8. Datang Ke Rumah

27 13 1
                                    

"Kak? Ini maksudnya gimana?" Aku bertanya ke Kak Videl lewat pikiranku.

Aku tau kalau Kak Videl bisa membaca pikiranku, jadi aku mencoba berbicara dengannya dalam kepalaku.

"Ikuti saja skenario yang aku buat." Jawab Ka Videl di dalam kepalaku.

"I..iya ini Kak Videl yang ngasih..." Kataku untuk menjawab pertanyaan Vira tentang gelang ini.

Setelah menjawab pertanyaan itu, aku meminum es teh manis untuk meredakan kepanikkanku.

"Jadi kalian berdua benar-benar dekat sekarang?" Tanya Brian.

"Ya, bisa dibilang begitu. Bahkan mungkin nanti Luna akan jadi pasanganku." Jawab Kak Videl tersenyum.

*Bfffhhh*

Aku tidak sengaja menyemburkan es teh manis yang sedang ku minum kearah Brian dan sedikit mengenai Vira juga.

"Woii!!" Keluh Brian.

"Lun!!!" Kali ini Vira juga ikut mengeluh.

"Maaf.. maaf..." Jawabku.

Mendengar pernyataan Kak Videl membuatku sangat terkejut. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu dengan mudah di depan orang yang bersangkutan.

"Hahaha sini aku bersihin." Kak Videl mengeluarkan tissue dari kantongnya dan mencoba membersihkan wajah Vira.

Melihat itu, wajah Vira sedikit memerah. Sepertinya ia tersipu malu mendengar Kak Videl ingin membersihkan wajahnya.

"Eh! Tunggu! Aku aja yang bersihin." Brian dengan cepat mengambil tissue dan langsung menyodorkan tangannya ke wajah Vira.

Aku bisa melihat perubahan raut wajah Vira yang tadinya tersipu malu seketika cemberut setelah momen itu di rebut oleh Brian.

"Nggak usah! Aku bisa bersihin sendiri!" Vira mengambil tissue yang dipegang Brian dan menggosokkan tissue itu ke wajahnya sendiri.

"Temen-temen kamu menyenangkan juga." Suara Kak Videl kembali terdengar di kepalaku.

Aku menolehkan wajahku kearah Kak Videl dan melihat wajahnya yang gembira. Sepertinya ia sungguh menikmati kejadian yang ada dihadapannya saat ini.

Waktu istirahatpun selesai dan kami kembali masuk kelas untuk mata pelajaran selanjutnya.

****
Ketika pulang sekolah, Brian dan Vira berkata kalau mereka ingin main ke rumahku. Kami pun berjalan menuju gerbang sekolah bersama.

Sebenarnya aku tau sih, mereka pasti ingin menjagaku juga agar kejadian kemarin tidak terulang lagi. Mereka tidak mau pulang duluan dan membiarkanku sendirian saat pulang sekolah.

"Eh lun, liat tuh ada Kak Videl." Kata Vira sambil menunjuk kearah gerbang sekolah.

Kami melihat Kak Videl sedang bersandar di dinding gerbang sekolah. Ia terlihat santai dengan earphone yang tertancap di kedua telinganya

"Kak Videl nungguin siapa?" Tanyaku begitu kami menghampirinya.

"Nungguin kamu." Jawab Kak Videl sembari melepaskan earphone yang ia kenakan.

"Lun, ini orang kayaknya emang naksir kamu deh." Bisik Brian ke telingaku.

"Kalian pada mau kemana?" Tanya Kak Videl sambil melirik kami bertiga.

"Mau ke rumah Luna dong!" Celetuk Vira.

"Kakak mau ikut juga? Makin rame maikn seru!" Lanjut Vira sambil menoleh kearahku dan mengedipkan matanya.

"Hah?!" Pikirku.

"Oh boleh, aku ikut juga deh." Jawab Kak Videl.

Hari ini pasti akan jadi hari yang melelahkan. Dua orang yang suka berantem seperti tom & jerry ditambah satu lagi makhluk yang nggak jelas dia manusia atau bukan akan datang ke rumahku.

"Huft." Aku menghela nafas memikirkan kekacauan apa yang nanti akan terjadi di rumah.

"Non Luna!" Teriak seorang pria dari sebrang gerbang sekolah.

Pria yang memanggilku itu ternyata adalah driver ayahku yang disuruh untuk menjemputku pulang.

Sang driver berjalan menghampiri kami dan mengambil tas milikku yang selanjutnya ia bawa.

"Pak, ini teman-temanku mau ikut ke rumah." Kataku pada driver itu.

"Oh iyaa non, kebetulan saya lagi bawa mobil bapak yang besar. Jadi pasti semua muat masuk kedalam." Jawabnya.

Teman-temanku termasuk Kak Videl pun masuk kedalam mobil. Aku, Vira dan Brian duduk di tengah sementara Kak Videl duduk di depan bersama driver ayahku.

Kami pun berangkat pulang menuju ke Rumahku.

****
"Lun ini rumah apa museum?" Celetuk Brian ketika mobil yang kami tumpangi sudah memasuki gerbang rumahku.

Aku tau kenapa Brian berkomentar seperti itu. Rumahku ini dibangun di atas tanah seluas 1,5 hektar. Selain bangunan utama, masih ada taman, lapangan dan sebuah garasi terpisah.

Bangunan utama/rumah tempat aku tinggal memiliki design bergaya eropa dengan tinggi bangunannya sekitar 20 meter. Jadi wajar saja jika Brian membandingkan rumahku dengan museum.

*Plak*

"Jangan norak deh kamu!" Balas Vira sambil memukul paha Brian.

"Nggak usah dipukul woi!" Jawab Brian.

Belum sampai 5 menit di rumahku, mereka berdua sudah mulai berantem lagi.

"Tuhkan, kalian berdua nih sukanya berantem mulu!" Aku tidak tinggal diam melihat tingkah mereka.

Bukannya aku sok baik, tapi posisi duduk kami yang membuatku juga merasa kesal. Aku duduk diantara mereka. Jadi kalau mereka bertengkar, aku juga terkena imbasnya.

"Non temen-temennya energik banget ya." Driver ayahku yang daritadi hanya fokus menyetir pun ikut buka suara.

"Iyaa nih pak!" Jawabku dengan wajah yang masih kesal.

"Eh lun, itu kenapa ada rame-rame? Pada baris gitu orangnya." Vira menunjuk kearah lapangan di depan bangunan rumahku.

Sepertinya orang-orang itu adalah calon bodyguard yang disiapkan oleh ayahku. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan berbaris rapih di lapangan.

"Oh kalau itu rame karena lagi ada seleksi bodyguard." Jawab driver ayahku.

"Wah gila, aku tau kamu tajir. Tapi aku tidak menyangka kalau kamu se-tajir ini." Kata Brian yang se-daritadi masih mengagumi kemegahan rumahku.

Mobil kami pun akhirnya berhenti. Aku dan teman-temanku serta Kak Videl masuk ke dalam rumah lalu menaiki tangga untuk pergi ke kamarku.

Belum sempat kami duduk untuk beristirahat sebentar, seorang pelayan datang mengetuk dan membuka pintu kamarku.

"Non, itu dipanggil bapak di depan." Kata pelayan itu.

"Ha? Ayah lagi di rumah?" Pikirku.

Aku pun turun dan menuju keluar diikuti kedua temanku dan Kak Videl yang sudah meletakkan tasnya terlebih dahulu di kamarku.

"Luna, coba kamu lihat. Ini beberapa bodyguard yang ayah siapkan untuk kamu." Kata ayahku sambil menunjuk kearah orang-orang yang tadi kami lihat di lapangan.

"Yah, kalau sebanyak ini apakah tidak berlebihan?" Tanyaku.

"Tentu saja tidak. Ini demi keselamatanmu juga. Bagaimana kalau nanti ada penculikkan yang kedua, ketiga dan seterusnya?" Ayahku masih tetap ngotot memberiku bodyguard.

"Konyol sekali." Suara itu datang dari belakang.

Aku kenal suara itu, suara itu adalah milik Kak Videl.

"Siapa itu?!" Kata ayahku marah.

"Saya yang tadi bicara." Jawab Kak Videl sambil berjalan dengan percaya diri mendekati ayahku.

Brian dan Vira terlihat memasang ekspresi panik di wajahnya. Aku pun juga sama. Aku takut nanti malah ayah dan Kak Videl yang berantem.

Si Tom & Jerry saja sudah membuatku pusing. Sekarang tambah Kak Videl yang membuat masalah.

DARK WINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang