Chapter 4

427 29 0
                                    

Hari ini jauh lebih sibuk dari biasanya. Kaisar Silas mendadak akan mengunjungi kuil secara pribadi. Berbeda dari biasanya, kalau Sainstess lah yang mengunjungi istana.

Sejak pagi, semua orang mulai membersihkan dan menghias kuil lebih menarik dari biasanya. Bunga-bunga segar disusun rapi dari pintu masuk hingga aula utama.

Leana sejak tadi menjadi pesuruh para seniornya. Dia mondar-mandir membawa keranjang bunga, setumpuk kain kotor dan membuang sampah. Leana yakin, Pria Yang Terhormat tidak akan bisa datang. Dia akan terjebak oleh lautan manusia yang memenuhi kuil. Tanpa sadar, Leana tersenyum sendiri seperti orang gila.

"Apa ada sesuatu yang mempengaruhi kepalamu kemarin?"

Leana tersentak. Kemunculan Raihan sangat tidak terduga. Keranjang sampah yang ia bawah jatuh di bawah kakinya dan Leana harus menjerit kesakitan.

"Maaf, Tuan." Leana buru-buru menunduk.

Raihan tidak berkomentar. Dia hanya menatap wajah Leana lalu berjalan pergi. Leana pun mengangkat wajah dan menghela napas.

"Sial, aku tidak mau ketemu dia lagi."
Dan Leana pun buru-buru menyingkir dari tempat itu.

Menjelang tengah hari. Seluruh kuil benar-benar ramai. Orang-orang berdesakan di jalur yang sudah di sediakan untuk dilewati Kaisar Silas. Leana sendiri berdiri di salah satu sudut yang cukup bagus untuk melihat Kaisar Silas. Dia harap-harap cemas memikirkan pria itu.

Ketika genderang dipukul. Antusias pengunjung semakin riuh. Leana berjinjit, rombongan kekaisaran sudah mulai memasuki halaman kuil. Raihan dan Clara berdiri di depan pintu masuk untuk menyambut.

Dari tempatnya, Leana bisa melihat tubuh Kaisar Silas yang dibalut jubah kekaisaran. Rambutnya keperakan, mata ungu, dan garis luka yang melintang di pangkal hidung. Memberi kesan unik yang kharismatik. Goresan itu seolah mahakarya sempurna untuk mempertegas wajah rupawannya.

Di depan pintu, Raihan dan Clara membungkuk hormat menyambut Silas.

"Kami sangat terhormat oleh kedatangan matahari kekaisaran," ujar Clara dengan suara yang sangat lembut dan santun. "Saya akan membimbing Baginda menuju aula utama."

Leana menggeleng. Jika Kaisar Silas pergi ke sana. Leana tidak bisa melihatnya. Ruangan itu menjadi terlarang bagi pelayan seperti dirinya.  Tatkala, Leana melemparkan tatapan ke arah lain. Ia tidak sengaja menatap sekelebat bayangan hitam yang berpindah-pindah dari atap kuil.

"Dante!" seru Leana senang. Leana ingat pengawal pribadi itu dan garis kematiannya yang terjadi. Dia mungkin bisa mendekati Dante dan ... Leana tahu cerita selanjutnya.

Dia berlari mengambil jalan memutar untuk naik ke atap. Jika mengingat alur cerita. Dante akan menyelinap di atap atau bayangan seseorang. Dia prajurit bayangan dengan kemampuan sihir yang mematikan. Oleh karena itu, Kaisar Silas memperkerjakannya.

Ada ruangan khusus untuk naik ke atap bangunan. Tempat tersebut berada di menara pengawas depan gerbang. Leana bersyukur, tempat itu tidak terlalu disesaki pengunjung.

Lantas, keseimbangannya mendadak goyah. Di atas menara pengawas. Berjongkok Pria Yang Terhormat. Awalnya pria itu tidak menyadari Leana. Namun, pekikan terkejut yang familiar dari bawah membuatnya menunduk untuk melihat.

Leana sedang bangkit berdiri dengan pakaian yang kotor oleh noda tanah. Dia tersenyum hambar saat mata samudra itu menatapnya terkejut. Lalu segera melompat turun di depan Leana.

"Em, halo. Sedang melihat Kaisar?" sapa Leana dengan kikuk. "Oh, ya. Bukankah sore nanti kita akan bertemu?"

Pria itu tidak menjawab. Dia malah menjentikkan jari di depan wajah Leana beberapa kali.

