Bagian 6: Hubungan dengan Raja

67 23 19
                                    

Terjebak pada sesuatu dirasa dikenal, tapi juga asing bersamaan.
🍎🍎🍎

"Halo, nona!" seru dalam nada riang yang berhasil membuat Nala meriang. Bulu kuduknya merinding, mata terbuka lebar, dengan kepala kosong tak bisa lagi memikirkan apapun. Selintas dalam benaknya, sosok berjubah kelam tengah duduk pada kursi meja makan itu tengah menertawakan kebingungannya. Bagaimana pemuda itu memangku keranjang berisi buah dan bunga, sinar terang mengisi ruangan memperlihatkan bagaimana kemeja hitam dan dasi merah begitu apik dikenakan, celana hitam serta sepatu pantofel senada.

Nala menelan ludah, kulit yang begitu pucat terlihat tak mengalirkan darah pada telapaknya. Bibir yang mempertahankan senyum dibalik wajah separuh tertutup, berhasil menjadikan Nala membunyikan berkali-kali alarm bahaya pada kepala.

"Selamat pagi, mungkin?" bilangnya.

"Nona ingin apel?"

"Siapa?" tanyanya gemetaran.

"Oh, bukankah kita sudah berkenalan sebelumnya, Nona. Panggil saya Niskala, seperti yang nona harapkan. Bukankah begitu?"

"Lo siapa sialan!" jeritnya merangkak naik, gurat ketakutan menghiasi wajah, napas tak beraturan dan bulir keringat mulai bercucuran. Sedang pemuda itu memiringkan kepala, menyuarakan kebingungannya.

"Seseorang yang anda kenal, mungkin?" ujarnya.

"Gue gak kenal orang kayak lo!" bentaknya kencang.

"Ah, begitu sayang sekali ya?"

Jemari putihnya meraih apel merah dalam keranjang, menatap di bawah sinar lampu dapur, begitu cerah serta ranum buah itu. Mengigit bagian tepinya perlahan, menghasilkan bunyi kriuk lumayan keras. Tampak begitu segar baru dipetik, beberapa tetes air embun keliatan menghiasi bunga-bunga lily dalam gengaman keranjang.

"Nona, mau apel?" ujarnya menyodorkan apel hasil gigitan itu kepada Nala, tersenyum cerah seakan berkata tak ada racun setiap apa yang ia bawa datang.

"Apa saya terlihat menakutkan?" tanyanya lagi. Menaruh apel gigitan itu dalam keranjang.

"Maaf, kalau nona ketakutan, tapi saya datang menjadi teman nona."

"Gimana lo bisa masuk di rumah ini!" jerit Nala kencang mengema mengisi keheningan rumah.

"Ada pintu," bilangnya, tapi Nala jelas tahu bukan itu caranya masuk ke dalam rumah.

"Saya menemukan pintu masuk."

Meletakkan keranjang rotan di lantai keramik rumah, pemuda itu merangkai kalimat terdengar merdu untuk merayu.

"Celah kosong," akunya.

"Saya datang karena itu."

Nala tak lagi peduli, gadis itu mengambik ancang-acang menaiki tangga, persetan dengan apa yang dikatakan si pemuda aneh barusan. Ia merasakan kengerian mencengkam kedua pundak, kepala pening luar biasa, walau hampir tersungkur jatuh. Nala harus berhasil naik ke kamar, mengambil ponsel meminta pertolongan pada siapapun itu.

Bagaimana bisa keluarganya hilang? Apa yang tengah terjadi, semua membingungkan, Nala gila dibuatnya.

Bantingan kencang serta ceklekan kunci, Nala menarik meja belajar sekuat tenaga, menghadang.

Jantung berdetak kencang, selaras akan jemarinya bergetar-getar mencari-cari di mana ponsel berada.

Ia tak bisa meninggalkan rumah begitu saja, sedang bunda dan Kasa belum menampakan batang hidung sepanjang ia berlarian tunggang-langgang.

Bagaimana kalau seandainya bunda tengah bersembunyi, bagaimana kalau seandainya Kasa benar-benar ikut bersembunyi. Tidak ada yang keluar dari rumah ini sejak tadi, maka Nala juga akan sama. Dia tidak akan keluar begitu saja, orang-orang dari luarlah yang harus masuk membantunya.

Dari NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang