Terakhir

268 14 3
                                    

"Ma, tadi malam, mama mau ke mana?"

"Gak, itu ada tetangga, anaknya sakit, di bawa ambulans, kasihan, kamu bantu doa ya, nak"

"Iya ma, emang siapa ma?"

"Mama, kurang tau, tapi anaknya cantik, katanya dia penderita penyakit, udah akut"

"Kasihan ya ma"

Aku seperti biasa, termenung di dalam kamar, menunggu sunset. Tiba-tiba pikiranku melayang ke pesan mama tadi. Aku pun berdoa agar orang itu sembuh. Tapi aku seperti dapat rambu, kalau orang itu Lura.

JANGAN PIKIR YANG ANEH-ANEH.

Tuhan, siapakah itu orangnya, tolong sembuhkan dia ya Tuhan, berikanlah yang terbaik untuknya, kumohon Tuhan, kami percaya. Amin.

Aku pun ke pantai. HAH. Tak ada Lura. Apakah aku terlalu cepat datang. Aku tunggu saja.

Ke mana kamu, Ra?

Hingga langit gelap pun Lura tak kunjung datang.

Kerisauanku terbawa sampai tidur.

Apakah yang diceritakan mama itu Lura.

Aku tidur dan bermimpi. Dalam mimpiku ada Lura dengan rambutnya yang hitam panjang, dia memakai gaun putih nan indah dan mahkota cantik menghiasi kepalanya. Lalu dia memberiku secarik kertas. Kubaca.

Terima kasih Rio.

[Rasanya aku ingin terus tidur]

Lura tersenyum manis kepadaku, lalu dia pergi dari hadapanku.

Aku pun terbangun di pagi yang cerah. Aku berusaha mengingat mimpi itu, tapi tak bisa. Bahkan aku sudah lupa isi surat Lura itu.

Aku seperti dipaksa perasaanku untuk keluar rumah.

Aku duduk di teras rumah. Kulihat seperti Nesta, dan hah benar itu orangtuanya Lura. Tapi mana Lura ? kok cuma bertiga. Muka mereka pun terkesan sedih.

Nenek mengajak mama untuk ke rumah orang yang sakit itu.

"Aku boleh ikut, gak?"

"Mau ngapain Rio?"

"Ma aku pengen tau"

"Oh, ya udah Rio, gapapalah Rin"

Kami pun pergi ke rumah orang itu.

Kulihat Nesta. APA? ORANG ITU LURA. Perasaanku seperti meleleh ke mana-mana, aku tak tahu lagi harus ngapain. Hatiku tambah hancur ketika, ibunya Lura mengatakan, bahwa Lura sudah tiada. HMMM, LURA, KENAPA BEGITU CEPAT, BEGITU CEPAT KAMU PERGI. Batinku meringis tak keruan. Ibu Lura menceritakan tentang anak sulungnya itu.

"Jadi Lura sudah menderita penyakit itu dari 2 tahun yang lalu, namun kami baru mengetahuinya tahun kemarin, kata dokter, penyakitnya itu menular. Maka kami melarang Lura untuk bermain atau berinteraksi dengan orang dulu. Tiga bulan yang lalu, Lura sudah tak sekolah lagi, dokter meminta Lura untuk istirahat total. Dokter juga menyarankan agar, sekali-sekali Lura merasakan liburan untuk sekedar refreshing, kami sudah membawa Lura ke taman Kota di dekat sini, tapi raut wajahnya tak begitu gembira."

Ibu Lura menelan ludah. "Kami pun menanyakan apa yang membuatmu senang, Lura menjawab melihat sunset di pantai setiap sore. Kami pun berkonsultasi dengan dokter dan dokter akhirnya mengizinkan. Lura itu anak yang ceria, baik, banyak temannya. Maka saat kami melarangnya untuk bermain dengan orang lain, dia langsung sedih, tapi akhirnya dia menurut. Dia tak ingin teman-temannya tertular penyakitnya. Jenazahnya kemarin sudah dikremasi." Mata Ibunya Lura berkaca-kaca.

"Tante, maaf saya belum perkenalkan diri, saya Rio, teman baru Lura"

"Rio? Em, kalau tak salah Lura sempat menitipkan surat untukmu, sebentar tante ambil dulu"

"Memang kamu kenal?"mama berbisik kepadaku.

"Ya, waktu di pantai"

Ibu Lura datang membawa secarik kertas.

"I ini nak, sebelum Lura pergi, dia menitip ini untukmu"suara ibu itu bergetar.

Kuraih surat itu dari tangan Ibunya Lura.

"Pak, Bu Nyoman, kami pamit dulu ya, sekali lagi kami sangat berduka cita"

"Ya, bu"

Kami pun sampai di rumah, dan aku langsung mengurungkan diri di kamar.

Kubaca isi surat itu.

Dear Rio,

Hai, aku senang bisa berkenalan denganmu. Aku selama ini rindu orang benar-benar mengagumi sunset. Mungkin sifatku berlebihan. Tapi inilah perasaanku yang sebenarnya. Matahari adalah salah satu yang selalu menemani hariku. Aku penderita penyakit berbahaya, jadi selepas matahari tenggelam, aku harus tidur. Aku ingin seperti matahari, yang indah saat terbit, dan meninggalkan jejak yang indah saat tenggelam. Jangan pernah berhenti melihat sunset ya, saat kau melihatnya, kau berharaplah sesuatu yang sangat kau dambakan, suatu saat mungkin itu akan terjadi, bahkan saat itu juga. Rio, terima kasih ya.

Terima kasih Rio, telah menjadi pelengkap indah dalam sunset terakhirku.

Tak sadar air mataku tumpah tek terbendung lagi. Aku langsung menghapus air mataku. Lalu aku menunggu matahari terbenam.

Setelah kulihat langit mulai senja. Aku berpamitan ingin ke pantai. Tak lupa kubawa surat dari Lura.

Lura kamu harus lihat sunset kali ini benar-benar indah, batinku meringis.

Akan kubuktikan Lura pesanmu.

Sekarang aku berharap, berharap kamu ada di sini, ini memang mustahil, tapi aku tetap percaya, aku berharap itu terjadi saat ini juga, aku ingin kamu, LURA.

Pemandangan ajaib pun terjadi. Aku tak tahu ini halusinasi atau apa, yang jelas mataku seperti melihat wajah Lura dengan senyuman manisnya di langit.

LURA.

Bayangan itu perlahan lenyap seiring kepergian matahari.

Ini jawabannya, kamu benar Lura, terjawab saat itu juga.

Aku menulis jawaban di atas surat Lura.

Terima kasih juga, telah mengajarkanku tentan sunset yang sebenarnya.

Terima kasih, telah menjadi pembuka indah dalam awal sunsetku.

--

a/n : Terima kasih, ya buat kalian semua, udah stay sampai sini. Keep vomments ya. Semoga ceritanya menarik ya.

SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang