10. Pergi

21 2 0
                                    

Beberapa jam setelah itu, "sendiri" adalah kata yang tepat menggambarkan perasaan ini. Sedih dan kecewa bercampur dengan ragu, "Apakah benar ini pilihan yang tepat untuk saya pilih?". Keyakinan menyudahi ini semua 43 jam yang lalu perlahan memudar dengan sendirinya. Apakah benar ini pilihan yang tepat untuk dipilih. Saya tidak tahu, berkata dalam hati.

Yang jelas saat saya sendiri, semuanya sekarang seakan tak layak untuk diperhatikan, semua berhenti dan hanya ada saya sendiri di dunia ini. Mata saya terpaku pada pepohonan rindang hijau yang berada di belakang masjid seusai sholat ashar. Angin-angin itu sengaja menabrak kepala seolah membiarkan aku agar tetap tersadar.

Rasa meriang yang kurasa semakin menjalar keseluruh tubuh. Kesendirian dan kedinginan secara bersamaan. Semakin menguras pikiran saya akan pertanyaan yang terus bergema dalam setiap langkah ku berjalan ke arah perpustakaan. Tak ingin pulang ke rumah, karena ruang sempit kini tak nyaman buat tubuh saya yang sakit. Pertanyaan itu terus mendengung "Apakah benar ini pilihan yang tepat untuk saya pilih?", seperti menunggu jawaban.

Tetapi saya tidak tahu harus bertanya itu kepada siapa, karena saya sendiri yang memilih pergi dalam sahut-sahutan rasa sakit dan gelombang ego yang terpendam sejak lama. Alasan lelah, lalu memilih pergi membuatku yakin akan pilihan ini. Berjam-jam berlalu rasa lelah ini bukanya malah menghilang tetapi malah tetap menendang-nendang ku, mengejekku karena apa yang saya pilih adalah pilihan idiot sepanjang hidup saya.

Langit mulai menggelap, angin di sekitar pepohonan kini mulai berhenti perlahan. Hari ini mulai padam dengan sendirinya, tapi dengan perasaan saya yang jauh di dalam sana menginginkan dirinya kembali. Karena rasa lelah hanya 1/11 rasa yang seharusnya sudah saya sering rasakan bersamanya, ada rasa-rasa lain juga yang mengapa saya lupakan begitu saja. 

Tetapi saya takut lelah lagi, saya tidak siap dengan rasa yang satu itu. Diri ku tidak sekuat dan sestabil yang telah berlalu. Sisi temperamental saya yang terkubur dalam-dalam semenjak kecil mulai memberontak ke permukaan. Sisi yang tak pernah ingin saya lihatkan ke orang-orang khusus nya yang saya sayangi.

Aku takut, lelah adalah pintu nya untuk masuk ke diriku. Malam setelah saya menghilang itu saya memaki dan menghajar nya dalam diam, saya sadar akan hal itu dan justru yang saya takut, hal seperti itu malah membuat saya lega. Saya takut. 

Kini biar takut ku kusimpan sendiri. Agar tak ada lagi orang yang harus khawatir mengapa saya begini dan begitu. Yang sakit hanya diri sendiri.

Terima kasih, tak perlu lagi menunggu dan menanti. Saya yang tak pantas dan kamu yang selalu peduli membuatku takut melukaimu. Saya yang pergi. 

cerita pendek.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang