“Na, Leona.”
Berulang kali aku mengajaknya bicara tapi dia selalu bersikap dingin, pura-pura tak mendengar, berlalu begitu saja. Aku sampai habis akal dan seperti orang gila yang bicara sendiri. Mimpi waktu itu, tepatnya dua minggu yang lalu, tidak seperti biasa.
Biasanya gadis itu bunuh diri tapi mimpi kemarin tidak, mungkin lebih tepatnya akan bunuh diri. Kemudian dia memakai seragam, bukan gaun warna merah muda. Lokasi tempatnya juga di sekolah, seakan mimpi itu nyata seperti keadaan saat ini.
Karena tak bisa bicara dengan gadis itu, aku memutuskan untuk mengamatinya saja. Hasil dari pengamatanku, dia sangat rajin seperti siswa teladan. Dalam bidang olahraga, nol. Dia sangat buruk dalam olahraga apapun tapi kusadari kalau dia punya kekuatan yang cukup besar. Ini dibuktikan dengan rasa sakit bekas tamparannya yang masih terasa hampir tiga hari.
Bidang akademik… mungkin biasa saja. Dia seakan tenggelam oleh siswa-siswa yang aktif di kelas, terutama ketua kelas. Ketua kelas kami perempuan, meski begitu dia bisa diandalkan. Karena aktif, pintar, dan bisa diandalkan, dia disukai banyak guru dan punya banyak teman.
Oh, maaf, mari kita kembali membicarakan gadis itu, Leona. Dia sama sekali tidak populer. Bahkan kalau aku bertanya pada teman sekelas, ada beberapa yang tidak tahu kalau gadis itu namanya Leona. Padahal menurutku dia cukup cantik. Mungkin sifat dinginnya itu yang membuat para cowok mengurungkan niat untuk mendekatinya.
“Kau suka gadis itu ya, Leo?”
“Hah?!” Suara itu mengejutkanku sampai aku berjingkat. Ternyata Gitta. “Gadis itu? S-Siapa?”
Sial! Apakah aksi menguntitku selama ini begitu mencolok.“Leona. Benar kan?” Gitta memiringkan kepalanya.
Aku menggeleng keras-keras. Siapa bilang aku suka, hm! Aku cuma penasaran. “Tentu saja tidak. Aku cuma ingin minta maaf untuk kejadian waktu itu. Kau lihat sendiri kan, Leona sepertinya masih ada dendam padaku.” Aku mengarang alasan.
Gitta manggut-manggut. “Benar juga sih. Mau kubantu?”
“Bisa? Gimana caranya?”
“Nanti waktu pulang sekolah saja kau temui dia. Kan gak banyak anak di sekolah tuh, mungkin aja dia malu kalau kau minta maaf terang-terangan seperti waktu itu.”
Aku diam sejenak. “Tapi gimana cara mengajaknya bicara?”
“Serahkan padaku.” Wajah Gitta penuh kepercayaan diri.
Seperti yang direncanakan, kami berencana pulang akhir. Cap juga ikut-ikutan. Rencananya, Gitta akan pura-pura mengajak Leona untuk menemaninya pergi ke ruang ekskul atletik. Oh ya, sebagai info, Gitta memutuskan masuk ekskul atletik karena kecepatan larinya diluar akal sehat. Nah, saat Gitta masuk ke ruang ekskulnya, baru aku akan muncul dan minta maaf. Selesai.
“Leona, kau dipanggil guru BK,” kata Ketua kelas saat semua anak sedang berkemas untuk pulang.
Seisi kelas hening, semua mata tertuju pada Leona. Ini kali pertama siswa di kelas dipanggil guru BK. Biasanya kalau dipanggil guru BK, pasti siswa itu sudah melanggar aturan. Memangnya apa kesalahan yang dilakukan anak se-rajin Leona? Kami bertiga saling menoleh. Rencananya berpotensi gagal kalau seperti ini.
“Kita ikuti Leona ke ruang BK saja,” usul Gitta.
Aku dan Cap mengangguk mantap.
Kami bertiga duduk di bangku depan ruang BK sambil pura-pura mengobrol dan membawa makanan. Seorang wanita datang dari arah parkiran terburu-buru. Wanita itu memakai blazer dan rok selutut, tampak seperti orang kantoran. Rambut panjangnya disanggul dan wajahnya tampak tegas.
“Siapa dia?” tanyaku.
“Masih nanya lagi.” Gitta memutar bola matanya. “Tentu saja orangtuanya Leona, Leo.”
“Wah berarti tante cantik tadi sudah punya anak dong, hampir aja aku minta nomor teleponnya,” celetuk Cap.
Gitta memukul lengan Cap. “Dasar buaya!”
Di dalam ruang BK ada Leona dan Ibunya, wali kelas, guru BK, dan satu siswi lagi tapi aku tidak mengenalnya. Siswi itu juga ditemani orangtuanya yang nampak penuh amarah. Kata Gitta, siswi itu kakak kelas. Aku tak tahu kalau Leona bisa punya masalah dengan kakak kelas.
“Jadi Leona, benar kau menarik rambut kakak kelasmu?” tanya guru BK.
Leona mengangguk pelan sambil menunduk. Dari lokasiku saat ini, aku bisa melihat ekspresi Leona yang ketakutan.
“Kenapa kau melakukannya?”
Leona diam sejenak. “Buku saya diambil, Pak.”
“Benar bukunya kau ambil?” tanya guru BK pada kakak kelas.
“Saya hanya memungut buku yang jatuh di jalan. Tapi dia langsung salah paham mengira saya hendak membuang bukunya. Terus dia langsung menarik rambut saya.” Kakak kelas itu berbicara tanpa membiarkan Leona membela diri. “Kalau tidak percaya, saya bisa membawa saksinya.”
Dua orang siswi masuk ke ruang BK. Mereka memberi kesaksian sama persis seperti yang dikatakan oleh kakak kelas itu. Saat aku menatap Leona, dia mengepalkan kedua tangannya seakan tak setuju dengan kesaksian mereka. Tapi dia tetap diam, tak menyela mereka sedikitpun.
“Berhubung sudah ada dua saksi yang melihatnya langsung dan tak ada pembelaan dari Leona-” guru BK itu menatap Leona. “Leona, kau dihukum membersihkan kamar mandi selama seminggu mulai besok.”
“Wah itu tidak setimpal, anak saya kesakitan saat ditarik rambutnya. Apa dia mau tanggung jawab kalau rambut anak saya botak?” kata Ibu kakak kelas keberatan.“Ini sudah peraturan sekolah, Bu. Lagipula anak Ibu tidak sampai botak.”
Begitulah, akhirnya rencana kami bertiga gagal. Kakak kelas dan Ibunya pun segera pulang diikuti oleh kedua teman kakak kelas itu. Saat aku melihat mereka keluar ruang BK, mereka malah tertawa terbahak-bahak. Leona dan Ibunya menyusul keluar ruang BK, kami bertiga langsung pura-pura mengobrol.
“Memalukan!” kata Ibu Leona. “Kau ini kenapa, sih? Padahal di rumah kau jadi anak baik-baik tapi di sekolah malah jadi berandalan. Lihat saja, Mama akan lapor ini pada Papamu biar kau dihukum.”
Leona tidak berkata apa-apa. Dia hanya diam dan terus-menerus menunduk.
“Kalau sampai berita ini tersebar sampai ke teman-teman Mama maupun Papa, mau ditaruh mana muka kita?!” bentak Ibu Leona.
Mereka berdua semakin jauh dari kami dan hilang di kelokan koridor kelas.
“Tenyata tante cantik itu kejam juga.” Cap tampak marah. “Aku simpati sama Leona.”
Aku tidak berkomentar, Gitta juga hanya diam.
“Bukan seperti itu kejadiannya,” kata Gitta tiba-tiba.
“Kau tahu, Gitta?!” seru Cap. “Kenapa kau tidak jadi saksi membela Leona tadi, huh!”
“Aku tidak melihatnya langsung, tapi seseorang menceritakannya padaku.” Gitta menatap kami berdua. “Kau tahu Piscessa teman akrabnya Leona, kan? Yang duduk di samping Leona.”
Aku mengangguk mantap. Sejak bertemu Leona, aku tahu dia hanya punya satu orang teman. Bahkan mereka sudah bersama sejak hari pertama masuk sekolah, hari aku ditampar oleh ‘Gadis Bundir’ itu.
“Dia melihat semua kejadiannya.” Gitta mulai bercerita. “Saat itu mereka hendak mengumpulkan tugas di ruang guru, namun Cessa lupa membawa tugasnya dan meminta Leona untuk menunggunya mengambil tugas. Saat kembali, Cessa melihat buku tugas Leona direbut oleh kakak kelas itu.”
Sudah kuduga, Leona anak yang rajin tak mungkin membuat kesalahan seperti itu. Aku dan Cap serius mendengar cerita Gitta.
“Kakak kelas itu bilang kalau Leona mau buku tugasnya kembali, dia harus memberitahu sebuah rahasia.”
“Rahasia?” tanyaku dan Cap kompak.
Gitta mengangguk. “Kakak kelas itu minta diberitahu rahasia-” Gitta diam sejenak. “Rahasia memikat hatimu, Leo.”
“HAH?!” Aku refleks beteriak. “Aku?!”
Gitta mengangguk. “Kakak kelas itu tahu kalau kau memperhatikan Leona setiap saat. Jadi mereka kira kau suka sama Leona.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Save You
RomanceSeorang gadis tengah berdiri di pinggir gedung paling tinggi di kota. Mata sayunya menatap purnama. Angin kencang berembus mengibarkan gaun merah mudanya. Wajahnya memancarkan ekspresi penuh keputusasaan. Seakan mengerti apa yang hendak gadis itu la...