Bagian 8: Niskala

46 27 6
                                    

Ketika manusia hidup dalam dua dunia, ia akan mengila. Sesuatu dalam dirinya tak lagi serupa.
🍎🍎🍎

"Gak ada, ngadi-ngadi aja, kamu. Tidur di kamar sendiri, badan doang yang gede, nyalinya gak ada."

"Tapi bang-"

"Hantu itu gak ada Nala."

Andai Kasa tahu bahwa bukan hantu yang membuatnya takut, sampai membuat ia memohon untuk tetap bersama dengan anggota keluarga lainnya. Nala cukup kebingungan menghadapi banyak hal seharian ini, betapa letih menjalari tidur, dan betapa ia ingin cepat terlelap dalam mimpi panjang. Namun lagi-lagi ia ketakutan, bagaimana kalau nanti tiba-tiba semua orang menghilang begitu saja? Bagaimana kalau nanti ia jadi sendirian?

"Bang." Nala rasanya putus asa, mengigit bibir bawahnya, mendapati betapa letih raut wajah Kasa sehabis pulang kampus jam 5 tadi, Nala menelan ludah, melepas cengkeraman pada kaus putih Kasa. Di depan pintu kamar mereka berdua yang terbuka.

Meski ragu-ragu Nala memilih mengalah.

"Abang idupin lagu deh, biar hantunya pada pergi party kamar abang. Lagian abang malam ini masih ngerjain tugas akhir."

Nala mengangguk patuh, setidaknya dengan begitu, ia tahu keberadaan Kasa selama musik menyala.

"Dah, sana tidur."

Nala memperhatikan punggung tegap kakak laki-laki yang kerap ia jahili sampai marah-marah, yang kerap ia bikin kesal, yang kerap ia ajak adu mulut. Kakak laki-laki yang sering ia ajak menghilangkan kebosanan, bersekongkol menjahili ayah maupun bunda, kakak laki-laki yang berusaha melindunginya walau kadang menjengkelkan, mengadu seenak jidat pada bunda, atau begitu ceplas ceplos memberi tahu rahasia Nala pada ayah.

Kakak laki-laki yang tak ingin Nala rasakan kehilangannya. Sebab Nala takut sendirian, ia takut menjalani hari di rumah ini tanpa sosok itu. Akan ada yang kurang dalam kesahariannya.

Alunan nada berkumandang begitu pelan menembus dinding kamar miliknya, Nala menutup pintu terduduk pada kasur. Menatap meja belajar sejenak, tidak ada bunga lili yang ia keringkan di sana, bunga itu hilang lagi. Apakah Nala sudah menaruhnya di dalam laci? Tapi seingatnya ia taruh di atas meja belajar.
Sudah lah, Nala tak ingin peduli.

Merasakan letih menjelma dalam tubuh, mencari bunda, menemui ayah, menengok Kasa di kampus. Semua ia lakukan.

Kalau dipikir-pikir, bukankah sudah lama dirinya tak pergi ke sekolah? Dirinya lupa bagaimana waktu berjalan.

Terlalu rumit otaknya membedakan banyak hal, satu sama lain tumpang tindih, bahkan Nala sendiri tak tahu apakah dirinya nyata.

Mencoba merebahkan diri, menarik selimut memperhatikan langit-langit kamar, ia berdoa kepada Tuhan, agar semuanya baik-baik saja.

Keesokan hari tidak ada lagi kehilangan yang membuat hatinya sakit kebingungan, sebab ketika pagi menjelang, Nala bertekad menceritakan keanehan pada seluruh anggota keluarganya. Nala tak ingin merasakan hal ini terus menerus mengerus jiwa raganya nan lemah.

Perasaannya nan rapuh, berkali-kali terhantam kengerian tak bisa ia cerna dengan baik. Ia harus mendapat jalan keluar dari apa telah dialami.

Semoga.
Semoga semua baik-baik saja.

Nala mencoba memejamkan mata.

Embus angin menyeruak, lantunan nada masih terdengar di telinga. Maniknya mengerjap, sealun akan semua, sebuah suara memecahkan keheningan.

"Selamat malam, nona."

Nala tersentak bangun. Pemuda berjubah kelam itu telah duduk di sana, tersenyum cerah, menenteng keranjang rotan miliknya. Lengan kemeja hitamnya tergelung sampai sikut, bagian mata tertutup jubah. Bola mata Nala melebar kaget. Ia ingin berteriak meminta tolong, tapi ucapan si pemuda berikut membungkamnya.

