“Halo, Git?” Aku memutuskan untuk menelpon Gitta.
“Kau bolos ya, Leo?!” Suara Cap yang muncul. “Bolos tidak ngajak-ngajak.”
Aku menghela nafas. “Apa Leona sudah datang?” Aku langsung bicara intinya.
“Belum, Leo.” Kali ini Gitta yang bicara. “Tumben dia telat, biasanya dia datang pagi-pagi. Sepertinya dia tidak masuk soalnya bel baru saja bunyi. Kau sendiri kenapa bolos?”
“Akan kuceritakan nanti. Oke makasih infonya, teman-teman. Aku tutup.”
Dimana dia? Hatiku tak tenang. Bayangan tentang mimpi-mimpi mengerikan itu seakan diputar ulang dalam memoriku. Aku mengayuh sepeda lebih kencang lagi namun dengan tujuan yang berbeda. Aku berkeliling mencari Leona di halte, stasiun, taman kota, dimanapun termasuk gedung setengah jadi tempat dia bunuh diri di dalam mimpi.
Tidak ada. Gadis itu tak ditemukan dimanapun. Aku juga kembali ke kompleks rumahnya tapi kata satpam Leona masih belum pulang. Aku mencoba menelpon Gitta untuk menanyakan lagi tapi tak diangkat, mungkin mereka masih pelajaran. Aku memutuskan singgah ke minimarket, membeli minum.
Saat aku sudah lelah, kehabisan akal untuk berpikir tempat-tempat yang memungkinkan, dia tiba-tiba datang. Postur tubuhnya, rambutnya, cara berpakaiannya, semua sangat aku kenali meski dia membelakangiku. Gadis itu tampak cemas berdiri di pinggir jalan seperti sedang menunggu sesuatu.
“Kalau mau ke sekolah sekarang, sudah terlambat,” aku bicara di belakangnya. “Leona.”
Leona berbalik, menatapku, mengerutkan alis. Kemudian dia membalikkan badannya lagi, melanjutkan kegiatan menunggunya.
“Padahal kalau berangkat denganku tadi, kau tidak akan terlambat.”
“Aku tak mau.”
“Oke oke, terus kenapa tidak naik bus dan malah bolos sekolah?”
“Aku tak bolos sekolah!” Dia berkata dengan nada tinggi seakan tak mau dibilang bolos. Dasar anak rajin! “Aku hanya…” Leona dia sejenak. “Aku menghindarimu dengan berangkat sekolah pagi-pagi sekali. Tapi karena terlalu pagi, bus masih belum datang. Aku memutuskan jalan terlebih dulu tapi ternyata aku malah… tersesat.”
Aku tak bisa menahannya, tawaku pecah. “Kau ini ternyata buta jalan.”
Leona memukul lenganku. “Berhenti mengejekku.”
Aku menatap Leona yang cemberut. Syukurlah keadaannya jauh lebih baik daripada kemarin. Padahal kemarin dia tampak begitu hancur tapi kini sudah lebih segar meskipun aku melihat matanya bengkak.
“Kenapa senyum-senyum begitu?” tanya Leona tiba-tiba.
“Hah! Siapa yang senyum?” Aku memalingkan wajah, menutup mulut. Sial! Aku tidak bisa mengendalikan perasaanku.
“Jelas sekali kau senyum-senyum seperti orang gila.”
Aku hampir tersulut emosi, tapi untungnya aku bisa mengendalikannya. “Ah ya, tadi Cap dan Gitta menelpon, sepertinya mereka sudah masuk jam kedua pelajaran. Jadi kita sudah sangat-”
“Benarkah?!” Leona tiba-tiba mendesakku.
Aku salah tingkah. “I-Iya benar.” Aku mundur beberapa langkah karena terlalu dekat. “Sekarang kita sudah benar-benar terlambat, jadi ayo ikut aku.”
Aku menarik tangan Leona. Dia bertanya hendak kemana tapi tak kujawab. Karena kesal, Leona akhirnya menurut dan naik ke atas sepeda. Ini tak kurencanakan sebelumnya, tapi mumpung ada kesempatan, aku ajak Leona berkeliling. Maaf Ayah, bulan ini aku akan lebih berhemat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Save You
RomantizmSeorang gadis tengah berdiri di pinggir gedung paling tinggi di kota. Mata sayunya menatap purnama. Angin kencang berembus mengibarkan gaun merah mudanya. Wajahnya memancarkan ekspresi penuh keputusasaan. Seakan mengerti apa yang hendak gadis itu la...