84• Sang Juara.

4.9K 517 51
                                    

"Jangan taunya pintu pahala doang lo, belajar azan sama qamat yang bener!" ledek Wira tak berperasaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jangan taunya pintu pahala doang lo, belajar azan sama qamat yang bener!" ledek Wira tak berperasaan.

"Iya, bacot! Rewel banget lo. Adam aja yang ngajarin nggak secerewet itu!" Chivar membalas sewot.

Sementara Adam yang menjadi saksi perdebatan dua pria itu, hanya menggeleng saja. Mereka bertiga sedang ada di lobby hotel. Terhitung sudah hari ke dua setelah resepsi Chivar dan Webhi. Beberapa anggota keluarga sudah pulang satu hari setelah acara selesai, tetapi Adam dan Wira memilih tinggal untuk menjelajahi destinasi wisata di tempat yang terkenal sebagai salah satu 'surga' tersembunyi di Asia.

Dengan ransel di masing-masing punggung, Adam dan Wira yang hari ini check out dari hotel bukan berniat kembali ke Malang, melainkan menjelajahi tempat baru yang masih berada di kota itu.

"Jadi kalian mau ke Uluwatu?" Chivar kembali bersuara.

"Yess! Gue mau diving, habis itu ke Ubud merelaksasikan diri dari himpitan masalah dunia dengan memandangi pesawahan yang diapit bukit hijau nan indah. Sementara lo jadi suami siaga, gue sama Adam lagi have fun," seloroh Wira dengan suara yang didramatisir.

Berdecak samar, Chivar sebenarnya sedikit iri karena tak bisa ikut dengan para sahabatnya menjelajah tempat menarik seperti dulu. Namun, karena tak ingin terlihat seperti itu ia samarkan saja dengan mencebik dan menampilkan raut tak acuh.

"Oh, iya, Var. Gue ada rekomin tempat makan enak di sekitar sini. Lokasinya di ...."

Mereka bertiga terus berbincang sambil menunggu alat tranportasi yang dipesan Adam datang. Sementara itu, Webhi yang baru setengah jam lalu terbangun dari tidur siangnya sedang duduk diam di bibir kasur.

"Ini dari Mas Ardaf, Mbak. Sebelum pergi, aku denger Mamah ngomong kalau Mas Ardaf nggak dateng ke sini. Terus paginya Mas Ardaf titip ini ke aku buat Mbak."

Ucapan Devan pagi ini kembali terngiang. Webhi tatap kotak ukuran sedang yang ada di atas nakas dengan sorot hampa. Setelah menerima benda tersebut, bahkan Webhi belum menyentuhnya lagi. Ia letakkan saja di sana seolah benda itu tak menarik perhatian sama sekali, padahal yang sebenarnya terjadi setiap kali ekor matanya menangkap kotak itu ada perasaan aneh yang mulai mengganggu.

Webhi tak membenci atau dendam pada Ardaf meski malam itu menjadi kejadian yang membekas diingatan. Namun, untuk saat ini ia tak ingin bertemu pria itu. Ada rasa takut dan ragu meski perasaan sedikit rindu masih membelenggu. Harusnya perlakuan bejat Ardaf bisa dijadikan alasan untuk sebuah kebencian.

Akan tetapi, satu keburukkan pria itu tak mampu menghapus segala kenangan baik yang tercipta selama ini. Webhi hanya mengingat bagaimana cara pria itu melindungi, memberikan kasih sayang, memperhatikan, bahkan memarahinya saat tak mau minum obat jika sedang sakit.

Semua yang terekam dan terus diulang-ulang dalam ingatan hanya tentang sosok pria hangat dan pengertian. Bukan sosok bejat yang malam itu tak mendengar rintih kesakitannya. Kendati demikian, tangan Webhi mulai gemetar saat mengingat namanya.

Seatap (tak) Sehati  ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang