Bab 6

2.8K 558 15
                                    

Happy reading, semoga suka.

Ebook sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa

Untuk Karyakarsa, kalian bisa buka dan beli via : www.karyakarsa.com

Top up koin dari website juga jauh lebih murah ya.


Enjoy

Luv,
Carmen

_________________________________________

Hotel resort itu sesuai ekspektasi dan bagi Charlotte, tempatnya memang sebanding dengan uang yang dikeluarkan firma mereka. Kemewahannya tidak terlalu berlebihan, tapi tetap saja memanjakan penghuninya. Dan saat Dalton disibukkan dengan para saksi, jadwal wawancara dan pernyataan saksi yang bisa memakan waktu berjam-jam, tentu Charlotte memiliki sedikit waktu luang untuk menikmati liburan singkat ini, sendirian.

Saat mereka masuk ke junior suite, ruangan itu luas dengan kaca-kaca lebar yang memperlihatkan pemandangan pantai. Lantainya dari parket, perabotannya dari kayu-kayu berkualitas, ada ranjang super besar dengan kepala ranjang menempel ke dinding tinggi, di bawahnya terdapat karpet abu tebal yang mengundang orang-orang untuk duduk di ranjang dan membenamkan kakinya di atas karpet tersebut. Ada sebuah sofa dua seater di ujung ranjang, sama-sama menghadap ke layar televisi lebar di bagian dinding yang lain.

Charlotte kemudian membuka pintu kaca balkon dan mendapati ada sebuah meja dengan dua kursi, di mana seseorang bisa duduk di sana dan menikmati pemandangan. Saat ini, langit di seberang tampak begitu oranye dan sebenarnya indah, tapi begitu melihatnya, kau akan tahu bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Cuacanya benar-benar luar biasa pengap, tidak bersahabat dan petir terdengar di kejauhan. Memang tidak semengerikan keadaan di langit ketika mereka akan mendarat, di sini badai belum benar-benar tiba, namun sekeliling tempat ini sudah dipenuhi tanda-tanda menakutkan itu.

“Cuacanya benar-benar buruk,” ujar Charlotte sambil masuk kembali dan menutup pintu balkon. “Kurasa badai akan segera datang.”

Bosnya itu sedang berbaring di ranjang, sedang mengecek ponselnya lagi sambil melemparkan tatapan sekilas pada Charlotte. “Jangan cemaskan itu. Kita sudah mendarat dengan selamat. We’ll be fine here.” Lalu pria itu kembali berfokus pada apapun yang tengah dibacanya. Charlotte tahu betapa pentingnya memenangkan kasus ini, ada ratusan juta dolar yang mungkin terlibat dan publisitas luar biasa yang mengikuti kasus ini.

Tak ingin menganggu konsentrasi pria itu, Charlotte kemudian mengeluarkan pakaian mereka dari koper dan menggantungnya ke lemari. Ia lebih ekstra hati-hati pada pakaian Dalton yang akan dikenakannya besok dan lusa. Ia melakukannya tanpa bicara, menyiapkan semua kebutuhan yang mungkin diperlukan Dalton besok tanpa bertanya lagi, karena ia cukup tahu bahwa pria itu tidak suka diganggu di saat-saat begini.

Setelah ia selesai, Dalton memanggilnya. Pria itu sudah duduk di meja kerja kecil di sudut kamar hotel, laptopnya terbuka, begitu juga printer portable yang tadi sudah disiapkan Charlotte beserta semua tumpukan berkas yang dibawa pria itu. Ia mendekat dan melihat Dalton sedang membaca salah satu artikel hukum lingkungan dan pria itu memintanya untuk membantunya mencari beberapa referensi terkait artikel yang dibacanya.

Mereka bekerja sampai lumayan larut dan Charlotte sudah lelah. Ia kemudian berdiri sejenak untuk meregangkan otot dan mendorong troli bekas makan malam mereka keluar kamar dan menyandarkannya di dinding luar kamar di koridor. Setelahnya, Charlotte menelepon front desk untuk memberitahukan hal itu. Ia kemudian menatap jam dan menydari bahwa sudah nyaris tengah malam. Mungkin Dalton juga menyadarinya.

“Sudah hampir selesai, kau boleh tidur jika mau.”

Charlotte menyambut tawaran itu dengan senang hati. Ia memang sudah sangat lelah dan mengantuk. Tapi situasi kemudian menjadi awkward bagi Charlotte. Ia harus mandi. Ia tidak menyukai bau pesawat terbang. Dan udara di luar tadi juga begitu panas dan pengap walaupun sekarang kamar mereka dingin karena AC, tetapi tetap saja Charlotte merasa pakaiannya tidak nyaman, aroma pesawat terbang seakan menempel di pakaian dan tubuhnya, dan ia juga merasa lengket oleh debu serta keringat.

Ia kemudian mengambil tas yang menyimpan peralatan mandi dan pakaian ganti serta tas make-up lalu menuju kamar mandi. Karena Charlotte berpikir ia akan tidur di kamarnya sendiri, ia membawa pakaian tidur versi biasanya – kaus tipis dan celana yang sangat pendek. Sejak remaja, ia memang selalu mengenakan pakaian seperti ini untuk tidur.

“Well, ini bukan salahku, kan? Kalau ini membuatnya tak nyaman, aku juga tidak bisa apa-apa.”

Charlotte lalu melepaskan pakaiannya dan menatap tubuhnya sendiri di cermin. Tubuhnya feminim, dengan kulit kencang yang halus. Ia memiliki sepasang payudara yang tidak begitu besar tetapi kencang, puncak-puncak mungilnya berwarna merah muda. Perutnya juga rata dan seksi, dengan pinggul yang indah dan lebar, bokong kencang dan sepasang kaki jenjang.

Rambut hitamnya di potong sebahu dan ia jarang mengenakan riasan wajah tebal karena Charlotte tidak menyukainya. Ia senang mengelus kulit wajahnya dan tidak suka merasakan bedak dan pewarna memenuhi jari-jarinya, lagipula dengan mata biru besar dan bibir penuhnya, Charlotte merasa kalau riasan berlebihan malah akan membuatnya tampak seperti wanita bayaran.

Seperti wanita bayaran, ya? Mulut Charlotte melekuk dalam senyuman. Bagaimana kalau ia benar-benar berlagak seperti wanita jalang dengan berjalan keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang, kira-kira bagaimana reaksi bosnya nanti?

“Jangan tolol, Charlotte. Dalton tetap adalah pria, pria mana yang akan menolak makanan gratis? Tapi setelahnya, yang rugi adalah dirimu sendiri.”

Ia berbicara seperti orang gila dengan bayangannya sendiri di cermin tapi puas setelah memberitahukan apa yang ada dalam pikirannya ke hadapan wajahnya sendiri.

“Jangan coba-coba bermain api,” tambahnya lagi sambil menatap matanya sendiri.

Taking The Boss to The BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang