Charlotte tidak pernah berpikir bahwa pria itu akan lebih memilih karirnya daripada Charlotte. Charlotte bisa mengerti bahwa pria itu adalah pekerja keras, ia juga mengerti bahwa Benjamin tidak selalu memilik waktu untuknya, tapi tak pernah sekalipun terbersit dalam pikiran Charlotte kalau Benjamin akan meninggalkannya demi mengejar karir yang lebih tinggi.

Saat dia mendapatkan tawaran sebagai kepala departemen bedah di salah satu rumah sakit besar di San Fransisco, pria itu menerimanya begitu saja tanpa mendiskusikannya dengan Charlotte. Dan tentu saja, pria itu berpikir bahwa Charlotte pasti akan bergegas meninggalkan segalanya dan pindah bersama pria itu ke San Fransisco.

‘Kau bahkan tidak bertanya apa yang kuinginkan.’

Ia ingat ia mendebat pria itu dan jawaban Benjamin sungguh angkuh dan menyakitkan.

‘Charlotte, ini adalah kesempatan seumur hidup, aku tidak mungkin melepaskannya. Dan jika harus memilih di antara karir kita berdua, kau juga tahu bahwa karirku lebih menjanjikan dan pendapatanku juga lebih menjanjikan, sudah sewajarnya kau yang mengalah dan ikut denganku. San Fransisco memiliki banyak firma hukum, pasti tidak akan sulit mendapatkan posisi paralegal. Atau kau bisa melamar sebagai pekerja galeri, bukankah itu yang selalu ingin kau lakukan?’
Charlotte mengerti bahwa apa yang dikatakan Benjamin memang benar. Di antara mereka berdua, tentu saja karir Benjamin lebih menjanjikan. Pria itu adalah dokter bedah sedangkan Charlotte hanya paralegal biasa. Seandainya Benjamin bertanya padanya lebih dulu, membicarakan hal ini dengannya tanpa mengambil keputusan sepihak, tentu Charlotte akan meminta Benjamin menerima tawaran itu dan tentunya ia akan pergi bersama pria itu. Namun tanpa meminta pendapatnya, Benjamin langsung memutuskan dan bahkan mengecilkan karir Charlotte, itulah yang tidak bisa diterima oleh Charlotte.

Pada akhirnya, ia memberi Benjamin pilihan – dirinya atau karir pria itu. Padahal Charlotte sudah tahu apa jawaban Benjamin namun harga dirinya tetap bersikeras agar memaksa pria itu memilih. Rasanya bukan pilihan yang sulit bagi pria itu karena Benjamin memilih tanpa banyak berpikir – dia tentu saja memilih karirnya.

Perpisahan itu menyakitkan. Charlotte tidak ingin percaya, tapi itulah yang terjadi. Ia pikir mereka saling mencintai tapi dengan mudahnya Benjamin mencampakkannya hanya demi karirnya. Hanya seperti itu saja arti Charlotte bagi pria itu.

Setelahnya, mereka tidak pernah lagi berhubungan. Tapi mungkin itu lebih baik. Itu akan membuat Charlotte lebih mudah melanjutkan hidupnya. Setelah tiga tahun, rasanya memang tidak semenyakitkan itu lagi. Kenangan di malam pria itu pergi tak lagi menghantuinya seperti mimpi buruk.

Ia pasti tenggelam begitu dalam dengan pikirannya sendiri sehingga ia tersentak kaget saat suara dalam Dalton berbicara dari sampingnya, nadanya rendah dan lembut.

“Bisa tolong ambilkan berkas Johannson?”

“Oh… oh, oke, tentu saja, sebentar.”

Dengan sigap Charlotte mengaduk tas kerjanya dan mengambil berkas yang diminta lalu menyodorkannya pada pria itu.

Sementara pria itu membaca berkas kasus, Charlotte mengecek ponselnya.

“Oh ya, seprtinya akan ada badai besok,” ujarnya sambil membaca laporan cuaca. Prakiraan cuaca untuk Los Angeles menyatakan bahwa akan ada hujan lebat yang disertai petir serta angina kencang. Dan kedengarannya cukup buruk.

Jawaban Dalton sudah bisa ia duga. “Well, asal tidak mempengaruhi pekerjaan kita.” Pria itu memiliki jadwal wawancara selama dua hari dengan para saksi di ruang sidang, yang menuntut salah satu perusahaan terbesar di negara bagian ini atas pencemaran polusi udara.

Charlotte mengangkat bahu sebagai respon. “Aku tidak tahu, tapi kelihatannya memang cukup buruk,” lanjutnya.

Kini mereka sudah semakin dekat ke Los Angeles dan ia bisa melihat awan-awan hitam yang menggantung di langit kota. Tapi saat ia menoleh untuk menatap Dalton, pria itu masih tetap sibuk membaca berkas yang ada di tangannya. Bagi Dalton, tak ada yang bisa menghentikannya ke mana-mana jika itu demi pekerjaannya, bahkan badai sekalipun tak mampu membuatnya mundur.

Taking The Boss to The BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang