Bagian 7: Awal Mula Raja dan Nala

55 25 2
                                    

Lalu dalam kekalutan kekhawatiran ditinggal sendirian, akan lebih mengerikan ketika ia terjebak di sana selamanya.
🍎🍎🍎

Kokokan ayam jantan tetangga membangunkan tidur Nala, gadis itu bergerak tak nyaman, membuka mata menyesuaikan pencahayaan. Deru angin dari jendela masuk menusuk kulit, Nala mengerjap beberapa saat, terduduk pada kasurnya. Mencoba menyalakan ponsel yang telah mati kehabisan daya, Nala bersandar menengadah menatap langit-langit kamar, menelisir sekitar. Meja belajar masih menghadang pintu, buku-buku pelajaran berserakan akibat ulahnya. Menghembus napas panjang, entah bagaimana Nala berharap bahwa meja itu tidak pernah ada di sana, Nala berharap ia tak takut apa-apa. Namun kehilangan sangatlah mengerikan, apalagi jika hanya dirinya yang satu-satunya tersisa. Tanpa dibiarkan mencerna banyak hal, Nala merasa ikut mengabur dalam realita.

"Bun, capek," adunya entah pada siapa.
Bibirnya pucat pasi, bukannya merasa mendingan seluruh tubuhnya seolah selesai dihantam pegal-pegal ketika bangun.

Nala mencoba beranjak, tubuh lunglai dipaksa berjalan mencari casan hape mencolok pada stok kontak, matanya melirik keluar jendela sana, di bawah ada pagar runcing yang siap menyambut ketika ia meloncat turun. Nala menelan ludah berbalik pada pintu kamarnya.

Benaknya bertanya-tanya apakah ketika nanti ia membuka pintu pemuda aneh itu sudah berdiri di sana menunggu, bulu kuduknya merinding. Namun Nala tak punya opsi bagus, sebab tak cukup terampil keluar dari jendela dalam hal memanjat.

"Yah, Ayah kapan pulang?" gumamnya samar, mendorong pintu kamar, membawa kamus bahasa Indonesia paling tebal, agar nanti kalau ia bertemu dengan sosok itu, bisa segara ia timbuk sampai mampus. Lalu melarikan diri.

Meski agak gentar, Nala keluar dari kamar dengan was-was, keningnya mengernyit menuruni tangga, menengok kiri kanan memastikan.

Kakinya sampai pada meja dapur, memindai sekitar, ada begitu banyak tumpukan piring kotor di wastafel, mengernyit mendapati makanan dalam tudung saji. Sebuah notes berwarna kuning tertempel pada kulkas direkatkan mengenakan selotip, kebiasaan Bunda ketika pergi mendadak tanpa sempat memberi tahu.

[Bunda, pergi ke kantor bantu ngurus acara besok. Di tudung saji ada makanan, tolong cuci piringnya. Bunda pulang sorean]

Nala menelan ludah, menarik kertas tersebut perlahan, menunduk dalam membaca berulang kali kalimat tertulis di sana. Memastikan apakah benar? Apakah benar bahwa dirinya tak sendiri?

Hangat mengaliri pipinya, Nala terisak kecil dalam keheningan rumah milik mereka, tidak ada yang tahu seberapa frustasi dirinya menjalani ini semua. Tersedak air mata sendiri, ia meraung pilu memegang dadanya, rasa lega bercampur takut membuat kegelisahan semakin membesar.

Bagaimana kalau semua hanya sementara? Menyeka air mata kasar, Nala memilih bangkit. Ia harus menemui Bunda bagaimana pun caranya, menemui Ayah, menemui Kasa. Akan ia pastikan kali ini tidak ada satupun dari mereka terlepas dari pandangannya.

Maka ia hiraukan makanan atas meja, dengan penampakan masih kusut, langkahnya terburu-buru mengunci pintu rumah mereka, hendak pergi.

"Lho? Nala? Kamu belum siap-siap?"

Tangan Nala terhenti menutup pagar, suara berat nan begitu familier di telingga. Ragu-ragu tubuhnya berbalik.

"Nala?"

Napas si gadis tercekat, menjumpai sosok Raja pada motor menatapnya bingung dari sebalik helm terpakai.

Ah, Nala masih ingat bagaimana hubungan keduanya bermula. Bagaimana mereka menjalin hubungan, meski tak satu sekolah.

Ia bertemu Raja di depan toko penjual buku-buku lama sebuah plaza. Sosok Raja mengenakan sweater berwarna hitam. Ketika Nala tak sengaja menemukan kunci entah milik siapa yang jatuh antara rak rak buku.