"Nona," ucapnya.

"Namaku Leana," ujar Leana, "aku akan pergi dan berpura-pura tidak melihatmu sampai sore."

"Tunggu sebentar. Aku mau bicara denganmu. Kau bilang, kau hanya pelayan biasa di kuil. Bagaimana kau menjelaskan tentang sihirmu?"

"Sihir?" ujar Leana dengan alis bertaut. "Aku tidak punya sihir."

"Jangan bohong. Seluruh tubuhku ini di selimuti sihir tidak kasat mata. Kau jelas-jelas bisa melihatnya."

Leana berkedip, mulutnya terbuka dan tertutup. "Itu mustahil. Aku tidak punya sihir. Jika aku punya sihir, akan kugunakan menyelamatkan Kaisar sebelum ia dibunuh lagi."

Leana membekap mulutnya sendiri. Dia sudah mengatakan hal yang salah. Saat ia menatap lagi Pria Yang Terhormat. Matanya yang kebiruan, berkilat terkejut, nanar menatap Leana.

"Ikut aku!" Dan tangan Leana ditarik kasar.

Mereka berjalan menyusuri kerumunan orang-orang. Melewati gerai-gerai kecil yang menawarkan minuman dingin dan cemilan yang menyenangkan. Leana tidak tahu, dia akan dibawa ke mana. Dia terlalu takut untuk bertanya dan berontak. Pria itu menggoda, menyebalkan dan menakutkan.

Lalu mereka masuk ke dalam dua gang sempit yang penuh dengan peti-peti kayu usang dan drum-drum rusak.

"Tunggu," seru Leana. Kalimatnya terpotong saat pria itu menariknya menembus dinding bata merah begitu saja.

Ruangan dibaliknya adalah sebuah bar kecil. Hanya ada satu meja kayu bulat untuk tamu dengan lampu gantung yang redup di tengah ruangan.

"Siapa kau sebenarnya?" Pria itu melayangkan tatapan tajam pada Leana.

"Leana. Aku sudah mengatakannya tadi dan kenapa aku dibawa ke sini? Kau sendiri siapa?"

"Derek, kau bisa memanggilku itu. Jadi, siapa kau sebenarnya?"

Leana mengerutkan kening. Kesal dengan pertanyaan berulang Derek.

"Kau sudah tahu namaku dan bagaimana aku bekerja di kuil. Apalagi yang kau inginkan? Aku harus kembali ke kuil."

"Tidak." Derek memegang kedua bahu Leana dengan kuat. Rahangnya mengeras. Leana bisa merasakan ada emosi yang meledak-ledak dibalik binar matanya. "Siapa kau sebenarnya? Bagaimana kau tahu Kaisar akan mati? Bagaimana kau bisa melihatku menembus sihir?"

Derek mendesak Leana hingga punggungnya membentur dinding. Leana melirik sekitar. Tempat itu sepi tanpa siapa pun selain mereka.

"Aku tidak mengatakannya," seru Leana tegas.

"Begitu? Kau ingin dipaksa?"

Tangan kanan Derek yang bebas berpindah menyentuk tengkuk Leana dan mendorong wajah wanita itu ke wajahnya. Kemudian, bibirnya mencium bibir Leana, kasar dan penuh kemarahan. Diciumnya bibir Leana dengan liar, menghukumnya karena melakukan sesuatu yang terlarang.

Leana berusaha menyerang dengan tinju ke dada derek. Tetapi Derek semakin menekan bibirnya lebih dalam ke sudut bibir Leana dan memaksanya terbuka. Tangan kirinya bergerak bebas meremas dada Leana tanpa ragu dan menangkupnya.

Saat Leana hampir kehabisan napas. Derek menarik wajahnya menjauh. "Katakan, bagaimana kau tahu Kaisar akan mati? Katakan!"

Wajah Leana memerah, mata hijaunya berkaca-kaca. "Kau tidak akan mendapatkan jawabannya."

"Apa kau ingin mendapat lebih dari yang tadi?"

Leana diam. Dadanya turun naik dengan cepat. Rambutnya setengah berantakan. Derek tahu, wanita itu terguncang. Mata hijaunya malah menunjukkan tekad bahwa dia tidak akan membuka mulut.

Derek membuka dan mengepalkan telapak tangannya. Dia menatap dada Leana. Dadanya berisi, lembut, tegak, bulat dan mengundang.

Sialan. Derek masih bisa merasakan jejak itu di telapak tangannya.

SILAS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang