Kedelapan

197 10 1
                                    

Putu Allura's pov

Sunset kali ini benar-benar indah, terima kasih Tuhan, dalam hari-hari penyisaanku, aku masih dapat melihat ini.

"Dek, ini ada kertas dari lelaki itu"seorang lelaki menegurku.

Lalu aku melihat ke arah yang ia tunjuk, seorang lelaki sebayaku, mungkin. Lalu aku tersenyum ke arahnya.

"Apa ini, bli?"

"Saya, kurang tahu, permisi"

"Terima kasih, bli"

"Ya"

Kubaca isi kertas itu. Oh, ternyata dia ingin berkenalan. Ternyata dia suka sunset, semoga cara dia memandang sunset sama sepertiku. Kubalas ah.

Hai juga, aku Putu Allura. Panggil saja Lura. Maaf kemarin aku tak melihatmu. Aku juga penggemar sunset, setiap hari aku melihatnya.

Sepertinya sudah cukup, pikirku.

"Nesta"aku memanggil adikku.

"Ya kak?"

"Dek, tolong berikan ini pada orang itu ya? Makasih"

"Ya kak, sama-sama"

Kulihat adikku sudah melakukan permintaanku dengan baik. Lalu, aku pulang agar orangtuaku tak khawatir.

Aku pun menulis diary seperti biasa, sebelum tidur.

Dear,

Aku senang ternyata aku punya teman yang sama sepertiku, mengagumi sunset. Meski, aku tak tahu pasti apakah caranya memandang sunset sama sepertiku. Tapi, aku yakin perasaan ini tak semua orang punya. Mungkin dia orang pertama yang mengatakan ini padaku. Orang lain mungkin hanya mengatakan, sunsetnya indah sekali. Entah kenapa, aku jadi suka pada lelaki itu. Tapi, aku tak yakin ia mau bersamaku.

Ario Nacasta's pov

Kali ini aku akan datang lebih cepat dari biasa. Hah. Lura memandang sunset ditemani seorang lelaki dan perempuan paruh baya.

Mungkin, itu orangtuanya.

Aku tak berani mengajaknya ngobrol. Kutunggu, dan akhirnya orangtuanya pergi, sementara Lura tetap memandang sunset di tepi pantai.

Aku deg-degan untuk menghampirinya. Kuyakinkan diriku, aku pun melangkah pasti ke arahnya.

Pasti berhasil, ayo Rio, batinku.

"Em, hai Lura, senang berkenalan denganmu"

"Hai, eeeh...Rio"dia berusaha untuk mengingat namaku.

Lalu dia menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Aku meraihnya.

Apa tanganku menyentuh tangan Lura, rasanya bila bisa di pause, aku ingin menekan tombol itu.

Hei, kenapa dia mundur untuk menjaga jarak antara aku dan dia.

"Ada apa?"

"Eh, aku ingin ngobrol sama kamu"

"Maaf, Rio, aku tak boleh berdekatan dengan orang lain"

Apa maksudnya.

"Kenapa? Aku cuma mau ngobol soal emm, sunset"

Kalimat yang konyol.

"Hah? Jadi kamu benar-benar suka sunset?"

"I iya. Sambil duduk yuk"

"Rio, tapi...ya sudah"

Kami pun duduk di atas pasir putih, dengan serpihan kerang-kerang yang hancur diserak ombak.

"Aku melihatmu sangat terpukau melihat sunset"

"Ya, karena hanya mataharilah yang selalu bersamaku"

"Ya, karena hanya mataharilah yang selalu bersamaku"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maksudnya?"

"Em, tidak. Oh ya, sejak kapan kau mengagumi sunset?"

"Belum terlalu lama, saatku pertama kali melihat sunset kemarin lusa itu. Waktu di Jakarta, aku sering juga melihat sunset, tapi perasaanku waktu itu tak seperti sekarang"

"Maksudmu?"

"Waktu di Jakarta, aku hanya menganggap sunset itu indah, dalam dunia fotografer, itu mungkin merupakan hal yang mainstream. Tapi saat kulihat di Bali, aku baru merasakan eeeh, apa namanya? Getarannya gitu, feelnya"ucapanku sok seperti pakar sunset.

"Berarti kau sama sepertiku, em maaf ya Rio, aku harus pulang sekarang. Terimakasih telah menemaniku"

"Ya sama-sama"

Suaranya benar-benar menyejukkan. Membuatku ingin terus bersamanya. Rasanya aku ingin menjadi pangeran dan kau putrinya. Cantik luar dalam.

--

a/n : keep vomments ya, terima kasih.

:-:
Sebut saja dia Lura

SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang