Dia tidak tampan. Gaya rambutnya saja tidak tertata rapi, bahkan cenderung cupu. Hidupnya tidak pernah serius, penuh candaan dan cuek-cuek bebek. Sejauh itu aku mengenalnya.
Hari ini, untuk kesekian kalinya dia terlambat datang ke sekolah. Aku lupa siapa namanya. Memang sesulit itu aku mengingat nama seseorang bahkan wajahnya saja masih terlihat samar alias belum menemukan tempat yang cocok di otakku.
Tepat satu bulan, sekolah sudah menseratus persenkan untuk siswa-siswanya belajar yang sebelumnya hanya dimuat 50% dari jumlah murid.
Kelas begitu berisik. Jam kosong memang sangat ditunggu-tunggu. Selain bisa bergosip. Kita juga bisa main game online bareng-bareng.
"Woi, bawa masker dua gak?"
Dia duduk di belakang tempat aku duduk. Berbisik-bisik dengan teman sebangkunya."Nggak. Gue juga cuma ada satu ini," jawab temannya. Nah, kalau temannya ini aku kenal. Dia satu shift denganku shift B waktu sekolah masih 50% dari jumlah murid. Namanya Rial.
"Aduh. Tadi gue dikasih peringatan sama pak Sugen."
"Lo ngapa gak bawa masker coba?"
"Lupa," jawabnya tanpa beban.
"Tah, ke si Rosa. Rosa bawa masker dua gak?"
Masker yang aku bawa lumayan banyak. Lagian kok berani-beraninya dia keluar tanpa masker. Padahal ini kan masih pandemi. Bumi masih belum 100% normal kembali.
"Adanya ini." Masker kesehatan biasa yang sama sekali tidak mengikuti trend.
"Gak papa, makasih ya."
Dia menatapku dengan seringainya. Tapi setelahnya aku lupa, wajahnya sulit sekali diingat meskipun kita satu kelas. Dan mungkin juga itu pertama kalinya kami berinteraksi, tahulah aku tidak peduli.
💫Si Penikmat Keterlambatan 💫Kini sekolah sudah memasuki semester dua. Kami siswa-siswi sudah bisa beradaptasi kembali dengan keadaan yang mulai normal lagi. Aku juga sudah bisa mengenal wajah-wajah shift A meskipun tidak semuanya.
Hari ini jam ke 2 pelajaran sosiologi akan segera di mulai. Ibu Ani masuk dengan tas serta berkas-berkas di tengannya. Entah hanya aku yang merasakan atau memang benar. Kalau pelajaran sosiologi lintas minat ini sangat susah sekali untuk dipahami. Aku butuh mengulang beberapa kali hanya untuk bisa memahaminya beda sekali dengan kimia. Sungguh lelah.
".... Anis."
"Hadir."
"Agus..."
"Hadir."
"Algifa Ragas....."
Semuanya hening.
"Di mana Ragas?" Bu Ani bertanya. Aku melirik bangkunya yang tepat berada di belakangku. Baru sadar ternyata anak itu tidak ada di tempatnya.
"Hadir Bu." Di sana di depan pintu, dia sedang mengatur napasnya.
"Huhh...... Pagawean telat si Ragas mah." Teman-teman sekelas menyoraki. Bukanya merasa bersalah ataupun malu. Dia malah senyum-senyum gak jelas. Sudah aku duga juga. Dia terlambat, lagi dan lagi. Peluh Menetes dari dahinya. Pasti cape sekali lari dari gerbang ke kelas ini.
Gak jauh sih, tapi kelas kami ada pada puncak paling atas di sekolah ini, perlu delapan kali menaiki tangga. Lantai dua tapi, tempatnya paling tinggi di antara bangunan yang lain. Bahkan kalau ke luar kelas, pemandangan yang pertama di lihat sungguh menyegarkan mata. Luas sekali.
"Masuk." Bu Ani memang baik. Tapi meskipun baik begitu dia sangat pelit soal nilai. Aku saja dia kasih c saat semester pertama.
Aku melirik ke arahnya. Wajahnya yang putih itu berubah merah. Dia sangat santai sekali. Kalau aku ada di posisinya sudah dag, dig, dug, ini hati. Ya mungkin juga dia sudah terbiasa terlambat seperti ini.
"Bawa minum gak Ros?" Dia berbisik.
Tanpa menjawab, aku langsung memberikan air minumku padanya. Bukan maksud apa-apa tapi, perjalanan ke kelas X IPA 7 ini memang butuh perjuangan."Makasih." Aku berbalik untuk mengambil air. Namun, lagi-lagi wajahnya menyeringai. Bukan menyeringai mengejek. Tapi lebih ke senyum mesem. Khas dia sekali senyumannya.
💫Si Penikmat Keterlambatan💫
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Penikmat Keterlambatan [LENGKAP]
Teen Fiction"Dengan hadirmu aku bisa mengenal canda, tawa, dan kenyamanan. Karena dengan hadirmu adalah salah satu jalanku untuk bisa merasakan kebahagiaan." Makna dari sebuah puisi yang aku bacakan ternyata sama persis seperti yang aku rasakan. Secara tersira...