Happy Reading
*
*Seraphina melenguh begitu kesadaran menerpanya. Tatapannya menelisik ruangan yang berbeda jauh dari kamarnya, terlihat lebih luas dan dipenuhi perabotan mahal. Sontak membuat tubuhnya bangkit berdiri.
"Syukurlah kamu sudah bangun, Nak," sahut wanita paruh baya dari arah pintu.
Fragmen membawanya menuju kejadian malam tadi. Kilasan tentang kepahitan hidup kembali membawa perempuan itu pada satu jeda. Serupa menghantam luruh tubuhnya berakhir menyisakkan memar membiru.
"Kenapa saya bisa di sini, Tante?" lirih Seraphina. Seingatnya semalam dirinya hanya menangis sembari merapalkan kata maaf untuk Bian. Setelah itu Seraphina tak mengingat apapun lagi.
"Kamu pingsan semalam. Beruntung papanya Bian dokter, jadi bisa langsung diagnosa kalo kamu ..., syukurnya cuma kecapekan," paparnya membuat Seraphina menunduk malu.
Rasa bersalah mendominasi perempuan itu mengingat kebohongan-mengakui anak yang dikandung Chandra adalah hasil perbuatan Bian-yang menggemparkan orang tua lelaki itu.
Untuk sekarang biarkan Seraphina egois untuk janinnya. Sekali saja perempuan itu ingin berlaku tega untuk membuatnya bertahan hidup. Bukan hal mudah jika dirinya harus menanggung perbuatan dosanya. Terlebih mengingat bagaimana perlakuan Bian selama ini. Jadi, bisakah izinkan Seraphina menghukum lelaki itu dengan caranya?
"Ayo, kamu makan dulu. Mama sudah siapin bubur," ajak Gendis— ibu Bian. Menuntun calon menantunya menuju ruang makan.
"Mama?" beo Seraphina.
Terlihat senyum tulus wanita itu ketika ekor mata Seraphina meliriknya. "Iya. Panggil mama sama seperti Bian. Dua hari lagi kamu akan jadi menantu kami," tuturnya mengelus lembut pundak Seraphina.
Perempuan itu terenyuh tanpa sadar bibirnya membentuk senyum. Tidak lama saat netranya dan Bian bersibobok. Raut wajah lelaki itu masih betah mengeras, membuat Seraphina meringis takut.
"Makan yang banyak, Nak. Ingat, di perut kamu sedang tumbuh satu nyawa," sahut Gendis mengaduk bubur calon menantunya. Setelahnya membiarkan Seraphina mengambil alih makanannya.
"Itu bukan cucu Mama," cibir Bian.
"Diam kamu, Bian. Papa enggak pernah ajarin kamu jadi berengsek," sembur Aryo— ayah Bian— baru datang dari arah kamar.
"Sejak kapan Papa ngajarin Bian? Bukannya selama ini Papa selalu sibuk sama pekerjaan?" sindir Bian teramat santai.
"Bian!" bentak Aryo menarik kasar kursi dari balik meja makan.
"Apa? Papa mau tonjok Bian lagi? Silakan. Nih, muka Bian sebelah kiri masih mulus." Bian menyodorkan wajahnya. Tersenyum mengejek begitu wajah Aryo menegang sempurna.
"Biantara, sudah, ya. Calon istri kamu lagi hamil. Jangan sampai calon anak kalian kenapa-kenapa," lerai Gendis menyodorkan air ke arah Aryo.
"Dia bukan anak Bian. Kenapa, sih, Mama enggak percaya." Tunjuk Bian pada perut Seraphina.
Gendis tentu tak mempercayai ucapan anaknya. Cukup tau sepak terjang Bian selama ini. Walaupun dia dan Aryo tak memantau langsung perkembangan Bian. Tapi mereka tentu tak lepas pengawasan. Apalagi Biantara Arjuna gemar sekali membuat onar.
Ke sekolah hanya mengugurkan kewajiban. Lanjut berkumpul bersama perkumpulannya di bangunan tua itu. Berakhir menghabiskan malam di pub. Jika tak mengingat begitu susahnya Gendis dan Aryo menunggu buah hati mereka, sudah sejak lama Biantara Arjuna dimasukkan ke pesantren.
KAMU SEDANG MEMBACA
P E N D A R (On Going)
Teen FictionKesalahan masa lalu membawa Seraphina pada kisah yang tak pernah disangkanya. Terjebak bersama lelaki itu menjadi kemustahilan untuk dibayangkan. Tapi garis takdir selalu punya cara sendiri, mengajak Seraphina bermain-main. Semua terjadi karena mulu...