"Hati-hati di jalan, ya! Sampai ketemu lagi."
Webhi tak menggubris seruan pria yang mengantarnya sampai ke mobil. Ia bahkan tak menoleh sama sekali dan memilih masuk ke dalam kereta besi tanpa repot-repot menyerukan ucapan perpisahan.
"Ck, Webhi nggak tahu rezeki. Udah gue kasih senyum semanis cokelat Belgia malah dicuekin!" gerutu Chivar saat melihat mobil jazz putih yang dikendarai Webhi menjauh pergi. Kemudian, terkekeh geli sambil berjalan menuju mobilnya yang berada tak jauh dari sana.
Dalam kendaraan yang melesat menuju toko bunga, Webhi terlihat beberapa kali menarik napas guna menetralkan perasaan jengkel dan bingungnya. Ia pikir Chivar akan menjawab dengan pilihan yang pasti. Mengetahui bagaimana pria itu memiliki image buruk tentang wanita, setidaknya mungkin saja Chivar akan memilih syarat nomor dua tanpa pikir panjang.
Gue pilih ... pilih nanti jawabnya setelah kita menikah. It's okay, selama gue belum jatuhin pilihan, gue nggak akan sentuh lo dan 'jajan' diluaran sana. Lo bisa pegang omongan gue, Bhi. Kita tentuin aja tanggal pernikahannya dan gue harap lo nggak akan kaget kalau nanti dapat kabar dari pihak gue, tanggal pernikahannya dadakan kayak tahu bulat
Begitu kata laki-laki yang tadi Webhi temui.
Webhi bingung harus merespons apa sementara yang ia pikirkan saat membuat surat perjanjian, Chivar akan memilih syarat nomor dua dengan dalih tak ingin ada seseorang yang mengganggu kehidupan bebasnya. Toh, mereka memang menikah karena terpaksa, bukan?
Hanya butuh waktu 20 menit untuk sampai. Sekarang Webhi sudah menepikan roda empatnya di depan toko bunga yang dijaga Sabil saat ia pergi. Berjalan menuju pintu kaca sambil membaca pesan dari sang ibu yang mengatakan kalau Ardaf tak jadi pulang, Webhi mendesah kasar.
Meski ada perasaan takut kalau pria itu akan memengaruhi keputusannya, tetapi rindu yang tertampung penuh selama sebulan benar-benar membuatnya kecewa. Dengan santai, ia dorong pintu toko sebelum netranya menangkap sosok pria jangkung yang memakai kaus hitam lengan pendek dengan paduan celana jin panjang berwarna biru langit. Pria itu duduk anteng di sofa sambil melempar senyum yang membuat dunianya penuh warna.
"Mas Ardaf?" ucap Webhi setengah tak percaya.
Pria itu tak menjawab melainkan bangun dan menghampiri wanita yang malah mematung di tempat. Tak butuh waktu lama untuk memenjara tubuh mungil Webhi ke dalam pelukan sementara dagunya bertumpu pada puncak kepala sang adik.
"Aku kangen banget, Bhi. Kenapa sih, jarang bales chat?" Dengan pelukan yang tak mengendur sedikit pun, Ardaf keluarkan kekesalannya selama sebulan menetap di negeri Panzer. Bisa ia hitung, hanya dua kali Webhi membalas pesannya dan itu pun terbilang cukup singkat dengan frekuensi waktu yang lama.
Masih dalam pelukan hangat pria yang membuat matanya memanas, Webhi tak ingin mengatakan apa pun. Ia memilih membaui aroma mint yang segar dengan campuran wangi alami tubuh Ardaf. Kemudian, mengangkat tangan untuk mengusap lembut punggung lebar pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seatap (tak) Sehati ✔️
Aktuelle Literatur•TAMAT• •COMPLETED• ⚠️bijaklah dalam memilih bacaan⚠️ Pasangan aneh, yang satu menikah karena warisan dan satunya lagi menjadikan itu alasan untuk mengalihkan perasaan. Lantas, bagaimana narasi panjang yang penuh tawa dan kecewa dalam kelu...