KETAKUTAN

20 23 20
                                    

“Wah berarti biang keroknya kau, Leo,” kata Cap tanpa dosa.

Gila! Ini benar-benar gila! Ternyata benar, aksiku menguntit gadis itu benar-benar mencolok sampai diketahui kakak kelas. Sial! Padahal aku hanya penasaran dan ingin mengajaknya ngobrol tapi malah berakhir seperti ini.

“Leo, kau tahu,” kata Gitta. “Anak satu kelas kita berpikir kalau kau benar-benar menyukai Leo-”

“Cukup!” Aku berdiri. “Sudah cukup, aku tidak menyukai Leona. Titik. Sekarang aku mau pulang.”

Aku terus kepikiran. Kalau disusun kronologinya, kakak kelas itu sengaja menjatuhkan buku tugas Leona terus mereka ambil. Leona yang meminta bukunya dikembalikan harus memenuhi syarat dari kakak kelas itu. Padahal Leona tidak memikatku dengan apapun. Kenapa selalu berakhir seperti ini sih. Inilah yang membuatku tak pernah langgeng dengan mantan-mantan pacarku.

Sial! Kali ini memang salahku. Gara-gara mimpiku itu khususnya. Tidak, tidak, aku harus memperbaikinya. Oh benar! Aku punya ide! Aku harus melakukannya besok.

“Kalian berdua pulang duluan saja,” kataku pada Gitta dan Cap.

Seakan tahu maksudku, mereka berdua tak mengajukan pertanyaan dan langsung pulang.
Aku diam-diam membuntuti Leona yang mulai melakukan hukumannya. Kamar mandi sekolah berada di koridor paling ujung, dekat dengan ruang-ruang ekskul. Kepala sekolah itu cukup baik, dia tidak menyuruh Leona membersihkan semua kamar mandi di sekolah, melainkan hanya salah satunya saja.

Setelah mengambil ember yang berisi air dan pel lantai, Leona mulai membersihkan kamar mandi. Aku juga sudah siap dengan ember dan pel di tangan. Aku masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan tanpa sepengetahuan Leona.

“Kau!” Leona menyadari keberadaanku beberapa menit kemudian. “Kenapa kau disini?!”

“Bukankah sudah jelas? Aku membantumu,” Kataku santai sambil terus mengepel.

“Pergi!” teriaknya.

“Tidak mau.”

“Kubilang pergi!” Leona merebut pel yang ada di tanganku.

Aku merebutnya kembali. “Tidak mau.”

“Dasar keras kepala!”

“Kau yang keras kepala!” Bentakku.

Leona termangu, ekspresinya tak pernah kuduga sebelumnya. Dia tampak terkejut dan takut.

“Ah maaf!” Aku menutup mulut.

“Ini hukumanku, jadi biar aku yang melakukannya.” Nada suaranya mulai rendah. “Tolong jangan ikut campur.”

“Leona dengar,” kataku sambil menyandarkan pel di tembok. “Kenapa kau tidak membela diri saat di ruang BK kemarin? Padahal kejadiannya tak seperti itu kan?”

“Kau menguping?!” Dia mengerutkan alisnya.

“Iya benar, aku menguping dan aku tahu kejadian sebenarnya tidak seperti itu,” jelasku.

“Sok tahu.”

Aku mengepalkan tangan. Gadis ini benar-benar! Tidak, tidak, aku harus menahan emosiku. “Aku memang tahu dan ini juga salahku. Aku minta maaf dan biarkan aku menanggung hukuman ini juga.”

Leona menunduk. “K-Kalau sampai ketahuan… hukumanku pasti bertambah.”

“Jadi itu yang kau takutkan?”

Leona mengangguk pelan. “Selama ini… aku belum pernah dihukum. Papa dan Mama tidak pernah membentakku seperti kemarin dan aku juga tak pernah dipanggil BK sebelumnya.”

Save YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang