Happy reading, semoga suka.
Ebook sudah tersedia di Playstore dan Karyakarsa.
Untuk Karyakarsa, transaksi pembelian seperti biasa (via dana, gopay, Shopeepay, dll) dilakukan melalui website : www.karyakarsa.com
Tinggal klik saja kotak koinnya.
Top up juga sebaiknya via website kalau ingin dapat harga lebih murah.
Luv,
Carmen__________________________________________
Charlotte menghabiskan usaha ekstra untuk bersiap-siap karena malam ini, ia ingin Dalton menyadari kehadirannya sebagai wanita, bukan hanya sebagai asisten pribadinya.
Untuk itu, ia sengaja mengenakan celana pendek dan atasan putih, sederhan tetapi juga seksi, dan sepasang sandal bertali sehingga ia bisa bebas memamerkan kedua kaki jenjangnya. Tidak berlebihan karena dandanan ini cocok dengan tempat mereka berada, tapi ia berharap Dalton melihatnya berbeda. Charlotte tidak membubuhkan riasan berlebih, tapi hanya menegaskan bulu mata tebalnya dan kedua bola matanya agar tampak lebih indah dan membubuhkan pewarna ke bibir penuhnya. Setelah siap, ia hanya menunggu hingga pria itu kembali.
Tapi hari sudah sangat senja dan masih belum ada kabar dari pria itu.
Ia masih belum bisa menghubungi pria itu karena mungkin koneksi yang buruk menjelang badai besar dan Charlotte sudah mulai khawatir. Terlebih, cuaca di luar semakin memburuk. Hujan terlihat semakin kencang dengan angin dan petir yang bersahut-sahutan. Kabut seolah menutupi seluruh tempat dan menghadang jarak pandang.
Tak ada yang bisa dilakukannya selain menunggu, tentu saja. Jadi ia berbaring di kamar sambil terus menunggu pria itu kembali.
Sampai akhirnya ia mendengar pintu kamar dibuka.
Dalton masuk, tampak basah kuyup dari kepala hingga kaki, setelan jas terbaiknya menetes-neteskan air. Tidak itu saja, pria itu juga tampak marah dan memaki kasar. Dia melempar kopernya begitu saja ke atas ranjang dan terus memaki sambil melepaskan jasnya. Charlotte hanya menangkap beberapa kata … “Decker… pria sialan itu… dia mengubah pernyataannya! Dia berbohong … Berengsek … tidak menjawab pertanyaanku… Sial! Benar-benar membuang waktu… perjalanan sia-sia…”
Dalton benar-benar tampak marah. Murka besar, mungkin lebih cocok. Dia menarik dasinya kasar dan memaki-maki lagi. “Bisakah kau membantuku melepaskan dasi sialan ini!”
Charlotte bergegas menuju pria itu lalu berdiri di depannya. Ia bisa merasakan panas tubuh pria itu, hujan, juga amarah yang menguar dari tubuh besar tersebut. Dalton menatapnya dengan mata yang sangat tidak ramah, kekesalan dan kemarahan masih mengisi setiap garis wajahnya.
Agak hati-hati, Charlotte menaikkan lengannya dan membantu pria itu melepaskan dasinya, yang sepertinya jadi tersimpul mati berantakan gara-gara hujan. Dalton sudah agak tenang, tapi napasnya masih berat sementara Charlotte berjuang melepaskan ikatan dasi pria itu. Setelah dasi itu lepas, Dalton menariknya dengan kasar dan membuka kemejanya dengan marah lalu melemparnya sembarangan. Mata hitam pria itu kemudian menatap Charlotte lekat dan sepertinya Dalton kemudian menyadari penampilan Charlotte dan entah kenapa, pria itu tampaknya semakin berang.
“Kenapa kau masih ada di kamar ini!” tanyanya setengah membentak.
“Tidak ada kamar yang tersedia,” jawab Charlotte, hanya untuk disambut dengan makian.
“Sialan! Tidak ada satupun yang berjalan lancar!” Lalu pria itu membentaknya lagi. “Kau sudah memesan meja di restoran?!”
“Iya, sudah.”
Dalton tak menjawabnya dan langsung berjalan ke kamar mandi. Saat pria itu keluar, jelas sudah mandi dan sudah mengganti bajunya dengan kaus dan celana jins dan kini sedang mengeringkan rambutnya. Dan seakan baru menyadari sikap berengseknya, dia meminta maaf.
“Maafkan aku, Charlotte. Ini benar-benar hari yang mengerikan.”
Charlotte mengangkat bahunya. “Tidak apa-apa,” jawabnya.
“Tidak, aku tidak patut marah-marah seperti itu padamu. Aku benar-benar minta maaf.”
“Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?” tawar Charlotte kemudian. Karena memang itulah tugasnya, selalu siap sedia membantu pria itu.
“Tidak ada,” jawab Dalton sambil mendesah. “We are so fucked.”
Pria itu lalu berjalan menuju ranjang dan berbaring di sana. “Mereka menutup kota. Tidak ada apapun yang bisa kita kerjakan besok. Kita harus kembali lagi ke sini.”
Charlotte terdiam. Pantas saja pria itu begitu kesal.
“Aku butuh tidur. Bisakah kau membangunkanku kalau waktu makan malam sudah tiba?”
“Ya, tentu saja.”
Dalam hitungan menit, pria itu sudah jatuh tertidur.
Charlotte mengungsi ke sofa dan duduk menggulung diri di sana, sambil menatap pria itu dari balik sandaran sofa dan mendengarkan suara badai yang mengamuk di luar.
Biasanya, Charlotte selalu menjaga batas profesional antara dirinya dan Dalton. Tapi malam ini, ia berdandan seperti ini, jelas untuk menarik perhatian pria itu. Mungkin Dalton juga sadar. Ini salahnya, tentu saja. Ketika tadi ia duduk di pantai dan semua kilas balik kehidupannya berputar di dalam benaknya, Charlotte tiba-tiba sampai pada sebuah keputusan. Ia akan berhenti dari pekerjaannya dan kembali ke Washington dan meneruskan impian yang pernah ditinggalkannya.
Dan karena keputusannya itu, Charlotte berpikir bahwa ia tak perlu lagi menjaga batasan hubungan bos dan karyawan. Ia akan terang-terangan mengirimkan sinyal pada Dalton bahwa ia tertarik pada pria itu dan mungkin satu malam bersama Dalton akan menjadi kenangan manis sebelum meninggalkan New York.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taking The Boss to The Bed
RomanceCharlotte Herrera selalu tertarik pada bosnya yang dingin dan gila kerja itu. Ia tidak ingat kapan ia mulai merasakannya, namun ketertarikannya pada Dalton Crawford semakin hari menjadi semakin sulit dikendalikan. Tapi Dalton sama sekali tidak terta...