"Nyari ini ya?" Kepala Nala muncul dari balik rak memamerkan kunci di tangan menghadap kasir serta sosok pemuda mengenakan ransel sekolah.

"Ah, iya. Makasih," ujarnya canggung menerima. Nala hanya tersenyum kecil membayar bukunya.

Namun ketika ia tengah berdiri tepi jalan, pemuda itu muncul dengan motor matic berwarna coklat, memperkenalkan diri sebagai Raja, menawar mengantarnya untuk pulang.

Nala mengangguk saja, toh, lumayan gratis, uang ongkos bisa ia beli cilok depan perempatan rumah. Enak.

Dari sana Nala mendapat pertemuan-pertemuan kecil, berbagi kontak pribadi menjadi begitu dekat membahas banyak hal.

Puncaknya ketika sepulang sekolah, di depan gerbang. Raja menunggunya tiba-tiba tanpa memberi tahu sebelumnya. Tersenyum hangat melambaikan tangan. Jini teman Nala dibuat tercengang olehnya, meski ke esokan hari seisi kelas heboh mendapat berita tentang Nala sambil mengoda jahil.

Sepulang sekolah hari itu di tepi sore hari cerah yang kehilangan teriknya. Embus angin di jok belakang motor. Nala menikmati perjalanan.

"Na," panggil Raja.

"Iya?"

Lampu merah lalu lintas begitu lama memperhentikan mereka, terjebak di tengah-tengah pengendara motor lainnya. Riuh redam kerumunan manusia sibuk sore itu.

"Menurutmu, kita itu apa?" tanya Raja serius menatap kaca spion yang memantulkan raut Nala.

"Manusia," jawab si gadis kelewat enteng, tak seperti Raja harapkan.

"Bukan gitu maksudku."

"Terus yang gimana?"

"Hubungan kita itu apa?" tanyanya.

"Teman?" balas si gadis rada tak yakin.

"Nala." Raja menghembus napas gusar. Tidak tahu harus bagaimana cara mengungkapkannya dengan baik.

"Suka."

"Hah?" Kuping Nala tak mendengar jelas.

"Aku suka kamu, Nala."

"Oh."

Agak geram Raja mencoba menuntut jawaban.

"Sama," bilang Nala malu-malu dari belakang punggung Raja mendekatkan kepala pada telinga berlapis helm depannya. Raja tercenung.

Setelahnya suara klakson beramai-ramai memekakan telinga, mengumpati mereka yang belum juga jalan menciptakan kemacetan.

"Ja! Cepetan!" Tepukan pada punggung Raja menyadarkannya.

Di sore sepulang sekolah dalam kerumunan lalu lintas lampu merah yang tidak ada romantis-romantisnya itu. Mereka menjalin hubungan pacaran untuk pertama kalinya.

"Nala!" seru Raja, mencoba menyadarkan lamunan panjang Nala. Sosok Raja begitu nyata berdiri di depan.

"Kok bengong? Katanya mau pergi jalan-jalan."

Nala tak ingat akan janji kencan itu, tapi lagi-lagi air matanya luruh, menubruk tubuh Raja. Motor maticnya sedikit oleng, untung Raja bisa menahannya. Tangis Nala kian kencang terisak menumpahi seluruh kekalutannya.

Benar. Mana mungkin Raja meninggalkannya begitu saja.

"Nala, kenapa? Ada yang salah? Siapa yang bikin kamu nangis? Kenapa?" Runtutan tanya yang tak bisa Nala jawab.

Iya, mana mungkin dirinya ditinggalkan sendiri. Pelukannya kian mengerat.

"Jangan tinggalin aku," bisiknya sesegukan.

"Siapa yang bakal ninggalin kamu?"

Seharusnya Nala senang mendengarnya, namun dari seberang jalan rumah miliknya. Samar-samar di ujung mata, maniknya menangkap pemuda aneh bernama Niskala berdiri menatap mereka, mengenakan jubah kelam, menenteng keranjang rotan, tersenyum begitu lebar. Melambaikan tangan mencoba menyapa.

Jantung Nala berdetak begitu kencang, rasa takutnya malah menjadi-jadi.

Ah, tidak lagi. Nala tidak bisa kehilangan semua ini. Nala tidak bisa kehilangan Raja, apalagi keluarganya.

Tidak. Nala tidak pernah mengikhlaskan semuanya berlalu begitu saja begitu tiba-tiba.

🍎🍎🍎

Senin, 27 Maret 2023

Catatan kecil:
Kayaknya aku bakal post cerita ini tiap Senin Sore aja (~º△º)~

Dari NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang