PROLOG

93 60 75
                                    

Langit tampak gelap tanpa awan, tanpa bintang. Bersih, menyisakan bulan yang kebetulan hari ini sedang bulat sempurna. Ternyata benar, bulan purnama memancarkan cahaya yang lebih terang dan ukurannya dua kali lipat lebih besar.

Meski begitu, meski di langit sedang purnama, aktivitas manusia masih terus berlanjut. Tak ada yang menanti-nanti purnama malam ini, tidak ada yang peduli. Bulan purnama saja tidak ada yang mengingat dan peduli, apalagi jika kematian salah satu penduduk bumi. Pasti itu hanya akan menjadi tragedi sementara.

Angin menderu kencang, membuatku refleks memeluk tubuh dengan kedua tangan. Selema beberapa detik, aku memperhatikan sekitar. Atap-atap rumah, gedung, dan mall terlihat jelas di tempatku berdiri saat ini. Suara mesin kendaraan, klakson yang dibunyikan, suara orang-orang yang sedang mengobrol, terdengar jelas di telinga.

Aku tersentak, bangun. "Kenapa... aku ada disini?"

Aku berlari menuju pinggir tempat ini, menengok ke bawah. Banyak orang dan kendaraan sedang berlalu lalang di bawah. Tak salah lagi, aku sedang berada di atas gedung yang sering dibicarakan orang, gedung tertinggi di kota. Gedung setengah jadi ini merupakan cikal bakal mall terbesar di kota.

Aku tak tahu mengapa aku berada di gedung setengah jadi ini, jadi aku memutuskan untuk pulang. Aku berjalan mengitari tempat ini untuk mencari jalan turunnya. Tiba-tiba langkahku terhenti, seluruh tubuhku mendadak berhenti bergerak, tertegun. Pandanganku juga terhenti pada salah satu sisi gedung. Ada orang lain di atap gedung ini kecuali aku.

Seorang gadis tengah berdiri di pinggir gedung sambil menatap lurus ke depan, tepatnya dia sedang menatap purnama. Kelopak dan bola matanya sayu, seakan sudah tak cukup kuat untuk terjaga menandang purnama. Bibir kering dan pucatnya mengisyaratkan lamanya dia berada di atap gedung ini dengan angin yang menderu kencang. Keputusasaan terpancar dari raut wajahnya.

Jantungku berdegup kencang seakan mengerti apa yang hendak dilakukan gadis itu. Refleks kakiku melangkah cepat dan lebih cepat, berlari. Jarak kami cukup jauh sehingga aku takut dia melakukan aksinya sebelum aku berhasil meraihnya.

"Tunggu! Hentikan!" teriakku.

Aku tak ingin melihatnya lagi. Aku tak ingin melihat orang lain melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh ibuku. Aku tak suka, aku membencinya dan lebih benci lagi pada diriku sendiri yang hanya bisa tertegun saat ibuku jatuh dari lantai atas rumah kami.

Gadis itu tak mendengar teriakanku. Dia meletakkan kedua tangannya di dada, seakan memohon sesuatu, memohon pada purnama. Matanya terpejam dan aku bisa melihat bibirnya sedikit terangkat, tampak lega, seakan hendak melepas semua beban yang selama ini ditanggungnya.

Tiba-tiba tangan gadis itu terentang, dengan ekspresi yang masih sama. Aku membujuk kakiku agar berlari lebih cepat lagi. Tidak! Tidak! Aku tidak akan membiarkannya! Jangan lagi! Aku harus menghentikannya! Tolong Tuhan, selamatkan dia!

Seketika aku tak melihat lagi gadis itu di pinggir gedung, bahkan gaun kuning yang dipakainya sudah tak terlihat lagi. Gadis itu telah melompat, aku tidak sempat menghentikannya bahkan hanya dengan meraih gaun merah mudanya.

BRUK!!!

Keras, suara itu terdengar sampai di tempatku. Aku berlari ke pinggir gedung, jatuh terduduk. Tangangku gemetar, jantungku berdegup lebih kencang, pemandangan itu kulihat lagi. Darah menggenang di sekitar tubuh gadis itu. Sama seperti ibuku, gadis itu bunuh diri.

Save YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang