"Berisik! Kalau mau main lato-lato, di rumah masing-masing aja. Jangan ganggu orang."
Langkah kaki kecil terdengar berlarian, beriringan dengan tawa yang semakin pelan karena jarak tercipta semakin jauh. Cukup satu hardikan yang membuat mereka terbirit-birit seperti dikejar setan.
Sayangnya meskipun beberapa bocah itu sudah pergi, tapi bunyi lato-lato masih sampai ke telinga Dira. Entah di mana orang yang memainkannya. Mungkin juga di kepala sendiri, saking hafal suaranya.
Suasana yang tenang dinodai oleh banyaknya orang yang akhir-akhir ini gemar bermain lato-lato hingga tak kenal waktu. Pagi, siang, malam, lato-lato terus berdengung, seakan tak memiliki jeda untuk beristirahat.
Tak ada batasan usia untuk pemainnya. Lato-lato digandrungi semua kalangan. Tapi hanya ketika sedang hangat-hangatnya bukan? Pada akhirnya ia akan kembali dilupakan.
Begitulah manusia. Ketika telah merasa puas akan sesuatu, mereka akan mencari gantinya. Yang lama ditinggalkan, sementara yang baru dibanggakan. Sekali lagi hanya sampai saat dimana mereka akan bosan.
"Bukan...."
Gendang telinga Dira kembali menangkap suara. Dengan sedikit mengangkat pantatnya untuk berpisah dari lantai keramik yang dingin terkena AC, dia menengok Randa yang berada di halaman depan.
"Bukan keinginanku..."
Dia kira Randa sedang berbicara dengan siapa. Ternyata adiknya itu tengah bernyanyi.
Untung saja Randa bernyanyi tak terlalu keras, hanya terdengar seperti gumaman. Meski suaranya bagus, tapi Dira tak ingin Randa ikut terkena amukan seperti yang dialami anak-anak tadi. Nanti dia bisa ikut geram. Ujung-ujungnya akan terjadi perang.
Suara musik yang cukup keras membuat pergerakan kakak beradik tersebut terhenti. Seakan punya keterikatan batin, keduanya sama-sama menggelengkan kepala heran. Orang yang berteriak karena merasa terganggu malah gantian mengusik orang lain. Padahal ulahnya lebih parah.
Ya, mau bagaimana lagi. Sepertinya semut di seberang lautan nampak jelas baginya. Tidak ada yang berniat untuk menegur karena sudah terlanjur lelah.
Randa masuk ke dalam rumah dengan membawa ember berisi air bekas yang warnanya telah berubah menjadi keruh. Pagi-pagi bukannya memandikan diri sendiri, dia malah memanjakan Blacky, yang dalam waktu singkat berubah menjadi lebih mengkilap.
Walaupun sempat diledek Dira karena menamai motor merah itu dengan nama Blacky, tapi Randa tidak peduli. Sesibuk apapun Dira berkomentar, ia anggap sebagai angin lalu saja. Blacky akan tetap jadi Blacky baginya.
Selepas menaruh ember di tempatnya kembali, Randa beranjak untuk mengambil perlengkapan tempurnya, sepatu futsal. Baru sebelah yang ia dapat, tiba-tiba ia berlari ke arah Dira.
Dira yang tengah asik membungkus pesanan pelanggan sambil merekam dirinya sendiri mendadak bingung melihat Randa. Pria itu menggenggam sepatu dengan memposisikan bagian ujungnya di depan mulutnya.
Tanpa perlu mengatakan apapun, Dira langsung mengerti adiknya hendak melakukan apa. Dia juga bersiap, menggunakan gunting sebagai senjatanya.
"Pulangkan saja...."
"Pulangkan saja, asik...."
Mereka berbarengan bernyanyi sesuai dengan musik yang melantun memecah keheningan pagi.
"...aku pada ibuku atau ayahku..."
"...aku pada ibuku atau ayahku... uuuu..."
Improvisasi berlebihan yang dilakukan Randa mengundang tawa lebar meluncur dari bibir Dira. "Kenapa pakai kata asik segala? Padahal minta dipulangin ke orang tua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenand(i)ra
ChickLitKenandra Abyakta Mahesa menganggap hidupnya telah sempurna. Dia lahir di tengah keluarga harmonis dan tumbuh menjadi lelaki mapan. Kenan betah hidup sendiri meskipun kedua adiknya sudah berumah tangga. Kehadiran seorang wanita bernama Dira berhasil...