Dari gelap tengah malam menjelma pintu rumah terketuk-ketuk.
Sebalik jubah melingkupi wajah, membawa yang ada menjadi tiada, bahkan tiada menjadi ada.
Saat ditanya ada apa gerangan kedatangannya? Dia tersenyum memperkenalkan nama "Niskala," ucapnya...
Gelap gulita. Cahaya remang-remang masuk melewati jendela, Nala menyalakan lampu belajarnya, memeluk kedua lutut, terduduk pada lantai dingin kamar. Menatap nanar ponselnya yang menampilkan pesan dari sang paman yang akan menjemput besok dan menyuruh untuk siap-siap.
Berjam-jam lamanya Nala membeku dalam pose sama tak beranjak, rambut pendek yang acak-acakan, setelan piyama, serta perut berbunyi minta diisi sebab seharian ini ia tak makan apapun.
Nala tak punya napsu makan, bunga lili kering yang ia pegang kian menguning dan rapuh.
Mata berat, serta kesuraman sekitar menjadikan Nala kian keruh, embus angin menyerbu masuk melewati jendela membelai tubuh, menciptakan sejuk.
Nala tak ingin hidup seperti ini, begitu pikirnya.
Hening panjang, serta denting jam mengisi malam. Tubuhnya mengigil kecil, menengelamkan wajah di antara kedua lutut, mencoba meresapi atas segala tengah terjadi. Jemari mengepal kesal. Kesedihan bertumpuk-tumpuk mengelilinginya.
Bagaimana mungkin ia bisa hidup sendirian seperti ini tanpa keluarga? Tanpa ada penopang, tanpa ada yang mendorong maju.
Jiwa letih akan guratan luka-luka belum usai mengoresi hati, Nala terpekur, merasa tersungkur dalam kubangan lumpur, merasa didorong jatuh dalam curam penuh krikil.
Ketika tubuh itu ia biarkan tergeletak lunglai menikmati sensasi malam dingin mencekam dalam temaram cahaya kamar. Sebuah benda mengelinding menyentuh ujung kaki.
Nala melirik sebuah apel berwarna merah segar mengenai jemari. Kepalanya mendongak ke samping mendapati sosok itu tengah duduk atas jendela menghadap ke arahnya tersenyum menenteng keranjang rotan berisi bunga lili dan apel. Kemeja hitam tergelung sampai ke sikut serta dasi merah mencolok, membelakangi sinar rembulan menyelinap masuk, mata Nala menyipit menelisik senyum manis terpantri untuknya.
"Selamat malam, nona," sapanya senang.
Nala tidak menjawab, sibuk akan anak pikirannya sendiri, mengalih tatap pada buah apel tergeletak di lantai kamar.
"Itu sebagai permintaan maaf," bilangnya mencoba curi perhatian.
"Apel itu simbol permintaan maaf."
Deru angin jauh lebih kencang dari tadi.
"Maaf karena saya tidak bisa membantu, nona," ucapnya.
Nala menatap lamat-lamat pada jemari putih pucat menyingkap jubahnya. Lembut surai hitam acak tersembunyi itu kelihatan dengan sepasang mata karamel memberi sorot hangat. Desir mengacak bagian belakang kepala. Wajah rupawan nampak begitu segar mengores kebahagiaan.
"Maukah nona menerima permintaan maaf saya?" tanyanya lembut mengalun-ngalun pada gendang telinga, Nala terkesiap, membeku seperkian detik.
"Niskala," lirihnya pada si pemuda.
"Iya ini saya, saya datang agar nona tidak kesepian," bilangnya.
Nala meraba permukaan buah apel di lantai memegangnya ragu-ragu.
"Saya datang atas permintaan nona yang kesepian."
Nala tidak pernah tahu mengapa permukaan buah apel mengkilap disinari cahaya.
"Maukah nona menerima permintaan maaf saya?" tanyanya ulang.
Iris keduanya bertubrukan, senyum kecil terbit di ujung bibir. Nala mengigit apel itu perlahan.
Niskala dibuat senang, pemuda itu berdiri mengulurkan tangan dengan riang.
Nala tergoda meraihnya permukaan telapak tangan itu dengan masih memegang bunga lili kering di tangan kiri. Tubuhnya terasa begitu ringan melayang-layang di udara, tahu-tahu kakinya tak lagi menapak lantai.
Namun ketika ia mendapati Niskala ikut terbang mengambang pada kamar sumpek miliknya itu, ia terkesima kagum.
"Itu apel ajaib," katanya menjawab rasa penasaran Nala.
"Yang bisa membawa kita pergi jauh tanpa kelelahan. Bukankah itu luar biasa?"
Sedetik, Nala tersadar. Jiwanya bertanya-tanya apa sekarang ia tengah berada di ambang ketidaksadaran lagi? Seolah bisa membaca kerutan pada dahi si gadis, Niskala terkekeh pelan, mengangkat alis mengoda mengengam erat pegangan tangan keduanya. Tidak ingin melepaskan.
"Bukankah nona bisa merasakan sentuhan saya? Bukankah itu sudah cukup menjelaskan semuanya?"
"Di malam ini, maukah nona pergi dengan saya mengelilingi kota?"
Tanpa ragu Nala menjawab lantang "Ya!" tidak lagi peduli akan semua kericuhan otak. Segala sedih melanda, segala ketakutan yang ada. Dan segala apapun ia rasakan.
Maka di tengah malam itu, saat jam dinding berhenti pada angka 12, Nala membalas gengam tangan Niskala lebih kencang, melewati jendela kamar yang tengah terbuka, terbang di bawah sinar rembulan, tertawa riang mengikuti ke mana pun Niskala membawanya pergi. Menuju angkasa lepas menembus cakrawala.
Maka dengan demikian, Dari Niskala Selesai
🍎🍎🍎
Minggu, 23 April 2023
Catatan:
Yah, tamat. Nah, ayo kerahkan semua hipotesis kalian tentang alur cerita ini mengenai siapa Niskala. //uhuk.(づ ̄ ³ ̄)づ
Luv luv buat yang baca cerita ini sampai akhir walau bikin pusing (๑ơ ₃ ơ)♡
Mong-omong berhubung cerita ini udah selesai
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cloudlhy:
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.