Sejak saat itu, tepatnya dua tahun yang lalu, aku sering memimpikan gadis itu. Karena terlalu sering, aku sampai bisa mengingat dengan jelas wajahnya. Rambut hitamnya panjang dengan poni yang juga panjang terbelah memperlihatkan dahi lebarnya. Matanya lebar, hidungnya lebih mancung daripada kebanyakan orang, bibirnya meskipun kecil namun cukup tebal, dan tingginya kira-kira sebahuku. Di dalam mimpi, gadis itu selalu mengenakan gaun warna merah muda.
Aneh, padahal aku belum pernah bertemu dengan gadis itu namun dia selalu muncul di dalam mimpiku. Aku sudah bertanya kesana kemari sambil memperlihatkan karyaku menggambar wajah gadis itu, namun nihil. Tak ada seorangpun disekitarku yang mengenalnya, entah karena memang tak kenal atau karena gambaranku yang buruk.
Mimpi itu terlalu terasa nyata dan tidak dapat disebut sekedar bunga tidur. Aku selalu mencatat hari, tanggal, bulan dan tahun aku memimpikan gadis itu beserta detail mimpinya. Aku tidak berlebihan, di dalam mimpiku, gadis itu selalu berakhir bunuh diri. Entah menabrakkan diri pada mobil yang melaju, overdosis, melukai dirinya sendiri, dan yang paling mengerikan adalah disaat gadis itu melompat saat kereta sedang melaju cepat.
Setelah banyak mencatat, aku jadi tahu, mimpi tentang gadis itu selalu datang tiap bulan namun tanggalnya tidak menentu. Bukan kecelakaan maupun pembunuhan, namun murni bunuh diri. Aku penasaran apa yang membuat gadis itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ada juga pemikiran jika mimpiku ini dipicu oleh masa laluku yang melihat ibu bunuh diri.
“Leo, apa sarapannya sudah siap?”
Aku tersadar dari lamunan. “Sebentar lagi, Yah.”
Sejak Ibu meninggal, aku hidup bersama Ayah. Untuk membayar semua tagihan hutangnya, Ayah memutuskan untuk menjual rumah kami. Aku langsung menyetujuinya, rumah itu banyak meninggalkan kenangan pahit. Ayah selalu pulang larut dan jarang memiliki waktu untuk keluarganya. Sedangkan Ibu sibuk berhutang sana sini untuk membeli perhiasan dan barang mewah untuk dipamerkan pada teman-teman sosialitanya.
Ibu memutuskan mengakhiri hidupnya di rumah itu karena terlilit hutang. Aku frustasi, namun Ayahku lebih frustasi lagi. Hutang yang ditinggalkan Ibu amat banyak sehingga kini kami harus hidup amat sederhana untuk menghemat pengeluaran. Kami membagi tugas, Ayah yang bekerja sedangkan aku yang mengurus rumah. Sampai saat ini, hutang Ibu masih belum lunas seluruhnya.
“Nasi gorengmu hari ini lebih enak dari sebelumnya,” kata Ayah sambil mengunyah makanan.
“Benarkah?!” seruku. “Aku sedikit mengubah bahan-bahannya. Tapi tenang saja, bahan yang kubutuhkan tidak lebih dari yang sebelumnya.”
Ayah tersenyum. “Bagus…”
“Oh iya Yah, bulan ini belum bayar listrik, air, terus bahan makanan juga tinggal sedikit.”
Ayahku mengangguk. “Baiklah, nanti Ayah transfer uangnya di rekeningmu kalau sudah gajian.”
“Siap Bos!”
“Ini hari pertamamu di SMA, kan?” tanya Ayah.
Aku mengangguk mantap.“Kau sudah tahu lokasi sekolahnya?”
Aku mengangguk lagi. “Dari sini aku harus naik bus, kemudian perlu jalan satu kilometer lagi melewati kompleks.”
“Bagus. Kau memang anak yang bisa diandalkan.” Ayah mengelus kepalaku. “Besok kalau gajian, Ayah akan belikan sepeda.”
Aku menggeleng keras. “Tidak usah, Yah. Pengeluaran kita kali ini sudah sangat baik, jangan ditambah hal yang tidak perlu seperti itu.”
Ayah tertawa. “Coba pikirkan, biaya angkutan umum pulang pergi jika dikalikan tiga tahunmu di SMA bakal lebih banyak daripada membeli sepeda, kan?”
Aku terdiam. Kata-kata Ayah masuk akal, aku tidak berpikir sepanjang itu. “Baiklah, tapi yang murah saja ya dan… makasi, Yah.”
“Kalau ingin berterimakasih pada Ayah, tingkatkan nilaimu.” Ayah tertawa.
Aku sebal. Ayah selalu menggodaku dengan mengungkit-ungkit nilaiku yang tak pernah meningkat. Dulu aku tersinggung, namun karena sudah biasa, aku malah senang melihat Ayah yang tertawa saat menggodaku. Aku menyadarinya, Ayah berubah sejak Ibu meninggal. Dulu Ayah sama sekali tak pernah bermain bahkan berbicara denganku. Kini dia lebih perhatian, banyak berbicara, dan sering tertawa.
Ayah bekerja di salah satu perusahaan kontraktor di kota. Dia sering kali ikut proyek pembangunan, termasuk proyek membangun gedung tertinggi di kota. Proyek itu macet, katanya ada pihak yang korupsi. Dana untuk pembangunannya tidak sesuai yang direncanakan di awal karena terus menerus meningkat, makanya proyek itu dihentikan entah sampai kapan.
Kalau bicara soal gedung itu, aku selalu teringat mimpi tentang ‘Gadis Bundir (bunuh diri)’, begitulah aku menyebutnya selama ini. Gadis itu-
“Hei, Leo!” Suara seseorang mengagetkanku.
Aku sedang menaiki bus. Aku menoleh kesana kemari untuk mencari orang yang memanggil namaku. Tak ada. Yasudah, mungkin ada orang yang punya nama yang sama denganku.
Bus ini cukup penuh. Ada juga beberapa anak yang pakai seragam yang sama sepertiku, namun tak ada seorangpun yang kukenal. Teman-teman SMP-ku dulu kebanyakan pergi ke sekolah swasta yang bergengsi. Mereka anak orang-orang kaya, sedangkan aku mantan anak orang kaya.
“Permisi.” Seseorang menepuk lenganku.
Aku menoleh. Seorang gadis yang memakai seragam yang sama denganku. Akhirnya aku bertemu calon temanku. Gadis itu dikuncir kuda dengan poni yang menutup penuh dahinya. Dilihat dari gaya berpakaiannya, gadis itu cukup tomboy.
“Iya ada apa?”
“Namamu Leo, kan?” tanya gadis itu.
Aku mengangguk.
Gadis itu mengulurkan tangan. “Kenalkan namaku Sagitta. Kita satu sekolah kan?”
Aku menjabat tangannya, tersenyum. “Iya benar kita satu sekolah.”
“Nanti jalan ke sekolahnya boleh bareng?”
Aku mengangguk mantap. “Tentu saja.”
Seperti permintaan Gitta, aku disuruh memanggilnya seperti itu, kami berdua berjalan bersama melewati kompleks. Masih ada waktu sekitar sepuluh menit, kami tak harus buru-buru berjalan. Lagipula banyak anak sekolah kami yang berjalan juga.
“Darimana kau tahu namaku?”
“Kau tak tahu?” tanya Gitta heran. “Kau itu populer sekali di sekolah kami, bahkan di sekolah lain juga.”
“Hah?!” Aku menggeleng. “Kau bercanda ya.”
“Astaga… aku serius!” serunya. “Bahkan anak-anak perempuan memberi julukan ‘Leo si tampan yang serba bisa’.”
Aku tertawa, melambaikan tangan. “Jangan menggodaku.”
“Aku tidak menggoda, ini fakta!” serunya lagi namun kali ini dengan nada marah. “Kau itu tampan, keren, luar biasa! Aku lihat semua pertandinganmu, Leo. Awalnya aku tak percaya ada orang yang bisa semua jenis olahraga seperti futsal, basket, voli, badminton, renang, baseball, karate-“
“Oh tidak, tidak, aku masih belum bisa sepak takraw, terus…” aku menghitung dengan jari. “Boxing, lompat indah… polo air aku juga belum bisa, soalnya butuh kombinasi kemampuan-”
“Ah dasar!” Gitta menepuk dahinya. “Kau ini memang merendah untuk meroket ya.”
Aku menggaruk kepala. “Bukan begitu juga sih. Ngomong-ngomong kau banyak tahu tentangku ya?”
“Oh, itu,” Gitta mengalihkan pandangannya sejenak, kemudian tiba-tiba langkahnya terhenti.
Aku menoleh, Gitta tertinggal cukup jauh dariku. “Ada apa, Git?”
Gitta menunduk. “Itu karena aku selalu memperhatikanmu, aku…”
Suara Gitta amat pelan, aku hendak menghampirinya. Namun tiba-tiba pandanganku teralihkan oleh seorang gadis yang berjalan di belakang Gitta. Langkahku terhenti, seluruh tubuhku bahkan aliran darahku mungkin juga ikut berhenti.
Gadis itu… akhirnya kutemukan. Gadis yang selalu menunjukkan ekspresi putus asa. Gadis yang selalu menghantuiku dalam mimpi. Gadis yang bunuh diri itu, ada dihadapanku saat ini.
Jangan lupa vote comment yaa gaiss^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Save You
RomanceSeorang gadis tengah berdiri di pinggir gedung paling tinggi di kota. Mata sayunya menatap purnama. Angin kencang berembus mengibarkan gaun merah mudanya. Wajahnya memancarkan ekspresi penuh keputusasaan. Seakan mengerti apa yang hendak gadis itu la...