5. Traitor

226 157 319
                                    

Hai...... 👋👋👋

Selamat malam semua, aku balik lagi.
Jangan bosan-bosan ya buat baca ceritaku.

Jangan lupa ringankan tangan kalian untuk beri vote+komen ya ☺️

Happy Reading semua 💚





Pagi ini suasana tim VIP terasa canggung, mungkin akibat dari perlakuan Nathan yang dengan sangat jelas membedakan kedua gadis cantik tim VIP. Sejak tadi, tidak ada satu pun yang berani menegur Prisa, karena sejak kedatangannya, gadis itu seakan menjaga jarak, melakukan interaksi seperlunya saja. Tidak ada kekonyolan Dion, dan perdebatan antara Dion dan Meira yang biasanya mengisi kegiatan mereka, disela-sela mengerjakan tugas. Mungkin karena mereka juga sadar, jika sang princess sedang bersedih.

"Sa, lo okey?" tanya Meira, menghentikan jari gadis itu, yang sejak tadi menari di keyboard komputernya.

"Kalian enggak istirahat?" ujar gadis itu kepada rekan-rekannya, karena melihat jam di sudut layar komputer yang sudah menunjukkan waktu makan siang.

Hana menyahut lembut, diiringi helaan napas. "Sa, jangan kaya gini. Kamu tetap harus makan."

"Bener banget. Lagian waktu yang lo sisihkan untuk makan enggak bakal buat Kusuma Corp bangkrut," sarkas Dewi, melihat keberadaan Nathan.

"An, kenapa belum makan. Kamu masih harus minum obatkan? Lagi pula ini sudah jam istirahat. Bukan begitu, Radit?" interupsi pria itu, menatap tajam ke arah Radit, seolah menyalahkan pria itu akan kelalaian gadis kesayangannya yang belum diberikan ijin untuk makan.

"Tidak ada yang melarang dia untuk istirahat pak, terutama mas Radit," ujar Prisa dingin, masih fokus pada layar komputernya. "Sa laper, ayo ke kantin," ujar gadis itu mengajak rekan se-timnya, sehingga hanya menyisakan Nathan dan Briana.

"Mas seharusnya jangan begitu, Ana hanya segan aja mau keluar. Sedangkan mereka belum pada istirahat," cicit gadis itu merasa bersalah.

Merasa bersalah karena membuat Briana tidak nyaman, Nathan menyaut sembari mengelus kepala gadis itu. "Lain kali kamu enggak perlu sungkan kaya gitu, ok."

***

Sesampainya di kantin, mereka duduk di meja yang biasa mereka tempati. Tentunya dengan formasi lengkap, dan jangan lupakan Meira dan Dion yang senantiasa berdebat di setiap kesempatan.

"Maaf, Ana boleh enggak gabung disini?" tanya gadis itu ragu-ragu. Menghentikan perdebatan antara Dion dan Meira.

"Tentu, duduk aja, An," balas Radit, karena rekan se-timnya yang diam saja.

"Mas, enggak papakan kalau kita gabung dengan mereka?" tanya gadis itu kepada Nathan, yang dibalas anggukan oleh pria itu. Sehingga kini posisi Nathan dan Prisa menjadi berhadap-hadapan.

"Kalian santai saja, anggap saja saya tidak ada," interupsi pria itu, karena merasa jika kedatangannya mengakibatkan keheningan di antara mereka.

"Sa," heboh Meira, menepuk pundak gadis itu. Menarik atensi orang-orang di sekitar mereka.

"Apaan sih Ra, sakit tau pundak gue," sungut gadis itu, karena pukulan Meira yang tidak tanggung-tanggung.

"Liat tuh, ke depan ada-"

"Bisa saya berbicara dengan Prisa?" interupsi seseorang, memotong perkataan Meira.

"H-hay, Bram," sapa Meira canggung, memang mereka saling mengenal sejak SMA, tetapi sudah lama tidak bertemu.

"Hai Ra, boleh gue pinjam Prisa?"

"Boleh kok, boleh banget malah. Enggak lo pulangin juga enggak papa, ikhlas gue," ujar gadis itu bercanda, dan ditanggapi senyuman oleh pria itu.

Sedangkan objek yang mereka bicarakan hanya memutar mata malas.

"Sa, buruan. Lo suka apa kalau cowok lo diliatin sama cabe-cabean?" bisik Meira, sehingga mau tidak mau terpaksa gadis itu bangkit. Dan melangkah terlebih dahulu, meninggalkan Bram.

"Have fun guys, gue nitip ponakan yang lucu ya," teriak Meira, yang tidak mendapatkan tanggapan apa-apa dari kedua sejoli yang semakin jauh meninggalkan mereka.

"Cowok itu siapa, Ra?" tanya Dion, penasaran akan pria asing yang baru saja mengajak princess mereka pergi.

"Namanya Bram, tunangan Prisa," jelas Meira, yang ditanggapi anggukan dari rekan-rekannya.

"Eh, tapi kok Prisa nggak pernah posting tunangannya, ya? Jangan-jangan lo bohongi kita, ya?" Cerca Dion, memicingkan matanya.

"Terserah deh, lo mau percaya atau enggak. Bukan urusan gue juga," acuh Meira, tanpa menatap Dion. Tetap fokus pada makanannya.

Sikap acuh gadis itu, hanya dibalas decakan oleh Dion.

Tanpa sadar, jika ada seseorang yang mengepalkan tangannya di bawah meja, akibat kebersamaan Prisa dan Bram.

***

Hamparan bunga mawar yang tertangkap di indra penglihatan Prisa menjadi objek yang sejak lima menit lalu ia perhatikan, tentu saja untuk mengabaikan kehadiran pria di sampingnya.

Tetapi lama kelamaan gadis itu merasa jengah juga, dan akhirnya memutuskan untuk memulai pembicaraan.

"Kamu ajak aku hanya untuk diam-diaman kaya gini?" dengus gadis itu, tanpa menatap lawan bicaranya.

"Mama mengajak kamu untuk makan malam di rumah," jelas pria itu akan maksud kedatangannya.

"Seriously? Kamu buat geger karyawan hanya untuk ini?" ujarnya sembari menghadap ke arah pria itu.

"Maksud kamu?" tanya Bram, tidak mengerti.

"Kita tidak hidup di jaman purba, yang untuk berkomunikasi aja sulit. Kamu bisa bilang lewat handphone, bukan?" ujarnya terkekeh hambar. "Kecuali kalau kamu sudah hapus nomor aku," tambahnya sinis.

"Sa, bisa enggak sih, sekali aja kita enggak berdebat kaya gini? Bahkan setelah dua tahun?" ujar pria itu tidak percaya.

"Kamu nyalahin aku? Bahkan setelah dua tahun kamu hilang tanpa kabar?" lugasnya, sembari bersedekap dada. Menantang pria itu, untuk mengakui kesalahannya.

"Nyatanya, dua tahun yang kita lewati enggak bisa merubah kamu menjadi dewasa," bantah Bram.

"Lalu gimana dengan kamu? Kamu juga hanya seorang pengecut yang lari dari kesalahan yang kamu perbuat," decih Prisa. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran pria itu.

"Kamu tanya aku? Kamu enggak sadar sama kesalahan kamu sendiri, kamu hampir menghilangkan nyawa seseorang dua tahun yang lalu," ujar pria itu, sembari menunjuk Prisa.

"Enough, Bram," teriak gadis itu. "Jangan pernah melemparkan kesalahan yang kalian perbuat ke orang lain. Kamu tau, kalian sama-sama penghianat yang menjijikkan," ujar gadis itu bergetar, menandakan jika ia dikuasai oleh kemarahan.

"Lihat! Kamu selalu tidak terima dikatakan kekanakan, tapi inilah Prisa Rosalin yang sebenarnya," jelas Bram kesal.

"Loh, yang aku bilang memang benar, kan? Kamu dan dia benar-benar selingkuh dari aku?" ujarnya menggebu-gebu, sembari membuang muka.

Tidak tahan menghirup udara yang sama lebih lama lagi dengan pria yang kembali berhasil menghancurkannya, gadis itu memutuskan untuk mengeret langkah, dengan membawa hati yang kembali hancur diakibatkan oleh orang yang sama.









Bantu aku inline typo ya
(POV ngetiknya sambil nahan ngantuk 😴)

Glimpse of Us Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang