LEONA

38 40 51
                                    

Aku refleks berjalan cepat, menghampiri gadis itu. Dia memakai seragam yang sama sepertiku. Ekspresinya kali ini berbeda, dia sedang mengbrol dengan temannya dan sesekali tersenyum. Ekspresi yang tidak pernah kutemukan dalam mimpi. Entahlah, menurutku ekspresinya kini terlihat dibuat-buat.

“Kau!” Aku menyentuh pundaknya.

Gadis itu terkejut, heran menatapku yang tiba-tiba menghampirinya dan menyentuhnya.
Aku refleks mengangkat wajah gadis itu dengan kedua tangan, mendekatkan wajahku. Benar, mata lebarnya, hidung mancungnya, bibir tebalnya, semuanya sama persis dengan gadis yang ada dalam mimpiku. Tidak salah lagi, aku menemukannya! Oh, tunggu, aku harus memastikan sesuatu.

Aku meraih tangan gadis itu, tidak ada luka di pergelangan tangannya. Kepalanya tidak ada darah, kaki dan tangannya tidak patah. Aku mengecek seluruh tubuhnya karena bunuh diri yang dilakukan gadis itu bermacam-macam. Tusukan! Aku harus mengecek jantungnya.

PLAK!

Aku termangu. Tamparannya benar-benar kuat. Pipiku rasanya panas seperti terbakar api kompor. Mungkin kalau aku bisa lihat, terdapat cap telapak tangan gadis itu di pipiku. Aku mengusap pipi, panas. Ini pertama kalinya aku ditampar.

Gadis itu memeluk tubuhnya dengan kedua tangan. Ekspresinya menunjukkan perasaan marah, sebal, dan yang lebih mendominasi adalah perasaan takut.

“Oh, tidak, aku tidak bermaksud-” Aku bingung harus berkata apa. Aku membungkukkan badan. “Maaf!”

Dia tidak menjawab permintaan maafku dan sejenak kemudian dia berlalu pergi bersama temannya. Sial! Aku memberikan kesan pertama yang buruk padanya. Pasti dia berpikir aku orang mesum.

“Sakit ya, Leo?” Gitta menepuk punggungku, kemudian tertawa. “Kalau aku jadi gadis itu, pasti aku juga akan menamparmu. Kau ini kenapa sih? Kau kenal dia?”

Dibilang kenal juga tidak, aku bahkan tidak tahu namanya, tapi aku amat mengenalnya dalam mimpi. Kalau aku bercerita pada Gitta, dia pasti tak akan percaya dan malah menganggapku gila. Inilah yang membuatku memutuskan untuk tidak bercerita pada siapapun soal mimpi itu.

“Aku… tidak mengenalnya.”

“Begitu ya.” Gitta tampak sedikit berpikir. “Jangan-jangan benar…”

“Apa?”

Gitta menatapku tak percaya. “Kau ini meskipun hebat tapi mesum.”

“Omong kosong apa lagi itu.” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. “Kau tadi mau bilang apa, Git?”

Gitta menggeleng, tersenyum. “Bukan apa-apa, lupakan saja.”

Ternyata bahaya sekali saat aku membiarkan tubuhku refleks melakukan sesuatu. Saat ini pasti banyak anak yang berpikir aku orang mesum karena cukup banyak anak yang memperhatikan keributan kecil tadi. Lihatlah! Saat aku melewati koridor kelas, semua mata tertuju padaku.

Upacara penerimaan siswa baru berlangsung cukup lama sampai kakiku terasa kram karena terus-menerus berdiri di lapangan. Belum lagi panas matahari benar-benar menyengat. Setelah upacara, kami menuju kelas masing-masing. Namaku berada di kelas C, syukurlah dekat kantin. Aku memilih bangku paling belakang, kebetulan belum ada yang menempati. Bangku deretan itu selalu menjadi favorit.

“Leo, aku boleh duduk disampingmu?”

Aku menoleh, ternyata Gitta. “Tentu saja.”

“Leo!”

Aku terkejut. Suara besar itu langsung memenuhi ruangan, sontak seisi kelas menoleh pada asal suara. Anak laki-laki yang tubuhnya dua kali lebih besar dariku berjalan menghampiriku. Aku mendongak, jujur saja dia sangat tinggi. Alis dan rambutnya tebal, wajahnya benar-benar tajam.

“Kau tak mengenalku, Leo?” Laki-laki itu menepuk punggungku, keras.

Aku hampir saja mengeluh kesakitan, kalau saja tidak memikirkan harga diri.

“Parah sekali!” Laki-laki itu mengulurkan tangan. “Aku sudah berulang kali berjabat tangan denganmu. Namaku Caprilio, sudah ingat?”

Aku menerima jabatan tangannya sambil mengingat. “Oh!” Aku refleks berdiri. “Kau yang dijuluki ‘Unta Padang Pasir’ kan?”

“Sssttt!” Caprilio menempelkan jari telunjuknya di bibirku. “Jangan sebut julukan norak itu, panggil saja aku Cap, oke?”

Aku mengangguk.

“Akhirnya aku satu sekolah denganmu!” Io menarik bangku di sampingku, duduk. “Itu berarti sekarang aku bisa satu tim denganmu. Wah aku ingat sekali!” seru Cap. “Timmu selalu menang saat bertanding dengan timku. Kau keren, Leo! Teknik-teknik yang kau gunakan, selalu kami pelajari saat latihan.”

“Benar, kan?!” sahut Gitta yang sejak tadi mendengar percakapan kami. “Leo memang keren.”

Cap menatap Gitta bingung.

“Kami juga baru saja berkenalan. Namanya Gitta,” kataku.

Mereka berdua saling bersalaman. Tak butuh waktu lama, mereka sudah akrab. Aku senang tapi obrolan mereka itu topiknya sama sejak tadi pagi. Ya benar, membicarakanku. Aku bosan sekali mendengarnya.

“Leo, kau mau duduk dimana?”

Merasa namaku dipanggil, aku menoleh ke sumber suara. Dua orang gadis sedang mengobrol sambil mencari bangku yang masih kosong. Tiba-tiba salah satu gadis itu menatap tajam ke arahku. Dia! Gadis bundir itu! Aku tiba-tiba salah tingkah, tenyata dia satu kelas denganku.

Gadis itu mengalihkan pandangannya. “Aku tak suka duduk di belakang, duduk disini saja,” kata gadis itu pada temannya.

Gadis itu duduk di bangku paling depan. Kebetulan macam apa ini? Sepertinya dewi takdir memang sengaja mempertemukan kami. Jika tidak, maka gadis itu tak mungkin terus menerus muncul dalam mimpi anehku. Pasti dewi takdir memang menyuruhku untuk menyelamatkan gadis itu, itulah yang kupercaya selama ini.

“Baiklah semua siswa sudah masuk kelas, kita mulai absensinya. Nanti tolong perkenalkan diri kalian dengan menyebutkan nama dan asal sekolah.” Wali kelas kami perempuan, masih muda. “Sebelum itu, perkenalkan nama ibu Aquaria, kalian bisa memanggil bu Ria saja. Oke sekarang giliran kalian dimulai dari bangku belakang.”

Bu Ria menunjukku. Aku mengangguk, mulai memperkenalkan nama dan asal sekolah seperti yang dimintanya, diikuti oleh Gitta, Cap, dan anak-anak lain. Saat giliran ‘Gadis Bundir’ itu, aku membuka telinga lebar-lebar.

“Nama saya Leona, dari SMP Maju Bangsa.” Gadis itu kembal duduk.

“Wah ada dua ‘Leo’ dikelas ini ya?” kata bu Ria. “Leona, bagaimana kalau kamu dipanggil ‘Na’ saja? Biar tidak bingung dengan Leo yang duduk di belakang itu.”

Gadis itu mengangguk. “Boleh.”

“Sip!”

Leona, ya? Jangan-jangan kami memang ditakdirkan bertemu karena nama kami hampir sama? Tidak juga sih, kalau memang begitu, harusnya kini aku berada di sekolah yang sama dengan anak bernama Leo di seluruh dunia ini. Aku memegang kepala dengan kedua tangan usai mencatat nama gadis itu di buku catatan. Gadis bundir itu, Leona, selalu saja menyita perhatianku sejak dua tahun yang lalu.

***

Karena ada sedikit keperluan, aku pulang akhir. Di lapangan sudah tak tampak anak-anak latihan ekskul. Sekolah sudah sepi dan hanya tersisa petugas kebersihan yang membersihkan ruang-ruang kelas. Aku berjalan santai di koridor, melewati kelas-kelas, lapangan futsal, dan ruang-ruang ekskul.

Langkahku terhenti, jantungku berdegup kencang. Sesosok siswa perempuan sedang berdiri di sudut bangunan sekolah. Sekujur tubuhnya basah kuyup seperti habis tersiram air dan seragamnya penuh noda. Awalnya kupikir hantu, namun melihat dia mengemasi isi tasnya yang juga tersiram air membuatku menghapus jauh-jauh pikiran itu.

Gadis itu menyibak rambut basahnya sehingga wajahnya telihat jelas olehku. Gadis itu! Leona! Rambut hitam panjangnya tak bisa kulupakan. Apa yang terjadi dengannya?! Aku berlari menghampirinya, jarak kami cukup jauh.

Gadis itu memeluk tubuhnya sambil menatap langit, dia tidak menyadari keberadaanku. Ekspresi wajahnya... ekspresi itu… berulang kali kulihat dalam mimpi. Ekspresi keputusasaan.

“Memang lebih baik aku mati saja.”

Save YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang