"Korannya Pak.. Bu, ayo mas korannya dibeli"
tawaran itu yang selalu keluar dari mulut gadis belia di tengah jalanan kota.Di bawah teriknya sinar matahari, ia berlalu kesana-kemari menawarkan koran-korannya kepada orang yang berlalu lalang.
Meskipun peluh membanjiri sekujur tubuhnya, serta pakaian yang ia kenakan sangat tak sedap untuk dipandang, ia tetap menjalankan apa yang seharusnya ia kerjakan.
Matahari yang kini memancarkan cahayanya dengan ganaspun menjadi saksi bisu betapa malangnya nasib gadis belia itu sehingga ia harus bekerja keras seperti saat ini.
"Kak Zea!" Gadis yang sedang beristirahat di trotoar jalan dengan tumpukan koran ditangannya menoleh pada adik kecil yang memanggilnya
"Dea? Kok kamu nyusul ke sini?" Tanya Zea heran, sembari membawa adiknya ikut duduk disampingnya
"Iya karena aku lapar kak" Zea menghela napas mendengar jawaban sang adik. Ada rasa bersalah dan juga bingung harus bagaimana.
Ia menatap tumpukan koran ditangannya, hari ini tidak seperti biasanya. Koran yang biasanya laku sampai dua puluh ribu rupiah perhari, kini hanya terjual lima ribu rupiah.
Lalu ia beralih menatap adik kecilnya
"Dea, hari ini kakak dapet uang cuma lima ribu, ini bisa kamu belikan roti buat mengganjal perut kamu"Zea memberikan uang lima ribuan kepada adiknya seraya tersenyum tulus, bagi Zea yang terpenting saat ini adalah keadaan sang adik.
Mengapa ia harus terlahir menjadi orang susah? Makan susah, pekekerjaan susah, memenuhi kebutuhan hidupnya pun rasanya bagai mencari jarum ditumpukan jerami.
Zea kembali menghela napas, ada setitik rasa menyesal tidak bersyukur hari ini, setidaknya ia masih diberi kesehatan kan? Bukankah sehat itu mahal harganya. Zea menatap lurus menerawang jalanan yang berasap, hingga ia tidak menyadari Dea sudah tidak ada di sampingnya.
Tetapi dari kejauhan Dea berlari tunggang langgang seraya membawa kantung kresek hitam di tangan kirinya dan sebuah dompet besar entah milik siapa.
Zea berdiri menyambut sang adik, perasaannya campur aduk
"Dea? Kamu pergi gak pamit dulu sama Kakak, ini jalanan ramai Dea, kalo kamu kenapa-napa gimana?"
Dea kecil tak menghiraukan ocehan Zea yang menghawatirkannya. Ia sibuk menetralkan deru napasnya, lalu senyuman dengan menampakan deretan gigi mungilnya.
"Kakak lihat ini apa?" Dea menaikan dompet ditangannya
"Kamu nyuri Dea? Kakak gak pernah ngajarin kamu buat nyuri Dea, meskipun kita kekurangan!" Nada bicara Zea agak meninggi, hal itu membuat Dea menundukan kepalanya dan menurunkan dompetnya
"Aku tidak mencuri kak," jawab Dea lirih
"Terus kamu dapet dari mana?"
Belum sempat menjelaskan, suara bass milik seseorang lebih dulu menjawab
"Itu hadiah dari saya, untuk adik kecil ini" lelaki muda tersenyum pada Dea dan Zea
Alis Zea berkerut, hingga jawaban sang lelaki di depannya meluruskan kembali ekspresi Zea
"Karena dia menemukan kucing kesayangan saya yang terlepas dipasar, dan saya lihat adik kecil ini menggendongnya dan nampak sedang memberinya minum"
"Lalu saya memberikan dompet itu, saya rasa uang yang ada didalamnya bisa untuk membeli sesuatu yang dibutuhkan" lanjut lelaki itu lagi
Ketika Zea hendak melontarkan penolakannya, lelaki itu lebih dulu menyela
"Saya ikhlas memberikannya, kalau begitu saya permisi"
Mimpi apa Zea dan Dea semalam hingga disiang yang terik ini mendapat rezeki yang tak terduga. Hanya ucapan syukur yang terus keduanya gumamkan
KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN RANDOM
Proză scurtăJangan lupa FOLLOW DULU bestie..⚠ Cerita ini murni my imajination, so don't coppy this story!