Dua Asterik

15 1 0
                                    

Happy Reading

*

*

Pagi ini Seraphina bangun lebih lambat dari biasanya. Baru tersadar ketika tangannya tidak sengaja melewati batas sofa, menyebabkan jemarinya terketuk di lantai.

Ringisan dengan suara serak terdengar. Seraphina duduk mengumpulkan kesadaran. Tangannya tanpa henti mengelus jari berwarna kemerahan. Setelahnya Seraphina merenggangkan badan. Pegal mendera, akibat selalu tidur dengan posisi terhimpit. Diameter sofa tentu tidak membebaskan tubuhnya bergerak.

"Astaghfirullah," pekiknya begitu melihat jam dinding. "Gue telat."

Secepat kilat Seraphina menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya mengambil asal baju yang sekiranya cocok. Tidak mengekspos tubuh bekas penganiayaan Bian.

Lima menit telah berlalu, Seraphina tengah mencari ponselnya. Terhenti ketika sekelebat bayangan Bian semalam menyambar memori otaknya. Barang itu sudah hancur tanpa bisa diperbaiki. Kartu sim miliknya bahkan berceceran entah ke mana. Itu juga yang menjadi alasan Seraphina terlambat bangun.

Melirik ke tempat pembaringan manusia gila itu— dijulukinya semalam. Tanda-tanda kepulangan Bian tidak ada. Sprei itu masih tampak rapi.

Tidak ingin membuat dirinya semakin terlambat, Seraphina bergegas turun. Rumah ini terlihat seperti tidak berpenghuni. Seraphina melega, artinya kepergiannya tidak akan diketahui.

Sebelum membuka pintu utama, Seraphina mendengar suara seseorang berbicara. Setelah mengintip, rupanya Gendis dengan ponsel di telinga. Teramat pelan Seraphina menutup pintu, tidak ingin diketahui Gendis.

Seraphina bergerak gelisah di balik jendela tinggi samping pintu utama. Melirik jam kayu setinggi dua meter. Jarumnya bergerak menuju seperempat putaran. Tandanya Seraphina terlambat.

Ribuan pesan dari bosnya mungkin sudah menghantui. Ingin memberi kabar juga percuma. Ponsel itu telah Bian jadikan bangkai.

Samar-samar pendengarannya mendengar deru mobil semakin menjauh. Bergegas Seraphina keluar rumah setelah menutup pintu. Setengah berlari, berharap masih ada angkutan umum yang tersisa sesuai rutenya.

Seraphina berdesak-desakan dengan banyaknya penumpang. Tubuhnya yang ringkih berhasil terombang-ambing di kursi penumpang. Apalagi begitu melihat di sebelahnya seorang pria tua dengan badan gempal, sedangkan di sebelah kirinya seorang ibu-ibu dengan kening menukik tajam, menjadikan suasana tampak mencekam.

Empat puluh menit tidak lagi menjadi waktu standar Seraphina sampai di toko buku. Perjalanan kali ini tampak begitu lama dengan riuhnya kendaraan.

Jemari itu meremas pelan perutnya. Seraphina lupa untuk mengisi amunisi sebelum berangkat. Sekarang sudah waktunya janinnya diberi asupan. Rasa bersalah melingkupi Seraphina. Sepanjang perjalanan terus merapalkan kata maaf. Lalai menjaga calon anaknya.

Kedatangan Seraphina disambut tatapan tajam pemilik toko. Ini sudah kali ketiga— semenjak bekerja— Seraphina melakukan keterlambatan. Terakhir kali waktu Chandra masih membersamai. Menjadi tameng ketika semburan pemilik toko terdengar. Kali ini tameng itu memilih pergi. Kembali pun, Seraphina takut berharap.

"Kamu tahu bukan, saya paling benci sama orang yang kerjanya tidak profesional." Seraphina menunduk dengan tangan memilin jaketnya. "Kalau tahu kamu akan terlambat, minimal kabari saya. Jangan hilang tanpa kabar." Terdengar helaan napas pemilik toko.

"Iya, Pak. Saya mengerti. Saya minta maaf."

"Saya harap kamu tidak mengulangi kesalahan sampai yang keempat kalinya."

P E N D A R (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang