Happy Reading
*
*
Ketika orang berada mengatakan ada rencana, itu tidak lain sudah terencana, atau bahkan sementara terlaksana. Begitu juga yang dirasakan Seraphina. Semenjak Gendis membuatnya mengundurkan diri— sebagai pegawai di toko buku tua itu— ia sudah dibuatkan jadwal aktivitas.
Pagi ini setelah meminum vitamin, Seraphina diminta bersiap ke tempat prenatal— berlokasi di daerah Jagakarsa— bersama Bian. Gendis memilih tempat itu setelah beberapa rekomendasi temannya yang sudah memiliki cucu. Meralat ucapannya beberapa hari lalu, sementara Seraphina hanya mampu tersenyum pasrah.
"Bisanya cuma ngerepotin!" Seraphina menjadi tuli setiap Bian mengeluarkan suara.
Saat ini mereka sedang diperjalanan. Setengah jalan sudah dilewati dengan keterdiaman. Seraphina melirik Bian melalui ekor matanya. Wajah lelaki itu berkerut kesal tanpa ditutup-tutupi.
"Kelas lo pertemuan berapa jam?"
Seraphina menengok sebentar. "Mana gue tau. Gue aja baru mulai masuk hari ini," ketusnya.
"Kalo lama, gue tinggal!" Ancaman itu rupanya tidak memengaruhi Seraphina.
Seraphina mengerling malas, "tinggalin aja, paling gue tinggal ngadu." Enteng sekali, padahal dadanya bergemuruh hebat. Menanti reaksi Bian.
Dada Bian kembang-kempis menahan gemuruh untuk tidak menghancurkan setir mobil yang berada dalam genggamanya. "Berengsek!" Ia menatap Seraphina nyalang. "Lo berani sama gue?!" bentaknya.
Sedang yang dibentak menggeser duduknya hingga menyentuh pintu mobil. Berusaha meredakan keterkejutan dari reaksi Bian. Seperti belum cukup, Bian kembali memukul setir mobil— kali ini menghasilkan suara klakson.
"Gue cuma mau hidup tenang," sahut Seraphina— tenang— tanpa menengok lawan bicaranya.
Tawa Bian menggema. Kali ini lebih dibuat-buat. "Hidup tenang lo bilang? Cih." Satu tangannya melepas genggaman setir, beralih meraih dagu Seraphina. "Kubur impian lo itu."
"Sa—kit Bian," ringisnya.
Bian menghempas dagu Seraphina. "Lo mau hidup tenang setelah hancurin kehidupan gue? Enggak akan, Berengsek, enggak akan." Helaan napasnya memehuni ruang mobil. "Masih ingat 'kan, sepicik apa lo sampai tega bohongin orang tua gue. Ngaku kalo anak lo darah daging gue. Biar apa? Biar orang tua gue yang tanggung hidup miskin kalian. Lo masih enggak sadar sejauh apa lo hancurin hidup gue dan keluarga gue? Dan sekarang apa? Lo minta hidup tenang? Enggak waras emang lo."
Seraphina merasakan kepalanya didorong hingga mengenai kaca jendela mobil. Seperti orang kesetanan, Bian membalap mobilnya. Melewati kendaraan yang begitu padat. Darahnya kian mendidih begitu mendengar tangis Seraphina.
Hati Bian bergejolak ingin mengasihani, tapi ketika memori otaknya melakukan kilas balik— dimana Seraphina datang menggemparkan keluarganya— logikanya mengambil peran. Balasan setimpal harus Seraphina dapatkan, atau bahkan harus lebih dari itu.
Bian menepikan mobilnya di area parkir. "Lihat gue!" Seraphina menggeleng. Berusaha membuka pintu mobil yang masih terkunci. "Lihat gue atau kita pulang?"
Berhasil ketika Seraphina berbalik menatap Bian. Tersentak begitu melihat jarak Bian teramat dekat dengan wajahnya. "Ma—mau apa?" gagunya.
Seringai Bian terlihat, "menurut lo?"
Bulu kuduk Seraphina meremang begitu merasakan jemari Bian bermain di lengannya naik hingga ke leher. "Jangan macam-macam Bian!"
"Kenapa? Lo takut?" Bian membelai sisi wajah Seraphina. Menyampirkan anak rambut yang menutupi mata sayu itu. "Bukannya Chandra udah perawanin lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
P E N D A R (On Going)
Teen FictionKesalahan masa lalu membawa Seraphina pada kisah yang tak pernah disangkanya. Terjebak bersama lelaki itu menjadi kemustahilan untuk dibayangkan. Tapi garis takdir selalu punya cara sendiri, mengajak Seraphina bermain-main. Semua terjadi karena mulu...