"Kalau nona berteriak, semua bisa saja berakhir begitu saja," bilangnya.

"Tidakkah nona sadar akan semua hal yang nona inginkan?"

Nala terdiam memperoses tiap kalimat terlontarkan.

"Apa sekarang nona senang?"

"Bagian mananya yang bikin gue senang sama semua keadaan ini?" tanya Nala ketus.

"Nona, tidak senang?"

Mata si gadis memincing tajam memegang erat jam bekernya, bersedia apabila sosok Niskala mendekat ke arahnya. Jantungnya berdegup kencang, irama melodi kamar sebelah masih menyala terdengar, Nala dibuat was-was.

"Padahal nona berharap saya membantu nona."

"Lo bantuin gue bagian mananya?"

"Yang nona lihat."

"Maksud lo apa?"

Melirik pintu kamar yang sengaja tak ia kunci tadi, Nala mulai mempersiapkan ancang-ancang berlari ke kamar Kasa.

Pemuda itu terdiam meletakkan keranjangnya di samping, mengalihkan arah kepala menghadap jendela terbuka. Deru dingin menyelusup masuk, menerpa malam terasa panjang, sinar rembulan tampak malu-malu bersembunyi belakang awan. Kerlap-kerlip bintang terlihat menebak langit gelap.

Kulit pucat itu terlihat sedikit menakutkan, Nala mulai bertanya-tanya makhluk jenis apakah dia? Sejenis vampir kah atau apa? Apa pemuda bernama Niskala datang untuk menghisap darahnya, membujuknya dengan membawa keranjang berisi bunga lili dan buah apel segar selayak baru dipetik sore tadi?

Nala beranjak perlahan, menimalisir suara gerakan.

"Nona tidak bisa kabur," bilangnya menghentikan langkah Nala.

"Kalau nona terus kabur, nona akan terus terjebak pada dua sisi membingungkan."

Kening Nala mengernyit selangkah lagi ia berhasil meraih gangang pintu.

"Maksud lo apa?"

"Dua sisi berlawan yang nona rasakan saat ini. Antara ketiadaan dan ada," bilangnya.

"Bukankah nona ingin saya menolong?"

Jemari panjang milik Niskala meraih apel merah, mengigitnya kencang menciptakan lubang pada sisi. Menatap gengaman tangannya.

"Nona harus sadar dan mengakuinya itu saja."

"Apa?" tanya Nala, wajahnya memerah tak paham, memberi tahu tentang hal-hal yang semakin membuatnya pusing. Kepalanya hampir pecah memikirkan segala mengenai hari-hari kacau.

"Maksud lo apa?" Nada bicara naik lebih tinggi, Niskala menoleh, berjongkok mengelindingi buah apel yang baru ia gigit itu mengenai ujung jemari kaki Nala.

"Apa nona bisa merasakannya?"

Nala dibuat semakin geram, mulutnya siap hendak memaki lebih kencang, tapi irisnya sadar satu hal, ketika matanya menatap meja belajarnya kembali, dua tiga buah apel tergeletak di sana, berbanding kontras akan apel dalam keranjang rotan nan segar, apel-apel di atas meja Nala, keriput hendak membusuk.

"Nona, tenang saja saya akan membantu nona," bilangnya tersenyum lebar berdiri membungkuk memberi penghormatan selayaknya pengeran kerajaan.

Musik berhenti, darah Nala berdesir, jantungnya berdetak kencang. Kekalutan menyerang, tak ia hiraukan lagi keberadaan Niskala, kakinya cepat-cepat menyusul ke kamar sebelah.

"Bang," panggilannya.

"Abang!"

Tidak ada. Tidak ada siapapun di dalamnya. Kamarnya begitu rapi dengan lampu tak menyala, Nala membatu, keringat dingin bercucuran, tangannya bergetar hebat.

"Jangan lagi," gumamnya. Bening meluruh mengaliri pipi.

Lalu saat kepalanya menengok masuk ke kamar mengecek keberadaan si pemuda jubah kelam, sosok itu telah menghilang, membiarkan begitu saja jendela kamar menembuskan angin menerbang tirai mengajak para nyamuk untuk masuk menjelajah mencari darah Nala.

Tiga apel keriput hampir membusuk tergeletak di atas meja dan setangkai bunga lili kering milik Nala.

Hanya itu.

🍎🍎🍎

Senin, 3 April 2022

Catatan penulis:
Oke, di sini ada banyak clue.
Clue penting apel dan bunga lili.
Jadi gitulah (~º△º)~

Dari NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang